KEESOKKANNYA,
sepulang kuliah, kutemukan ibu sedang merajut di halaman rumah. Ibu tersenyum
menyambutku.
“Ada yang mencari!” kata ibu setelah menjawab salamku.
Selama ini tidak ada yang mencariku ke rumah. Baru kali ini. Jadi kupasang
wajah heran dan bertanya: “Siapa?”
“Puti!”
Deg!
Mendengar nama itu disebut ibu, dengan lirikan matanya seperti itu, membuat
wajahku memerah. Jantung berdebar empat kali lebih cepat. Berdiri terlihat
sangat canggung. Dan kau akan segera menyadari perubahanku. Ibu lebih mengerti
tentang itu.
“Kakeknya yang menyampaikan.”
Makin kikuk aku di depan ibu.
“Ya Tuhan, anak ibu jatuh cinta?”
Ah, nada suaranya membuat wajahku makin memerah.
“Dia pasti senang jika kau datang lagi.”
“Aku juga!” maksudnya berbicara dalam hati, entah kenapa malah bersuara.
Ibu tersenyum. Katanya: “Jadilah laki-laki!”
Masuk kamar, aku langsung merebahkan diri. Menatap langit-langit. Ada
wajah Puti di sana. Dia tersenyum padaku. Kubalas senyumnya. Lalu terdengar
kalimat ibu tadi. Jadilah laki-laki! Aku terduduk. Wajah Puti menghilang dari
langit-langit.
Jam lima. Sudah terlalu sore. Tak mungkin aku ke sana sekarang. Akhirnya aku
kembali ke ibu. Duduk di sampingnya yang masih asyik merajut. Ibu tersenyum.
Aku mulai cerita tentang kemarin.
RUMAH kakek lebih
mirip studio lukis dibanding rumah tinggal. Di sudut mana pun di tiap
ruangannya dipenuhi dengan lukisan. Ada bunga di hampir di semua lukisannya,
entah itu objek utamanya maupun sekadar penghias. Dari sekian banyak lukisan di
sana, aku tertarik pada sebuah lukisan yang menggambarkan seorang perempuan
sedang berlutut menciumi bunga. Perempuan berbaju putih.
“Dia sendiri yang melukisnya.” Suara Kakek memalingkan perhatianku.
“Puti sendiri?” tanyaku. Kakek mengangguk, lalu pergi.
Aku terus berjalan
ke belakang. Kakek bilang Puti ada di halaman belakang. Saat kutanya di mana
halaman belakang Kakek malah memintaku memasang telinga. Baru kupahami apa
maksudnya saat sayup-sayup terdengar alunan musik klasik. Tidak salah lagi.
Halaman belakang rumah kakek juga dipenuhi bunga. Di sana berdiri Puti
membelakangiku. Ia tidak tahu kehadiranku. Kudekati ia sambil bersejingkat,
lalu berdiri di belakangnya. Dari balik bahunya, kulihat ia melukis bunga.
“Melukis?”
Puti mencari sumber suara. Suaraku.
“Ah, kamu. Bikin kanget aja.”
“Indah sekali. Bunga apa itu?”
“Kamu tidak tahu?”
Aku menggeleng.
“Ini anggrek bulan. Puspa pesona.”
“Puspa pesona?”
“Kamu tidak tahu?”
Dengan berat hati aku harus menggeleng lagi.
“Ada tiga bunga yang ditetapkan pemerintah Soeharto dulu sebagai Bunga Nasional
Indonesia.” katanya sambil terus melukis, “Pertama melati putih, puspa bangsa.
Kamu tahu melati putih?”
Aku mengangguk. “Melati bunga yang dipakai di kepala mempelai wanita pernikahan
betawi, kan?”
Dia tersenyum.
“Lalu Rafflesia Arnoldi. Tahu bunga ini, kan?”
Aku mengangguk, mantap.
“Besar. Warnanya merah. Bau. Bunga bangkai, kan?”
“Rafflesia Arnoldi tidak sama dengan bunga bangkai loh.”
Ah, baru saja aku mantap menjawab, disanggah lagi.
“Rafflesia Arnoldi bau, kan?”
“Memang yang orang-orang sebut bunga bangkai itu seperti apa?”
“Rafflesia Arnoldi?”
Puti tersenyum. Lagi.
Lalu dia menjelaskan. Bunga bangkai bukan Rafflesia Arnoldi. Bernama Amorphpophallus
titanium, bunga bangkai jelas berbeda dengan Rafflesia Arnoldi.
“Rafflesia itu melebar, bunga bangkai tumbuh ke atas.”
Ah, baru kuingat bunga itu!
“Mahkotanya ungu. Bentuknya mirip terompet.”
Aku mengangguk. Mendengarkan.
“Kalau aku tidak salah, bunga bangkai adalah tumbuhan dengan bunga majemuk
terbesar di dunia.”
Bunga majemuk? Aku pura-pura tahu saja.
“Kamu tahu, tingginya bisa mencapai tiga meter.”
“Tiga meter?”
Dia mengangguk.
“Tingginya hampir dua kali kamu.”
“Nyindir ya? Iya aku pendek.” Dinaikkannya bibir bawahnya. Pura-pura ngambek.
“Aih, manisnya muka ngambek itu.”
Dia mengambil sesuatu dari meja kecil di dekatnya. Hendak dia melemparkan benda
itu ke arahku. Tapi urung. Aku tahu cat bagi pelukis adalah nyawanya. Tak mungkin
dia lempar begitu saja.
Aku mengejeknya lagi. Semua benda di atas meja adalah cat lukis. Dia masih
mencari sesuatu untuk melempariku. Matanya lalu tertuju pada seonggok batu di
bawah pohon. Lebih gesit, kudahului dia mengambil batu itu. Dia berlari juga.
Aku mendapatkan batu itu. Dia kesal. Ingin direbutnya batu di tanganku. Dia
berusaha merebut. Aku menjaga. Kusembunyikan di balik badanku, Dia tetap
mencoba merebut. Tangan kirinya mengunci pergelangan tangan kananku. Tangan
kanannya mengunci pergelangan tangan kiriku. Dia ada di hadapanku. Batu
itu masih di balik tubuhku.
Wajahnya tepat di depan wajahku. Sangat dekat.
Hembus napasnya terasa hangat.
Kami bertatapan. Dalam. Mata batari.
Aku berpeluh. Jantung serasa berlari. Batu lepas dari genggamku.
“KAMU tahu kenapa
kenapa bunga Rafflesia dinamai Rafflesia Arnoldi?”
Setelah saling canggung cukup lama pascatatapan sedekat itu, di bawah pohon di
mana kami berebut batu tadi, dia melanjutkan kuliahnya. Dia lupa sama sekali
pada batu itu.
Aku mencoba menjawab tanyanya. Mengingat-ingat. Dalam. Dalam.
“Ah, Rafflesia dari nama Sir Thomas Stamford Raffles.”
“Arnoldi?”
“Pasti nama orang juga.” Aku tak tahu.
Dia tertawa.
“Jika melati putih disebut puspa bangsa, Rafflesia dinamakan puspa langka.”
katanya.
Aku mengangguk. Hanya bisa mengangguk. Puspa langka? Aku baru dengar istilah
itu.
“Jadi satu lagi, anggrek bulan? Puspa Pesona?” tanyaku.
Ia bangun, menarik tanganku. Bersama, kami menuju kanvasnya.
ANGGREK bulan, Phalaenopsis
amabilis, si cantik berkelopak putih. Bunga yang cantik. Puspa Pesona.
Sesuai julukannya, anggrek bulan memang memesona. Aku memang belum pernah
melihat anggrek bulan secara langsung. Tapi melihat gambar di kanvas Puti, aku
paham mengapa bunga itu begitu spesial hingga dinobatkan jadi bunga penuh
pesona.
“Aku suka warna putih.” kata Puti.
“Lihatlah anggrek ini!”
Aku justru melihat wajahnya. Lebih indah dari anggrek, menurutku.
“Putih adalah warna awal. Dari putih kita bisa membuat warna apapun.”
“Tabula rasa?”
“Kamu paham filsafat?”
Sejujurnya, aku tak paham benar apa itu tabula rasa. Aku hanya tahu itu dari
penggalan lirik lagu padi: kita terlahir bagai selembar kertas putih, biar
kulukis dengan tinta pesan damai, dan terwujud harmoni*. Jadi aku jawab
pertanyaannya dengan gelengan kepala.
“Yah, kita terlahir seperti selembar kertas putih. Ingin jadi seperti apa kita,
gambarlah di atas kertas putih itu. Ingin diwarnai apa, warnailah sesukamu.
Putih adalah warna mula.” katanya.
“Yang aku tahu, putih itu suci.” ucapku asal.
“Dan merah berani, aku juga tahu.” kali ini dia.
Kami tertawa.
*Dari lirik lagu Harmoni.