Translate

Senin, 28 November 2011

SEKUNTUM MAWAR YANG KUTEMUKAN DI TEPI JALAN, HILANG LAYU DI HARI KEMUDIAN

AKU dalam perjalanan pulang ketika kulihat sekuntum mawar merah tergeletak di pinggir jalan. Merah menyala di tengah hijau rerumputan dan semak di belakangnya. Siapa yang membuangnya aku tak tahu. Yang kutahu hanya perhatianku tertuju pada warna itu.

Sebelumnya aku tak perrnah tertarik pada bunga. Feminin. Terlalu feminin. Ya, aku suka keindahan, dan bunga itu indah. Aku suka melukis bunga, menyanyikan bunga, mempuisikan bunga. Tapi aku tak tertarik mengenal lebih jauh wujud aslinya.

Kuambil bunga itu, kucium aromanya. Harum! Bunga ini masih harum. Dan harumnya, ah, lebih harum dari parfum yang dipakai si cantik itu. Pertama kali kuhirup aroma mawar, dan aku jatuh cinta. Sungguh harum yang mempesona.

Kubawa bunga ini ke rumah. Diam-diam. Aku tak mau ayah-ibu melihatku pulang membawa bunga. Aku malas menjelaskan.

Pintu kamar kututup rapat-rapat. Kurebahkan diri di ranjang. Kuciumi mawar ini: ibarat menciumi kekasih. Ah, harum! Tak henti kukagumi mawar ini. Kukagumi, kuciumi. Maha Besar Allah yang menciptakan keharuman seharum ini: harum yang menyenangkan, harum yang menenangkan.

Aku tertidur dalam harum yang membuai.

Di pagi berikutnya, aku bangun dengan mawar tergenggam di tangan. Dan bunga itu layu: merahnya hitam, harumnya menghilang.

Sabtu, 22 Oktober 2011

PUTI

(1)

SETIAP KALI MELINTAS di depan rumah itu, yang terbayang adalah sosok itu: wanita cantik yang murung, sedang duduk di atas batu besar di sudut halaman yang dipenuhi bunga warna-warni. Wajahnya yang murung tak sepadan dengan cerah bunga mekar yang dipandanginya saat itu.

Rumah itu tepat di sebelah rumahku. Jika tidak ada televisi baru, jika aku tidak perlu naik ke atap memasang antena, aku tak akan tahu rumah sebelah berpenghuni. Mengapa? Dari luar hanya terlihat tembok dan pagar besar yang lebih tinggi dari tubuhku. Tidak terlalu tinggi memang. Jika mau, mungkin aku bisa mengintip ke dalamnya. Tapi jangankan mencari tahu sendiri, bertanya pada ayah-ibupun aku tak pernah. Memang pernah, entah saat umurku berapa, kulihat seseorang masuk ke rumah itu. Sekali. Hanya sekali itu. Selebihnya rumah itu bisu.

Dua puluh tahun lebih aku menganggap tak ada orang di situ. Seandainya adapun, aku tak peduli. Untuk apa peduli pada tetangga yang tidak peduli pada tetangganya sendiri. Dua puluh tahun lebih. Ya, dua puluh tahun lebih. Sikap itu hanya dua puluh tahun lebih bertahan. Sikap tak peduli itu. Siapa kira sekali melihat itu, rasa acuh dua puluh tahun lebih menguap entah ke mana.

Aku ingin tahu siapa wanita itu.

Rasa-rasanya, ingin selalu kunaik ke atap, berharap melihatnya lagi. Dan memang kulakukan itu: kadang juga memanjat tembok, tapi dia tak ada. Hanya bunganya yang masih mekar dan batunya yang ada.

Ah, di mana gadis berbaju putih itu.



“IBU TAHU penghuni rumah sebelah?” ibu tampak kaget saat kutanya itu.

“Kenapa tiba-tiba kamu tanya itu?” justru ibu balik bertanya dengan nada keibuan yang, jujur saja, membuat aku selalu hormat dan merasa kembali kanak-kanak di depannya.

“Waktu naik genteng kemarin, aku lihat ada orang di halamannya.”

“Oh, kamu melihatnya? Memang ada, seorang kakek dan cucunya.”

“Ehm, berarti yang aku lihat cucunya.”

“O ya? Mereka juga punya kebun bunga yang indah.”

“Ibu tahu?”

Ibu tersenyum. Mengangguk. Lalu masuk dapur.



SAAT AKU MENGINTIP untuk kesekian kalinya, akhirnya kulihat juga penghuninya. Tapi bukan gadis itu. Kakeknya sedang duduk di kursi rotan di beranda. Kuamati kakek itu. Yang dilakukannya sama dengan cucunya: menatap bunga. Aku jadi ikut memandangi bunga, sampai deheman lemah mengagetkanku. Kakek itu tepat di bawahku!

“Kau suka bunga?” tanyanya dengan suara tuanya. Aku tak tahu harus bicara apa, dan kabur bukan penyelesaian bijaksana. Akhirnya hanya senyum yang kubisa.

“Lompatlah! Kita pandang bunga bersama!”

Tak ada pilihan lain, akupun menyeberang ke rumah sebelah. Saat turun, kulihat ibu tersenyum dari dalam rumah. Ibu melihatku! Dan aku ketahuan kakek ini! Aku tampak seperti orang bodoh! Tapi tak apa, bodohpun tak apa. Mungkin dengan ini aku bisa kenal gadis itu.

“Apa kau sering mengintip dari situ?” suara datar dengan nada tua yang terdengar berat, tapi membuatku salah tingkah.

“Eh, ya… bunga yang indah.”

“Apa hanya bunga?”

Pertanyaan macam apa ini? Hanya dua kali kalimat tanya kakek ini membuatku benar-benar tak tahu berbuat dan berkata apa. Setelah beberapa saat diam dan terlihat: aku merasa, sangat bodoh, yang keluar dari mulutku hanya: “Maksud kakek?”

“Apa yang kaulihat hanya bunga?”

Kalimat Tanya ketiga makin membuatku kikuk tak berdaya. Aku hanya bisa melihat bunga.

“Ternyata cerita ibumu benar adanya.”

Ibu? Ya, ibu!

“Kakek kenal ibu?”

“Tidak seperti kau, ibumu sering main ke sini. Di kursimu itu dia sering duduk, sama seperti kita, melihat bunga dan bertukar pikiran. Ibumu paling suka kembang anggrek. Kau tahu itu?”

Aku menggeleng.

“Yah, jika ibumu saja kau tak kenal, bagaimana tetanggamu?”

Pertanyaan yang membuatku kembali diam. Tak memandang bunga. Menunduk. Malu.

“Becanda. Wajar kau tak tahu. Ibumu memang suka bunga, tapi ayahmu sangat tidak suka, entah mengapa. Karena itu dia tidak pernah terlihat menyukai bunga di rumah.” Katanya, tetap dengan suara tua, hanya kali ini diselingi tawa yang ringan. Entah menertawakan ayah yang benci bunga atau karena kebodohan dan kekikukanku.

“Ibumu banyak cerita tentangmu.” Kakek itu mulai bicara tentang apa saja yang dia tahu tentangku. Membuatku senang dan lagi: sekaligus malu. Ibu lebih banyak menceritakan sisi baikku, meskipun pemalu, kikuk, acuh tak acuh dan tak pandai bicara diceritakannya juga. Senang, aku terdengar baik oleh orang yang sebetulnya belum mengenalku. Senang, tapi malu: aku tak tahu apa-apa tentang mereka.

“Kakek rasa cucu kakek akan senang berteman denganmu.”

Cucu! Kekakuanku melemas mendengar kakek itu mengatakan ‘cucu’. Berganti dengan gelisah berdebar tak karuan.

“Puti!!!” Dia meneriakkan sebuah nama. Pasti namanya. Puti! Puti si cantik murung berbaju putih!

Suara bening menyahut dari dalam.

Darahku melonjak. Jantung berpacu sangat cepat.



AKU TAK DAPAT MENGALIHKAN pandanganku. Siswa yang tiap tahun tinggal kelaspun, jika dia melihatku saat itu, akan tahu aku berbohong jika kukatakan aku tak terpesona. Belum pernah kurasakan mata seteduh ini: lebih teduh dari memandang anggrek yang mekar, lebih tenang dari memandang bintang di atas rerumputan di sebuah bukit yang damai. Tidak berlebihan aku memuji, Puti si cantik murung berbaju putih memang seperti itu. Wajah tanpa ekspresinya tak memadamkan cahaya keindahannya. Hanya dua kata yang dapat menggambarkannya dengan bahasa: sangat indah.

Wajahnya ditenggelamkan dalam tundukan saat melihat ada aku di sana. Wajahnya kemerahan, menahan malu tampaknya. Jantung bergetar hebat. Ekspresinya saat itu benar-benar mempesona: senyum malu tersungging di bibirnya. Tuhan, ternyata Kausembunyikan bidadari surga di rumah misterius sebelah rumahku!

Kakek lalu memperkenalkan aku, dan meminta Puti menemaniku. “Mungkin kalian akan menjadi teman akrab.” Kata kakek sambil meninggalkan kami berdua.

Jantungku berpacu makin cepat.

Puti berjalan ke tengah halaman. Menuju bunga-bunga.

Aku mengikuti.



“KAMU SUKA BUNGA?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Sangat” jawabnya lembut. “Kamu?”

“Eehh.. sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang bunga. Tapi kalau melihatnya aku suka.”

Dia menatapku, tersenyum.

“Ini anggrek. Ibumu sangat suka bunga ini.”

“Ibu? Kamu kenal ibuku?”

Dia senyum lagi. Manis sekali!

“Ibu yang baik. Bersyukurlah kamu punya ibu seperti dia. Dia juga suka bunga. Perempuan dewasa yang luar biasa.”

Aku hanya bisa membalas perkataannya dengan senyuman.

“Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang bunga.”

Mengangguk, tersenyum. Wajar ‘kan kalau aku tak tahu apa-apa tentang bunga? Coba dia tanya sepak bola.

“Aku lebih menyukai musik dan sastra.” Jawabku tanpa ditanya.

“Wah, kamu seniman ternyata!” dia tersenyum lagi. Senang sekali dia tersenyum. Senang sekali aku melihatnya.

“Kakek juga senang memutar musik. Sejak kecil aku diperdengarkan karya klasik Mozart, Beethoven, Bach, dan banyak lainnya.”

Pukulan telak! Aku tak tahu apa-apa tentang musik klasik.

“Jadi musik apa yang kamu suka?” tanyanya.

“Ehhh.. aku suka mendengarkan lagu-lagu band Jepang seperti L’Arc-en-ciel. Band-band visual-kei juga kusuka.” Aku mencoba tahu lebih banyak dibanding dia. Jika musik klasik dia paham, membicarakan musik lokal dan musik barat kurasa akan percuma. Kurasa dia tidak tidak begitu tahu musik pop Jepang.

“Siapa itu L’Arc-en-ciel? Lalu apa itu visual-kei?”

Di atas batu di sudut halaman itu, kami menghabiskan sore dengan membicarakan L’Arc-en-ciel dan visual-kei.

Rabu, 06 Juli 2011

DI TAMAN ( sebuah cerpen )

MALAM makin gelap saat aku tiba di tempat itu. Bulan tertutup awan. Bintang tak cukup terang cahayanya. Dingin segera menyerbu tubuhku bersama angin malam yang berhembus. Seperti biasa, aku duduk di kursi itu.

Tak berapa lama kududuk di sana, Setitik cahaya tiba-tiba datang. Sekejap seluruh taman menjadi putih. Pohon-pohon menghilang, lampu taman dan laron-laron yang mengerubunginya pun entah ke mana. Kusipitkan mataku mencari sesuatu dalam putih itu, cukup lama, hingga akhirnya aku menemukannya, sesuatu yang perlahan mendekat, entah apa. Semakin dekat, dan semakin jelas. Ah, sepasang sayap anggun mengepak. Apa itu kupu-kupu? Tidak, itu terlalu besar. Lalu apa? Makin kusipitkan mataku sambil membetulkan posisi kacamataku. Sayap itu semakin mendekat, semakin jelas. Dan benar, itu bukan kupu-kupu.

“Siapa kau?”

Dia tak menjawab, hanya tersenyum.

“Kau manusia? Kenapa bersayap?”

Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

“Kau bisa bicara?”

Dia mengangguk, lalu tersenyum lagi.

“Lalu kenapa kau hanya tersenyum?”

Dia tersenyum lagi.

“Hei!”

Dia terbang mengelilingiku. Aku semakin tak mengerti, siapa dia? Apa dia? Wujudnya manusia. Perempuan. Dia terbang mengembangkan sayapnya yang putih sambil terus tersenyum. Terlihat indah memang. Dan terus dia melayang.

“Ah, tunggu. Rasanya, aku pernah melihatmu sebelumnya.”

Dia menghentikan kepakan sayapnya. Menatap ke arahku, tersenyum, lalu terbang mengelilingiku lagi.

“Ya, dan rasanya belum lama ini.”

Dia berhenti lagi. Lalu perlahan mendekatiku. Semakin dekat. Semakin aku yakin. Ya, aku pernah melihat wajah sepertinya. Tapi entah di mana. Semakin dia mendekat, semakin keras kumengingat. Dimana?

Semakin dia mendekat. Semakin dekat wajahnya dengan wajahku. Ah, ya. Dia!
Hendak kusentuh pipi bening yang sangat dekat dari wajahku itu. Tapi, begitu kuangkat tanganku, tiba-tiba semua berputar, tersedot ke satu titik yang jauh. Dan dia terseret di dalamnya, mengulurkan tangan. Kukejar titik itu, semakin dekat kukejar, semakin jauh titik putaran itu. Semakin cepat kuberlari, semakin jauh dia terhisap ke dalam pusaran itu. Kupercepat lariku, kukerahkan seluruh tenagaku.

Dia semakin hilang tertelan pusaran itu. Aku menyerah. Kujatuhkan tubuhku. Lalu semua menjadi gelap.

Saat kubuka lagi mataku perlahan, bulan bersinar terang di atasku. Kutatap sekeliling, pohon-pohon telah kembali, lampu taman dan laron-laron juga ada di tempatnya semula.
......


Pagi ini aku bangun dalam keadaan yang benar-benar lelah. Bahkan, tidak bisa dibilang aku bangun. Aku memang tergeletak. Kelopak matapun tertutup. Tapi tidak tidur, apalagi bermimpi. Peristiwa di taman semalam telah merenggut pulas dan nikmat mimpiku. Sisa malamku habis dengan merenungkan: siapa dia? Aku memang ingat wajahnya. Ingat pernah melihatnya. Tapi siapa dia dan di mana aku melihatnya adalah tanda tanya besar yang telah mengusik waktu tidurku.

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan. Matahari sudah mulai jauh berlari, tapi tubuh tak sedikitpun hendak beranjak. Pertanyaan-pertanyaan itu menahan semangatku. Menahan semangat mudaku. Kutarik lagi selimut dan mencoba menutup mata. Dan setiap aku mencoba menutup mata, saat itu juga perempuan bersayap itu tersenyum: memandangiku!
Siapa sebenarnya dia?

Mimpikah aku dalam kesadaranku semalam?

Aku bergumul lagi dengan tanda tanya besar itu.
........


Matahari yang semakin tinggi memaksaku untuk kembali hidup seperti biasa. Dengan masih sangat segan kuangkat walaupun berat langkah kakiku: membuka gordin, meyakinkan hari sudah semakin terang. Dengan segan juga kugiring tubuhku menuju kamar mandi. Ya, cukup otakku yang kusut masai. Penampilan jangan. Biarlah sendiri yang tahu. Orang lain kepentingan apa?

Aku tak ke kampus hari ini. Sangat tidak efektif belajar dalam pikiran seperti ini –meskipun kurang bijaksana juga meninggalkan kelas dengan alasan seperti ini, kurang akademis, setelah kupikir belakangan.

Tak tahu hendak ke mana, langkah kembali mengiringku ke taman itu. Dan seperti semalam, aku duduk di kursi itu. Coba kubuka kembali memori tadi malam. Masih sangat segar. Baru semalam! Tak ada titik koma yang terlewat. Masih kuingat benar.

Aku menunggu, menunggu. Seperti anak SD menunggu ibu menjemput. Aku menunggu, bukan jemputan. Repetisi, aku menunggu pengulangan. Ingin lagi kujumpai dia. Dia, perempuan mungil bersayap itu. Aku memang masih belum bisa mengenalinya, meskipun kuyakin benar di suatu tempat aku pernah melihatnya. Dan harus kuakui aku jatuh cinta pada pandangan pertama –pandangan kedua jika aku benar pernah melihatnya sebelumnya. Jatuh cinta pada dia? Makhluk yang belum tentu manusia? Makhluk yang belum tentu ada? Makhluk yang mungkin hanya khayalanku saja?

Mataku memberat. Kantuk tak bisa dilawan.
........


Aku terbangun, menemukan nyamuk taman dengan rakus tangah makan malam di tanganku. Kubangun dari kursi itu hendak pulang, namun tertahan. Sentuhan lembut menarik tanganku. Aku terkesima, berdebar luar biasa. Si mungil bersayap ada di sebelahku. Dia tersenyum, manis sekali. Senyumnya setara senyum para bidadari. Aku terkesima. Terhipnotis oleh senyumnya. Kududuk kembali di sebelahnya.

Dia tidak terbang. Dia ada di sebelahku. Sangat dekat. Sangat-sangat dekat. Dapat kucium harumnya, kasturi dilampauinya. Degup jantungku menenang karenanya. Kutatap wajahnya. Subhanallah. Cantik luar biasa. Sepasang mata sipit dengan bola mata berbinar menatap manja ke arahku. Segaris senyum yang, maha besar Sang Pencipta, seperti dilukis dengan tinta surga.

“Kau…”

Dia tertawa kecil, dan terus tersenyum. Manis.

“Kau kenal aku?”

Dia mengangguk.

“Tapi aku tak kenal kau..”

Dia tertawa kecil lagi, dan tersenyum. Menggemaskan!

“Boleh kenal siapa kau?” Kuulurkan tanganku. Diraihnya tanganku. Kembali kurasakan lembut sentuhannya. Lebih lembut dari sutra.

Dia hanya tersenyum. Sekali lagi: manis.

“Hai. Kau bisa bicara ‘kan?”

“Bisa” Pertama kudengar suaranya. Jernih dan menenangkan. Seperti oase di gurun gersang.

“Lalu siapa? Mungkin nama?”

“Namaku A…” belum sempat menyebut nama, pusaran itu muncul lagi. Dan dia terhisap lagi, mengulurkan tangannya lagi. Kukejar lagi dia. Wajahnya pucat. Terus terseret ke titik terjauh. Dia meneriakkan namaku. Kukejar dia sekuat tenaga. Dan lagi, aku gagal. Pusaran itu menelan habis raganya.
.......


Tak ada lagi yang bisa aku perkirakan. Semua lenyap tak beraturan. Si mungil manis bersayap. Ah, mungkin dia memang hanya mimpi. Mimpi! Aku bermimpi di sebuah taman. Gilakah aku?
Tak ingin larut dalam kemungkinan yang mungkin saja aku gila, aku kembali menjalani hidup: seperti biasa. Kenangan dua kali dua malam beruntun membuat aku menghindari taman itu, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Sengaja, dibanding nantinya aku harus menyimpulkan: kau gila!

Seminggu berlalu dan aku tak lagi melihat sosoknya. Memang kadang aku membayangkannya. Tak salah bukan? Toh dia lumayan, bahkan sangat manis untuk dibayangkan. Pemimpi? Ya, aku memang pemimpi. Jadi mungkin saja dua malam itu aku memang sedang bermimpi, walau aku menyangsikan. Sungguh, itu terasa nyata. Kejadian nyata minggu lalu!

Dan tanda tanya besarku mendapatkan jawabannya. Kau takkan percaya. Sepulang kuliah, dalam kesalku pada bus kota yang mengklakson keras tiba-tiba –memang salahku: menyeberang dengan pikiran ke mana-mana, aku melihatnya. Dia! Benar dia. Si mungil bersayap. Duduk melamun menatap jendela di dalam bus kota menyebalkan itu. Ya, benar-benar dia. Aku tak salah. Aku tak mimpi. Lekuk wajahnya, bibirnya, binar matanya, mungilnya, manisnya. Persis. Hanya tak bersayap. Nyata!

Tanpa diperintah otak, kakiku berlari mengejarnya. Kondektur melihatku, mengajakku sembari mengetuk kaca jendela dengan recehnya, yang jadi simfoni pertemuan nyata. Maka naiklah aku. Bertemulah aku. Nyata!



Jakarta, Juli 2011
Mengisi waktu liburan: pascasepersi, praPPL.

Kamis, 30 Juni 2011

TANPA EKSPRESI

Apa yang bisa kaulakukan tanpa ekspresi?

Bisakah kau bernyanyi?

Bisakah kau menari?

Bisakah kau berpuisi?

Renungkan lagi

Apa yang bisa kau lakukan tanpa ekspresi?


PUISI LAGI CINTA

Cinta cinta kutulis lagi kata cinta
Dia dia kutulis ini untuk dia

Cinta dia kutulis lagi dalam kata
Kata cinta kutulis lagi pada dia

Kutulis lagi cinta untuk dia
Kutulis lagi dia untuk cinta

KUTITIPKAN CINTA DI PUISI MALAMMU


Kutitipkan cinta di puisi malammu

Pada tiap kata-kata yang terlintas di otakmu

Pada tiap ketukan jari di keyboard komputermu