Translate

Kamis, 05 Januari 2012

MALAM PURNAMA


Malam ini malam yang jernih. Tidak ada awan sama sekali. Bintang-bintang dengan anggunnya berpijar memperlihatkan kemilau cahayanya. Bulan yang perkasa terlihat lebih besar dan lebih terang, menerangi malam dengan cahaya yang dipinjamnya. Malam ini purnama. Malam kesukaanmu.

Ditemani angin malam, aku melangkah menyusuri jalan menuju tempat itu. Tempat biasa kamu menunggu, tersenyum menyambutku, lalu aku langsung menghampirimu dengan debur di dada yang luar biasa, dan kita menghabiskan sebagian malam berdua hingga kantuk memaksamu pulang.

Aku sudah di sana, tapi kamu tak ada di kursi itu. Lalu aku duduk di kursimu, memandangi pepohonan malam dan bulan purnama di atasnya. Sesuatu yang selalu kamu anggap indah. Dan akupun bergumam seperti biasa. “Apa indahnya cahaya temaram begitu?” Dan terbayang senyumanmu, yang selalu kamu berikan untuk menjawab pertanyaanku. Ya, jawaban yang ambigu. Tidak, bukan ambigu, samar. Bahkan itu bukan jawaban, kan?

Lalu kuingat lagi tentang kamu. Tentang harapan masa depan yang selalu kamu ucapkan sambil meletakkan kepalamu di bahuku. Dan kuingat kamu pasti memarahiku saat kamu bertanya apa harapan masa depanku, yang selalu kujawab belum kepikiran. Kalimatmu kuhapal betul. “Jangan begitu. Kita hidup dari harapan. Dan kita hidup demi harapan. Harapan adalah hidup dan hidup adalah harapan.” Ya, kamu memang pandai berkata-kata, hanya mengulang kata hidup dan harapan bisa membuat lebih dari dua kalimat. Aku tidak terlalu pandai berkata-kata. Karenanya aku selalu menjawab singkat: “Iya” lalu kau cemberut tak puas.

Malam semakin larut. Kantukku tak bisa dilawan. Lebih baik aku pulang daripada membiarkan tubuh menjadi santapan nyamuk yang selalu kamu bela atas nama perikemanusiaan, -mungkin lebih tepat perikenyamukan. “Biarkan saja, toh itu bukan aides aigepthy atau anopheles. Mereka toh hanya nyamuk biasa, yang hanya membuat kita gatal. Biarkan saja. Jangan kamubunuh. Atau mau kamu kupanggil pembunuh?” Ah, berlebihan sekali! Toh mereka cuma nyamuk kecil. “Mereka juga makhluk bernyawa. Kamu tahu itu kan?” kamu berbicara. Aku mendengar. “Aku selalu membayangkan semua binatang, termasuk nyamuk, seperti manusia. Nyamuk-nyamuk itu keluar sarangnya mencari makan, seperti manusia pergi bekerja. Di rumah, keluarganya menunggu dengan sabar. Aku selalu membayangkan seperti apa perasaan keluarganya menunggu nyamuk-nyamuk yang tak kembali itu.” Maaf, aku hendak tertawa mendengar celotehanmu itu. Tapi tidak. Aku melihat raut wajahmu berubah, tak secerah bintang yang selalu kamu kagumi. Butir air mata terlihat di sudut matamu. Menangis? Aku kehabisan kata-kata. Kamu menangis membayangkan menjadi nyamuk atau kenapa? Tak berani aku bertanya.

Biasanya kita menutup malam dengan nyanyian kita. Kamu ingat? Nyanyian kita, lagu yang kuciptakan spesial untuk kita. Dan kamu menyukainya kan? Aku hendak menyanyiaknnya, tapi tak bisa. Tak ada kamu. Tak ada melodi dan kata-kata.

Aku hendak pulang saat suara yang sangat kukenal dengan lembut menyebut namaku. Ya, suara kamu! Aku berpaling. Kamu seterang bintang duduk manis di kursi kesenanganmu itu. Seperti biasanya, kamu tersenyum. Manis! Aku terbuai. Kamu seperti medan magnet besar dan aku besi. Aku menghampirimu tanpa melangkahkan kaki.

Malam ini, kamu lebih harum dari biasanya. Kamu lebih manis dari biasanya. Aku hanya diam duduk di sampingmu. Kaku! Seperti pertama bertemu dulu. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus berkata apa. Kehadiranmu malam ini seperti mengunci seluruh sendi, otot, dan sarafku. Terlebih lagi kamu tak juga memulai pembicaraan, tidak seperti dulu. Kamu hanya tersenyum menatapku, yang membuat jantungku makin cepat berpacu. Udara dingin, angin berhembus semilir. Tapi keringatku mulai membanjir. Benar-benar seperti pertemuan pertama kita.

Lalu, tahukan kamu, aku hampir pingsan saat tiba-tiba kamu menyandarkan kepalamu di bahuku. Dengan lembut akhirnya kamu bersuara: “Terima kasih. Jika kamu rindu aku, datanglah ke sini. Ingatlah saat kita bersama dulu, maka aku akan datang menemanimu. Mungkin nanti kamu tidak bisa lagi melihatku, seperti tadi. Tapi yakinlah aku akan datang jika kamu mengingat aku, mengenang kisah-kisah dulu. Melihat kamu datang ke sini membuatku percaya, mungkin kita tak bisa lagi bersama secara nyata, tapi kita selamanya bersama dalam kenangan. Aku abadi dalam kenanganmu. Maka kenanglah aku.” Kamu tersenyum. Manis sekali. Tanpa kendali air mataku mengalir, entah sedih atau bahagia. Aku tak dapa mengenali apa yang kurasakan saat itu. Lalu kamu mengusap pipiku, menghapus air mata itu.

“Terima kasih. Datanglah lagi saat kamu rindu.” Lalu, sambil menanyikan lagu kita itu, kamu melayang, menyatu dengan cahaya bulan, dan kemudian menghilang.

Jakarta, Januari 2012

Senin, 02 Januari 2012

Kutemukan...

kutemukan cahaya
di harum suaranya:
lembut mengalir di gersang berpasir..

ada keharuman
di hangat tatapannya:
indah menyentuh di langit berpeluh..