Translate

Rabu, 06 Juli 2011

DI TAMAN ( sebuah cerpen )

MALAM makin gelap saat aku tiba di tempat itu. Bulan tertutup awan. Bintang tak cukup terang cahayanya. Dingin segera menyerbu tubuhku bersama angin malam yang berhembus. Seperti biasa, aku duduk di kursi itu.

Tak berapa lama kududuk di sana, Setitik cahaya tiba-tiba datang. Sekejap seluruh taman menjadi putih. Pohon-pohon menghilang, lampu taman dan laron-laron yang mengerubunginya pun entah ke mana. Kusipitkan mataku mencari sesuatu dalam putih itu, cukup lama, hingga akhirnya aku menemukannya, sesuatu yang perlahan mendekat, entah apa. Semakin dekat, dan semakin jelas. Ah, sepasang sayap anggun mengepak. Apa itu kupu-kupu? Tidak, itu terlalu besar. Lalu apa? Makin kusipitkan mataku sambil membetulkan posisi kacamataku. Sayap itu semakin mendekat, semakin jelas. Dan benar, itu bukan kupu-kupu.

“Siapa kau?”

Dia tak menjawab, hanya tersenyum.

“Kau manusia? Kenapa bersayap?”

Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

“Kau bisa bicara?”

Dia mengangguk, lalu tersenyum lagi.

“Lalu kenapa kau hanya tersenyum?”

Dia tersenyum lagi.

“Hei!”

Dia terbang mengelilingiku. Aku semakin tak mengerti, siapa dia? Apa dia? Wujudnya manusia. Perempuan. Dia terbang mengembangkan sayapnya yang putih sambil terus tersenyum. Terlihat indah memang. Dan terus dia melayang.

“Ah, tunggu. Rasanya, aku pernah melihatmu sebelumnya.”

Dia menghentikan kepakan sayapnya. Menatap ke arahku, tersenyum, lalu terbang mengelilingiku lagi.

“Ya, dan rasanya belum lama ini.”

Dia berhenti lagi. Lalu perlahan mendekatiku. Semakin dekat. Semakin aku yakin. Ya, aku pernah melihat wajah sepertinya. Tapi entah di mana. Semakin dia mendekat, semakin keras kumengingat. Dimana?

Semakin dia mendekat. Semakin dekat wajahnya dengan wajahku. Ah, ya. Dia!
Hendak kusentuh pipi bening yang sangat dekat dari wajahku itu. Tapi, begitu kuangkat tanganku, tiba-tiba semua berputar, tersedot ke satu titik yang jauh. Dan dia terseret di dalamnya, mengulurkan tangan. Kukejar titik itu, semakin dekat kukejar, semakin jauh titik putaran itu. Semakin cepat kuberlari, semakin jauh dia terhisap ke dalam pusaran itu. Kupercepat lariku, kukerahkan seluruh tenagaku.

Dia semakin hilang tertelan pusaran itu. Aku menyerah. Kujatuhkan tubuhku. Lalu semua menjadi gelap.

Saat kubuka lagi mataku perlahan, bulan bersinar terang di atasku. Kutatap sekeliling, pohon-pohon telah kembali, lampu taman dan laron-laron juga ada di tempatnya semula.
......


Pagi ini aku bangun dalam keadaan yang benar-benar lelah. Bahkan, tidak bisa dibilang aku bangun. Aku memang tergeletak. Kelopak matapun tertutup. Tapi tidak tidur, apalagi bermimpi. Peristiwa di taman semalam telah merenggut pulas dan nikmat mimpiku. Sisa malamku habis dengan merenungkan: siapa dia? Aku memang ingat wajahnya. Ingat pernah melihatnya. Tapi siapa dia dan di mana aku melihatnya adalah tanda tanya besar yang telah mengusik waktu tidurku.

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan. Matahari sudah mulai jauh berlari, tapi tubuh tak sedikitpun hendak beranjak. Pertanyaan-pertanyaan itu menahan semangatku. Menahan semangat mudaku. Kutarik lagi selimut dan mencoba menutup mata. Dan setiap aku mencoba menutup mata, saat itu juga perempuan bersayap itu tersenyum: memandangiku!
Siapa sebenarnya dia?

Mimpikah aku dalam kesadaranku semalam?

Aku bergumul lagi dengan tanda tanya besar itu.
........


Matahari yang semakin tinggi memaksaku untuk kembali hidup seperti biasa. Dengan masih sangat segan kuangkat walaupun berat langkah kakiku: membuka gordin, meyakinkan hari sudah semakin terang. Dengan segan juga kugiring tubuhku menuju kamar mandi. Ya, cukup otakku yang kusut masai. Penampilan jangan. Biarlah sendiri yang tahu. Orang lain kepentingan apa?

Aku tak ke kampus hari ini. Sangat tidak efektif belajar dalam pikiran seperti ini –meskipun kurang bijaksana juga meninggalkan kelas dengan alasan seperti ini, kurang akademis, setelah kupikir belakangan.

Tak tahu hendak ke mana, langkah kembali mengiringku ke taman itu. Dan seperti semalam, aku duduk di kursi itu. Coba kubuka kembali memori tadi malam. Masih sangat segar. Baru semalam! Tak ada titik koma yang terlewat. Masih kuingat benar.

Aku menunggu, menunggu. Seperti anak SD menunggu ibu menjemput. Aku menunggu, bukan jemputan. Repetisi, aku menunggu pengulangan. Ingin lagi kujumpai dia. Dia, perempuan mungil bersayap itu. Aku memang masih belum bisa mengenalinya, meskipun kuyakin benar di suatu tempat aku pernah melihatnya. Dan harus kuakui aku jatuh cinta pada pandangan pertama –pandangan kedua jika aku benar pernah melihatnya sebelumnya. Jatuh cinta pada dia? Makhluk yang belum tentu manusia? Makhluk yang belum tentu ada? Makhluk yang mungkin hanya khayalanku saja?

Mataku memberat. Kantuk tak bisa dilawan.
........


Aku terbangun, menemukan nyamuk taman dengan rakus tangah makan malam di tanganku. Kubangun dari kursi itu hendak pulang, namun tertahan. Sentuhan lembut menarik tanganku. Aku terkesima, berdebar luar biasa. Si mungil bersayap ada di sebelahku. Dia tersenyum, manis sekali. Senyumnya setara senyum para bidadari. Aku terkesima. Terhipnotis oleh senyumnya. Kududuk kembali di sebelahnya.

Dia tidak terbang. Dia ada di sebelahku. Sangat dekat. Sangat-sangat dekat. Dapat kucium harumnya, kasturi dilampauinya. Degup jantungku menenang karenanya. Kutatap wajahnya. Subhanallah. Cantik luar biasa. Sepasang mata sipit dengan bola mata berbinar menatap manja ke arahku. Segaris senyum yang, maha besar Sang Pencipta, seperti dilukis dengan tinta surga.

“Kau…”

Dia tertawa kecil, dan terus tersenyum. Manis.

“Kau kenal aku?”

Dia mengangguk.

“Tapi aku tak kenal kau..”

Dia tertawa kecil lagi, dan tersenyum. Menggemaskan!

“Boleh kenal siapa kau?” Kuulurkan tanganku. Diraihnya tanganku. Kembali kurasakan lembut sentuhannya. Lebih lembut dari sutra.

Dia hanya tersenyum. Sekali lagi: manis.

“Hai. Kau bisa bicara ‘kan?”

“Bisa” Pertama kudengar suaranya. Jernih dan menenangkan. Seperti oase di gurun gersang.

“Lalu siapa? Mungkin nama?”

“Namaku A…” belum sempat menyebut nama, pusaran itu muncul lagi. Dan dia terhisap lagi, mengulurkan tangannya lagi. Kukejar lagi dia. Wajahnya pucat. Terus terseret ke titik terjauh. Dia meneriakkan namaku. Kukejar dia sekuat tenaga. Dan lagi, aku gagal. Pusaran itu menelan habis raganya.
.......


Tak ada lagi yang bisa aku perkirakan. Semua lenyap tak beraturan. Si mungil manis bersayap. Ah, mungkin dia memang hanya mimpi. Mimpi! Aku bermimpi di sebuah taman. Gilakah aku?
Tak ingin larut dalam kemungkinan yang mungkin saja aku gila, aku kembali menjalani hidup: seperti biasa. Kenangan dua kali dua malam beruntun membuat aku menghindari taman itu, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Sengaja, dibanding nantinya aku harus menyimpulkan: kau gila!

Seminggu berlalu dan aku tak lagi melihat sosoknya. Memang kadang aku membayangkannya. Tak salah bukan? Toh dia lumayan, bahkan sangat manis untuk dibayangkan. Pemimpi? Ya, aku memang pemimpi. Jadi mungkin saja dua malam itu aku memang sedang bermimpi, walau aku menyangsikan. Sungguh, itu terasa nyata. Kejadian nyata minggu lalu!

Dan tanda tanya besarku mendapatkan jawabannya. Kau takkan percaya. Sepulang kuliah, dalam kesalku pada bus kota yang mengklakson keras tiba-tiba –memang salahku: menyeberang dengan pikiran ke mana-mana, aku melihatnya. Dia! Benar dia. Si mungil bersayap. Duduk melamun menatap jendela di dalam bus kota menyebalkan itu. Ya, benar-benar dia. Aku tak salah. Aku tak mimpi. Lekuk wajahnya, bibirnya, binar matanya, mungilnya, manisnya. Persis. Hanya tak bersayap. Nyata!

Tanpa diperintah otak, kakiku berlari mengejarnya. Kondektur melihatku, mengajakku sembari mengetuk kaca jendela dengan recehnya, yang jadi simfoni pertemuan nyata. Maka naiklah aku. Bertemulah aku. Nyata!



Jakarta, Juli 2011
Mengisi waktu liburan: pascasepersi, praPPL.