Translate

Selasa, 01 Februari 2011

KISAH ALAN DAN UMAN

Dahulu kala, entah di zaman apa, hiduplah dua orang yang selalu bersama-sama. Yang satu bernama Alan, satunya bernama Uman. Ke mana-mana mereka selalu bersama, tapi mereka bukan kakak-adik, apalagi suami-istri. Dua-duanya laki-laki dan mereka bukan homo. Alan adalah ketua wilayah tempatnya tinggal (ya, kira-kira seperti lurah begitu lah) yang sudah cukup lama berkuasa, sudah cukup tua tapi belum punya istri. Sedangkan Uman bukan wakilnya, dibilang bawahan juga bukan. Tidak diketahui apa jabatan yang disandang oleh bung Uman namun dia selalu berada di dekat si ketua itu.

Suatu hari, datang seorang pendatang dari kota hendak tinggal di tempat mereka tinggal. Orang itu terpelajar karena ada singkatan Drs. di depan namanya. Karena itu, Alan sebagai satu-satunya manusia yang mempunyai singkatan itu di depan namanya di wilayah itu merasa tersaingi. Apalagi, setelah tahu bahwa orang itu tinggal di sebelah rumah Lastri, kembang desa yang susah payah dia dekati dengan modal jabatan dan status sebagai satu-satunya Drs. di tempat itu. Belum lagi kenyataan bahwa orang itu masih lajang dan seumuran dengan Lastri yang 8 tahun lebih muda darinya itu. Alan was-was.

Seharusnya Alan tak perlu was-was jika memang Lastri mencintainya, karena Lastri adalah wanita desa baik-baik yang sepertinya tidak akan mengkhianati cintanya. Sayangnya tidak. Yang menyukainya adalah ibunya yang sudah tak bersuami, yang dengan semangat empat lima merayu Lastri agar mau menikah dengan sang pemimpin Drs. itu. Lastri sebetulnya enggan menerimanya tapi karena ibunya ngambek (lho?) akhirnya terPaksa sedikit agak mau didekati oleh Alan, walau lebih sering diam dan akhirnya Alan cuma bisa ngobrol dengan sang calon mertua.

Waktu berlalu dan ternyata benar, si pendatang baru itu terlihat akrab dengan Lastri, bahkan dengan ibunya. Sinyal bahaya berbunyi di kepalanya. Alan mengajak Uman rapat darurat membicarakan perihal masa depannya.

“Uman, bagaimana ini, sepertinya perkiraanmu benar!”

“Tentang Lastri, ah, saya pikir baPak tidak akan kalah dari pemuda itu.”

“Maksudmu apa Uman?”

“Yah, semua juga tahu bahwa baPak adalah lelaki terbaik di wilayah ini, bahkan di Provinsi ini. Saya yakin baPak bisa mendapatkan perawan mana saja yang baPak mau. Lain halnya kalau saya.”

“Kau mengejek Uman? Kau tahu sulit sekali aku mendapatkan Lastri?”

“Yah, Lastri pengecualian Pak.”

“Maksudmu, aku tidak bakal mendapatkan Lastri, begitu?”

“Bukan begitu, Pak. Saya yakin baPak pasti mampu mendapatkan gadis cantik itu. Hanya saja, usahanya harus sedikit lebih keras Pak. Dia kan wanita spesial. Tapi tenang, baPak juga lelaki spesial. Cuma baPak yang pantas di samping Lastri.”

“Tapi orang baru itu?”

“Yah, dia tidak ada apa-apanya dibanding baPak. Memang sama-sama S1, tapi kualitas dan nilai jual baPak jauh di atasnya.”

“Tapi tetap saja, rumput pengganggu harus dicabut.”

“Yah, kalau menurut baPak perlu.”

“Awasi rumah itu 24 jam. Mengerti!”

“Siap, Pak!”

“Mengerti tidak?”

“Mengerti Pak!”

“Laksanakan.”

“Siap Pak.”

……………………………………..

Sudah seminggu Uman mengawasi rumah orang baru itu, dan saatnya dia melaporkan hasil pengamatannya pada sang bos.

“Bagaimana?”

“Benar, Pak. Mereka akrab sekali. Bahkan Lastri tersenyum dan tertawa saat ngobrol dengan orang itu.”

“Apa? Harusnya senyumnya yang manis itu hanya untuk saya!”

“Saya pikir juga begitu, Pak.”

“Lalu apa lagi?”

“Sampai saat ini, saya belum pernah melihat dia pergi bekerja, Pak.”

“Jadi dia pengangguran?”

“Saya rasa begitu, Pak.”

“Kalau begitu untuk apa dia ke sini. Bukankah Jakarta tempat asalnya adalah gudangnya pekerjaan. Pemuda-pemuda sini ke Jakarta untuk kerja, kan?”

“Mungkin dia kalah saing dengan pemuda kita, Pak.”

“Lalu dari mana dia dapat uang untuk hidup?”

“Saya juga curiga, Pak.”

“Curiga apanya?”

“Bapak tahu berita dari wilayah sebelah?”

“Maling ternak itu, maksudmu?”

“Ya.”

“Dia pelakunya?”

“Yah, mungkin saja, Pak. Kadang dia keluar rumah malam-malam.”

“Kau ikuti?”

“Tidak, Pak. BaPak kan hanya perintahkan awasi rumahnya.”

“Bodoh kamu!’

“Maaf, ak.”

“Lalu kembalinya dia membawa binatang?”

“Tidak Pak.”

“Gerak-geriknya mencurigakan?”

“Tidak, Pak.”

“Berarti bukan dia, bodoh!”

“Tapi kita bisa memanfaatkan momen ini, Pak.”

“Aha.. Pintar kau, Uman!”

……………………………………………………………

Malam-malam, Uman datang ke rumah Alan.

“Lapor, Pak. Sukses.”

“Bagus!”

……………………………………………………………….

Di tengah jalan, banyak warga berkumpul. Mereka membicarakan sesuatu.

“Sekarang giliran wilayah kita!” teriak salah satu warga.

"Belum tahu? Semalam ayam Pak Alan dimaling.”

“Yang benar?”

“Benar.”

Kasak-kusuk, mereka membicarakan tentang maling ayam itu, hingga akhirnya mereka memutuskan pergi ke rumah sang Ketua wilayah.

“Benar, bapak-bapak, ibu-ibu. Kemarin, ayam saya masih ada, eh, tadi pagi saya lihat pintu kandangnya sudah hancur!”

“Pak Alan!” teriak salah seorang warga tiba-tiba.

“Ada apa?”

“Ada jejak kaki di belakang kandang ayam bapak!”

Segera warga diikuti Pak Alan berlari menuju kandang ayam yang agak jauh di belakang rumah. Mereka mengerubungi jejak kaki itu.

“Hahahaha… Dasar maling bodoh!” Sahut Uman yang tiba-tiba ada di antara warga.

“Bagaimana kalau kita telusuri.”

“Setuju.” Koor warga.

Semuanya pun mengikuti jejak kaki itu. Dan seperti yang sudah kalian duga, jejak kaki itu menuju rumah si pendatang baru itu.

“Jadi dia!” teriak warga.

Pak Alan melangkah maju, mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Yang keluar justru ibunya Lastri dan Lastri mengikuti di belakangnya.”

“Pak Alan cari Mas Ari? Dia lagi ke kota. Sudah dari pagi.” Ucap ibunya Lastri.

“Pasti mau jual ayam bapak!”

“Ayam?”

Warga pun menjelaskan sahut-sahutan. Di tengah penjelasan warga itu, tiba-tiba saja terdengar suara kokok ayam dari dalam rumah. Semua pun terdiam.

“Itu ayam Pak Alan!”

“Ada di dalam!”

“Dobrak!”

“Tunggu dulu!”Tiba-tiba Lastri teriak dari belakang.

“Ada apa dik Lastri?” Tanya Pak Alan lembut.

“Kalian ke sini mengikuti jejak kaki ini kan?”

“Iya, dan itu membuktikan bahwa dia adalah pencurinya.”

“Perhatikan itu, ada jejak kaki yang sama.”

“Benar!” sahut warga.

Uman mulai panik.

“Bagaimana kalau kalian ikuti lagi jejak langkah itu, mungkin kalian akan tahu sesuatu. Aku memang baru sebentar mengenal Mas Ari, tapi menurutku mustahil dia yang melakukannya.”

“Tidak ada yang mustahil, Dik Lastri. Coba pikir, dia jarang keluar rumah, tidak bekerja. Bagaimana dia makan?”

“ Kalau begitu ayo ikuti.”

Warga pun menyusuri lagi jejak kaki itu. Karena terlihat masih sangat baru dan melewati jalan yang tak biasa dilalui orang, jejak kaki itu masih membekas. Terus, terus dan sampailah mereka di.. rumah Uman, dan dengan nyaman jejak itu berakhir pada sepasang sandal yang saling menindih dengan tanah merah masih menempel di alasnya.

“Mas Uman. Apa maksudnya?” Tanya Lastri.

“I..iitu.. kemarin saya lewat belakang sana. Lewat jalan pintas.”

“Kemarin? Bukan tadi pagi?” Ari, si pendatang baru itu tiba-tiba datang dan langsung bicara.

“Kau menuduhku? Bukankah bukti jelas ada di dalam rumahmu.”

Ari tertawa.

“Apanya yang lucu?” merasa mulai terpojok, Uman mulai kesal.

“Bukankah bukti itu lebih jelas?”

“Barang bukti ada di rumahmu.”

“Dan saya punya saksi.”

“Apa!”

“Maaf Pak Uman” ibunya Lastri ikut bicara, “sebenarnya, saya, Lastri, dan Mas Ari melihat dengan jelas bagaimana Pak Uman masuk membawa ayam itu lewat pintu belakang.”

“Mas Uman terlalu berisik untuk menjadi maling.” Timpal Lastri.

“Dan terlalu selebor dengan meninggalkan jejak, bahkan menuju rumah sendiri.”

Serta merta warga mengerubungi Uman. Uman makin panik. Keringat mengucur deras mengalir di wajahnya.”

“Apa maksudnya ini Uman?” tiba-tiba Pak Alan maju membentak.

“Ma.. maksud bapak?”

“Apa maksud kamu ingin memfitnah Pak Ari?”

“Bukannya bapak yang…”

“Yang apa?”

“Jangan sok munafik, Pak. Bukannya bapak yang perintahkan saya memfitnah Mas Ari, supaya dia dibenci oleh Lastri.”

“Kapan? Saya tidak pernah memerintahkan itu. Mungkin Dik Uman mimpi. Saya ketua wilayah ini. Sarjana seperti Pak Ari. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan kotor seperti ini. Kalaupun saya merasa disaingi, saya akan bersaing dengan sehat, dengan sportif. Itulah saya.”

“PEMBOHONG!” teriak Uman.

“Sudah ketahuan belangnya, sekarang mau membawa-bawa Pak Alan, kau, hah?” hardik salah seorang warga.

“Dasar maling.” Satu pukulan mendarat di wajah Uman. Dua pukulan hingga tak terhitung. Diam-diam Alan pergi meninggalkan kericuhan itu.

“Dasar bodoh!”Umpat Alan dalam hati.

“Alan sialan!” Jerit Uman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar