Translate

Jumat, 11 September 2015

KETIKA RAJA TAK LAGI JADI RAJA



KEADAAN politik kerajaan Apalah Namanya berkecamuk. Raja belum seminggu mangkat, para petinggi sudah sibuk memperdebatkan: siapa baginda berikutnya. Raja terdahulu tak punya putra, bahkan permaisuri pun tidak. Saudara pun dia tak punya. Dia adalah satu-satunya raja dalam sejarah kerajaan Apalah Namanya yang tak berpermaisuri, apalagi putra-putri. Dia tidak memerlukannya. Dia tak perlu punya penerus tahtanya karena menurutnya itu tahtanya: tak akan diberikan pada siapa pun. Bahkan Undang-Undang pewarisan tahta dihapusnya. Dia mau jadi raja selamanya. Dengan ketamakan yang sama, dia hendak jadi manusia super: manusia abadi. Manusia tak mati! Dia hendak jadi maharaja. Raja di atas raja.
Namun, seperti apa pun dia mencoba, toh dia hanya manusia biasa: manusia ciptaan-Nya, ciptaan Dia Maha Segala. Dia tak bisa melawan takdirnya: rohnya punya batas waktu. Batas waktu bersemayam di raganya. Dia tak bisa menentangnya, sekuat apa pun magis yang ditempuhnya.
            Manusia yang hendak abadi, raja yang tak mau mati telah kembali ke tanah. Tanpa meninggalkan darah pada raga seorang pemuda. Pergi melemparkan mahkotanya ke tengah jalan: dan kucing liar langsung mengerubunginya.
Raja perjaka pergi begitu saja. Tanpa wasiat.
Kerajaan Apalah Namanya bergolak. Tak ada yang mau mengalah. Dan memang tak ada yang mau kalah. Menjadi raja adalah idaman semesta: idaman semua manusia. Siapa menolak berkuasa? Dan siapa juga yang tak tergoda singgasana kosong tanpa pemilik? Kucing liar tak akan luput mengejar daging segar yang dilempar ke tengah jalan.
            Banyak yang muncul maju ke tengah warga, mengajukan diri pantas menjadi raja baru. Sebagian memperkenalkan keluarganya. Sama: paling layak mengisi singgasana. Tidak sedikit. Semua mau. Semua maju. Berebut. Menyikut.
            Seperti membangun kerajaan baru. Hanya saja istana telah berdiri megah.

LEBIH dari tiga puluh nama mengklaim diri layak menjadi raja. Sepupu, paman, hulubalang, menteri, tentara, rakyat jelata. Semua yang mempunyai kepercayaan diri mengajukan namanya.
            “Aku sahabat terdekat mendiang raja! Aku tahu pemahaman dan prinsip dirinya. Aku adalah bayangannya! Aku penerusnya! Aku yang layak jadi raja kalian!” ucap salah seorang menteri menjual namanya.
            “Ada banyak yang perlu dievaluasi dari kepemimpinan raja terdahulu. Tak perlu aku sebutkan satu persatu pada kalian. Kalian rakyat jelata yang paling tahu hal-hal apa saja itu. Dan aku adalah bagian dari kalian. Aku tahu bagaimana cara mengubahnya dan mampu melaksanakannya. Ini saatnya rakyat jelata memimpin sebuah negara. Kepemimpinan kosong adalah kesempatan yang tidak datang setiap saat. Kita, rakyat jelata, bisa mengisinya. Izinkan aku mewakili kalian menciptakan sejarah. Aku dengar raja terdahulu hendak abadi. Itu salah. Raja tak perlu abadi. Kesejahteraan kita, rakyat jelata, yang harus abadi. Kesejahteraan rakyat harus abadi!” ujar yang lainnya.
            Rakyat dibingungkan dengan keadaan ini. Sudah cukup lama kerajaan kosong tanpa penguasa. Orang-orang sibuk mengakui diri layak jadi raja. Bahkan tetua pun hendak jadi raja. Calon yang lain tak setuju keputusan diserahkan pada tetua yang juga hendak jadi raja. Menurut mereka, jika tetua yang memutuskan, tetualah yang nantinya akan jadi raja. Menurut mereka juga, tetua sudah terlalu tua untuk menjadi raja. Lagipula, tetua biasanya menasihati raja. Jika mereka menjadi raja, siapa yang menjadi tetua? Siapa yang menasihati mereka?
      Banyak alasan yang memperkeruh keadaan.