KEADAAN politik kerajaan Apalah Namanya berkecamuk.
Raja belum seminggu mangkat, para petinggi sudah sibuk memperdebatkan: siapa
baginda berikutnya. Raja terdahulu tak punya putra, bahkan permaisuri pun
tidak. Saudara pun dia tak punya. Dia adalah satu-satunya raja dalam sejarah
kerajaan Apalah Namanya yang tak berpermaisuri, apalagi putra-putri. Dia tidak
memerlukannya. Dia tak perlu punya penerus tahtanya karena menurutnya itu
tahtanya: tak akan diberikan pada siapa pun. Bahkan Undang-Undang
pewarisan tahta dihapusnya.
Dia mau jadi raja selamanya. Dengan ketamakan
yang sama, dia hendak jadi manusia super: manusia abadi. Manusia tak mati! Dia hendak jadi maharaja. Raja di atas raja.
Namun, seperti apa pun dia
mencoba, toh dia hanya manusia biasa: manusia ciptaan-Nya, ciptaan Dia Maha
Segala. Dia tak bisa melawan takdirnya: rohnya punya batas waktu. Batas waktu
bersemayam di raganya. Dia tak bisa menentangnya, sekuat apa pun magis yang ditempuhnya.
Manusia
yang hendak abadi, raja yang tak mau mati
telah kembali ke tanah. Tanpa meninggalkan darah pada raga seorang pemuda.
Pergi melemparkan mahkotanya ke tengah jalan: dan kucing liar langsung mengerubunginya.
Raja perjaka pergi begitu saja.
Tanpa wasiat.
Kerajaan Apalah Namanya bergolak. Tak ada yang mau
mengalah. Dan memang tak ada yang mau kalah. Menjadi raja adalah idaman
semesta: idaman semua manusia. Siapa menolak berkuasa? Dan siapa juga yang tak tergoda
singgasana kosong tanpa pemilik? Kucing liar tak akan luput mengejar daging segar
yang dilempar ke tengah jalan.
Banyak yang muncul maju ke tengah warga, mengajukan diri
pantas menjadi raja baru. Sebagian memperkenalkan keluarganya. Sama: paling
layak mengisi singgasana. Tidak sedikit. Semua mau. Semua maju. Berebut.
Menyikut.
Seperti
membangun kerajaan baru. Hanya saja istana telah berdiri megah.
LEBIH dari tiga puluh nama mengklaim diri layak
menjadi raja. Sepupu,
paman, hulubalang, menteri,
tentara, rakyat jelata. Semua yang mempunyai kepercayaan diri mengajukan
namanya.
“Aku
sahabat terdekat mendiang raja! Aku tahu pemahaman dan prinsip dirinya. Aku
adalah bayangannya! Aku penerusnya! Aku yang layak jadi raja kalian!” ucap
salah seorang menteri menjual namanya.
“Ada
banyak yang perlu dievaluasi dari kepemimpinan raja terdahulu. Tak perlu aku sebutkan
satu persatu pada kalian. Kalian rakyat jelata yang paling tahu hal-hal apa
saja itu. Dan aku adalah bagian dari kalian. Aku tahu bagaimana cara
mengubahnya dan mampu melaksanakannya. Ini saatnya rakyat jelata memimpin
sebuah negara. Kepemimpinan kosong adalah kesempatan yang tidak datang setiap
saat. Kita, rakyat jelata, bisa mengisinya. Izinkan aku mewakili kalian
menciptakan sejarah. Aku dengar raja terdahulu hendak abadi. Itu salah. Raja
tak perlu abadi. Kesejahteraan kita, rakyat jelata, yang harus abadi. Kesejahteraan rakyat harus
abadi!” ujar yang lainnya.
Rakyat
dibingungkan dengan keadaan ini. Sudah cukup lama kerajaan kosong tanpa
penguasa. Orang-orang sibuk mengakui diri layak jadi raja. Bahkan tetua pun
hendak jadi raja. Calon yang lain tak setuju keputusan diserahkan pada tetua
yang juga hendak jadi raja. Menurut mereka, jika tetua yang memutuskan, tetualah
yang nantinya akan jadi raja. Menurut mereka juga,
tetua sudah terlalu tua untuk menjadi raja. Lagipula,
tetua biasanya menasihati raja. Jika mereka menjadi raja, siapa yang menjadi
tetua? Siapa yang menasihati mereka?
Banyak alasan yang memperkeruh keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar