Translate

Sabtu, 22 Oktober 2011

PUTI

(1)

SETIAP KALI MELINTAS di depan rumah itu, yang terbayang adalah sosok itu: wanita cantik yang murung, sedang duduk di atas batu besar di sudut halaman yang dipenuhi bunga warna-warni. Wajahnya yang murung tak sepadan dengan cerah bunga mekar yang dipandanginya saat itu.

Rumah itu tepat di sebelah rumahku. Jika tidak ada televisi baru, jika aku tidak perlu naik ke atap memasang antena, aku tak akan tahu rumah sebelah berpenghuni. Mengapa? Dari luar hanya terlihat tembok dan pagar besar yang lebih tinggi dari tubuhku. Tidak terlalu tinggi memang. Jika mau, mungkin aku bisa mengintip ke dalamnya. Tapi jangankan mencari tahu sendiri, bertanya pada ayah-ibupun aku tak pernah. Memang pernah, entah saat umurku berapa, kulihat seseorang masuk ke rumah itu. Sekali. Hanya sekali itu. Selebihnya rumah itu bisu.

Dua puluh tahun lebih aku menganggap tak ada orang di situ. Seandainya adapun, aku tak peduli. Untuk apa peduli pada tetangga yang tidak peduli pada tetangganya sendiri. Dua puluh tahun lebih. Ya, dua puluh tahun lebih. Sikap itu hanya dua puluh tahun lebih bertahan. Sikap tak peduli itu. Siapa kira sekali melihat itu, rasa acuh dua puluh tahun lebih menguap entah ke mana.

Aku ingin tahu siapa wanita itu.

Rasa-rasanya, ingin selalu kunaik ke atap, berharap melihatnya lagi. Dan memang kulakukan itu: kadang juga memanjat tembok, tapi dia tak ada. Hanya bunganya yang masih mekar dan batunya yang ada.

Ah, di mana gadis berbaju putih itu.



“IBU TAHU penghuni rumah sebelah?” ibu tampak kaget saat kutanya itu.

“Kenapa tiba-tiba kamu tanya itu?” justru ibu balik bertanya dengan nada keibuan yang, jujur saja, membuat aku selalu hormat dan merasa kembali kanak-kanak di depannya.

“Waktu naik genteng kemarin, aku lihat ada orang di halamannya.”

“Oh, kamu melihatnya? Memang ada, seorang kakek dan cucunya.”

“Ehm, berarti yang aku lihat cucunya.”

“O ya? Mereka juga punya kebun bunga yang indah.”

“Ibu tahu?”

Ibu tersenyum. Mengangguk. Lalu masuk dapur.



SAAT AKU MENGINTIP untuk kesekian kalinya, akhirnya kulihat juga penghuninya. Tapi bukan gadis itu. Kakeknya sedang duduk di kursi rotan di beranda. Kuamati kakek itu. Yang dilakukannya sama dengan cucunya: menatap bunga. Aku jadi ikut memandangi bunga, sampai deheman lemah mengagetkanku. Kakek itu tepat di bawahku!

“Kau suka bunga?” tanyanya dengan suara tuanya. Aku tak tahu harus bicara apa, dan kabur bukan penyelesaian bijaksana. Akhirnya hanya senyum yang kubisa.

“Lompatlah! Kita pandang bunga bersama!”

Tak ada pilihan lain, akupun menyeberang ke rumah sebelah. Saat turun, kulihat ibu tersenyum dari dalam rumah. Ibu melihatku! Dan aku ketahuan kakek ini! Aku tampak seperti orang bodoh! Tapi tak apa, bodohpun tak apa. Mungkin dengan ini aku bisa kenal gadis itu.

“Apa kau sering mengintip dari situ?” suara datar dengan nada tua yang terdengar berat, tapi membuatku salah tingkah.

“Eh, ya… bunga yang indah.”

“Apa hanya bunga?”

Pertanyaan macam apa ini? Hanya dua kali kalimat tanya kakek ini membuatku benar-benar tak tahu berbuat dan berkata apa. Setelah beberapa saat diam dan terlihat: aku merasa, sangat bodoh, yang keluar dari mulutku hanya: “Maksud kakek?”

“Apa yang kaulihat hanya bunga?”

Kalimat Tanya ketiga makin membuatku kikuk tak berdaya. Aku hanya bisa melihat bunga.

“Ternyata cerita ibumu benar adanya.”

Ibu? Ya, ibu!

“Kakek kenal ibu?”

“Tidak seperti kau, ibumu sering main ke sini. Di kursimu itu dia sering duduk, sama seperti kita, melihat bunga dan bertukar pikiran. Ibumu paling suka kembang anggrek. Kau tahu itu?”

Aku menggeleng.

“Yah, jika ibumu saja kau tak kenal, bagaimana tetanggamu?”

Pertanyaan yang membuatku kembali diam. Tak memandang bunga. Menunduk. Malu.

“Becanda. Wajar kau tak tahu. Ibumu memang suka bunga, tapi ayahmu sangat tidak suka, entah mengapa. Karena itu dia tidak pernah terlihat menyukai bunga di rumah.” Katanya, tetap dengan suara tua, hanya kali ini diselingi tawa yang ringan. Entah menertawakan ayah yang benci bunga atau karena kebodohan dan kekikukanku.

“Ibumu banyak cerita tentangmu.” Kakek itu mulai bicara tentang apa saja yang dia tahu tentangku. Membuatku senang dan lagi: sekaligus malu. Ibu lebih banyak menceritakan sisi baikku, meskipun pemalu, kikuk, acuh tak acuh dan tak pandai bicara diceritakannya juga. Senang, aku terdengar baik oleh orang yang sebetulnya belum mengenalku. Senang, tapi malu: aku tak tahu apa-apa tentang mereka.

“Kakek rasa cucu kakek akan senang berteman denganmu.”

Cucu! Kekakuanku melemas mendengar kakek itu mengatakan ‘cucu’. Berganti dengan gelisah berdebar tak karuan.

“Puti!!!” Dia meneriakkan sebuah nama. Pasti namanya. Puti! Puti si cantik murung berbaju putih!

Suara bening menyahut dari dalam.

Darahku melonjak. Jantung berpacu sangat cepat.



AKU TAK DAPAT MENGALIHKAN pandanganku. Siswa yang tiap tahun tinggal kelaspun, jika dia melihatku saat itu, akan tahu aku berbohong jika kukatakan aku tak terpesona. Belum pernah kurasakan mata seteduh ini: lebih teduh dari memandang anggrek yang mekar, lebih tenang dari memandang bintang di atas rerumputan di sebuah bukit yang damai. Tidak berlebihan aku memuji, Puti si cantik murung berbaju putih memang seperti itu. Wajah tanpa ekspresinya tak memadamkan cahaya keindahannya. Hanya dua kata yang dapat menggambarkannya dengan bahasa: sangat indah.

Wajahnya ditenggelamkan dalam tundukan saat melihat ada aku di sana. Wajahnya kemerahan, menahan malu tampaknya. Jantung bergetar hebat. Ekspresinya saat itu benar-benar mempesona: senyum malu tersungging di bibirnya. Tuhan, ternyata Kausembunyikan bidadari surga di rumah misterius sebelah rumahku!

Kakek lalu memperkenalkan aku, dan meminta Puti menemaniku. “Mungkin kalian akan menjadi teman akrab.” Kata kakek sambil meninggalkan kami berdua.

Jantungku berpacu makin cepat.

Puti berjalan ke tengah halaman. Menuju bunga-bunga.

Aku mengikuti.



“KAMU SUKA BUNGA?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Sangat” jawabnya lembut. “Kamu?”

“Eehh.. sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang bunga. Tapi kalau melihatnya aku suka.”

Dia menatapku, tersenyum.

“Ini anggrek. Ibumu sangat suka bunga ini.”

“Ibu? Kamu kenal ibuku?”

Dia senyum lagi. Manis sekali!

“Ibu yang baik. Bersyukurlah kamu punya ibu seperti dia. Dia juga suka bunga. Perempuan dewasa yang luar biasa.”

Aku hanya bisa membalas perkataannya dengan senyuman.

“Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang bunga.”

Mengangguk, tersenyum. Wajar ‘kan kalau aku tak tahu apa-apa tentang bunga? Coba dia tanya sepak bola.

“Aku lebih menyukai musik dan sastra.” Jawabku tanpa ditanya.

“Wah, kamu seniman ternyata!” dia tersenyum lagi. Senang sekali dia tersenyum. Senang sekali aku melihatnya.

“Kakek juga senang memutar musik. Sejak kecil aku diperdengarkan karya klasik Mozart, Beethoven, Bach, dan banyak lainnya.”

Pukulan telak! Aku tak tahu apa-apa tentang musik klasik.

“Jadi musik apa yang kamu suka?” tanyanya.

“Ehhh.. aku suka mendengarkan lagu-lagu band Jepang seperti L’Arc-en-ciel. Band-band visual-kei juga kusuka.” Aku mencoba tahu lebih banyak dibanding dia. Jika musik klasik dia paham, membicarakan musik lokal dan musik barat kurasa akan percuma. Kurasa dia tidak tidak begitu tahu musik pop Jepang.

“Siapa itu L’Arc-en-ciel? Lalu apa itu visual-kei?”

Di atas batu di sudut halaman itu, kami menghabiskan sore dengan membicarakan L’Arc-en-ciel dan visual-kei.

2 komentar: