Tuhan anugerahkan napas dalam elok senyumnya
Bagiku, senyum itu adalah udara..
Juga Tuhan anugerahkan nyawa
dalam elok senyumnya.
Karena bagiku, senyumnya adalah jiwa
Translate
Jumat, 31 Agustus 2012
Rabu, 22 Agustus 2012
UNTUK SESEORANG
yang datang sebagai angin
yang datang sebagai atmosfer
adalah dia
yang datang sebagai embun
yang datang sebagai gerimis
adalah dia
LAPANG
Tanah lapang, itulah tempatku dan kawan-kawan melewati
keriangan kanak-kanak. Tanah lapang. Ya, tanah yang lapang. Tanah yang
benar-benar lapang. Tanah kosong yang hanya ditumbuhi perdu di pinggirnya.
Sisanya tanah. Tanah kami! Tanah main kami!
Tak ada
yang tak bisa kami lakukan di sana
Aku tak
akan lupa bagaimana susah payahnya kuterbangkan layang-layang. Tak akan lupa bagaimana riangnya kami membuat
garis pembentuk lapangan aneka permainan. Tak akan lupa riangnya kami bersepeda.
Tak lupa saat-saat kami berlarian saling mengejar. Saling mengejar. Saling
mengejar! Dan jangan tanya tentang sepak bola.
Kini aku
kembali. Kambali. Tapi tidak ke masa itu. Tidak ke masa ‘yang-ada-hanya-ceria’
itu. Aku kembali ke sini. Tanah lapang itu. Tanah kami. Tanah main kami! Bukan!
Aku tak kembali ke sana. Aku tak melihat keriangan lagi. Tak ada peluh ceria
lagi. Yang ada hanya gedung-gedung angkuh yang tak saling menyapa.
Yang
tersisa hanya memori !
KEPADA CINTA
Saat sendisendi melemah,
tulangtulang merapuh
Dia datang menjadi penopang
Saat matahari meredup,
bintangbintang memudar
Dia ada menjadi cahaya
Saat pipi membasah, isak
membuncah
Dia menjelma jadi ceria
Kepada cinta, yang datang
di waktu yang sempurna
Kepada cinta, yang
berkembang
dengan sendirinya
Terimakasih
GADIS SEBERANG
Matahari
mulai menyusup menghilang di ufuk barat. Semburat merah memancar gagah dari
sana. Lalu lintas Jakarta masih penuh lalang kendaraan, tapi di jalan
perkampungan itu sangat lengang. Hanya ada beberapa pedagang dengan gerobaknya
terseok-seok letih hendak pulang. Terkadang ada sepeda motor melintas. Jarang,
bahkan hampir tak pernah lewat mobil di jalan itu. Yang paling banyak melintas
adalah manusia: lelaki dewasa berkemeja pulang kerja, lebih banyak lagi bocah
pulang main sepak bola.
Sore
seperti ini adalah saat yang paling disukai oleh lelaki itu, setidaknya dalam
empat hari belakangan. Dia akan duduk di beranda rumahnya, membawa gitarnya,
lalu bernyanyi. Hampir semua lagu yang dinyanyikannya lagu cinta. Keras keras
dipetiknya gitarnya, vokalnya pun tak mau kalah.
Hari ini dia
menyanyikan Nyawa Hidupku, Ada Band.
Angin
malam berhembus
Lirih
dingin menyapa
Coba
merasakan
Semilir
kehadiranmu
Dia
menyanyi penuh penghayatan. Ditujukan khusus untuk wanita yang tersenyum memperhatikannya
dari jendela lantai atas rumah di seberang rumahnya.
Wanita
itu sangat suka saat-saat matahari tenggelam. Baginya, selain memberikan
kehangatan, semburat warna matahari terbenam menimbulkan ketenangan. Ketentraman. Dia sangat
suka warna-warni. Dia sudah bosan dengan hitam, putih dan abu-abu yang
mengepung hari-harinya.
Jadi dia sangat
senang saat orang tuanya pindah ke perkampungan itu, empat hari yang lalu.
Senang, karena dia diberi kamar di lantai dua. Jendela kamarnya menghadap ke
barat. Lebih senang lagi karena rumahnya adalah satu-satunya rumah berlantai dua di sana.
Ditambah lagi,
lelaki itu selalu menyanyi untuknya.
Jika
bedug maghrib telah terdengar, lelaki itu segera mengakhiri nyanyiannya.
Setelah tersenyum pada wanita di jendela itu, bergegas ia masuk ke rumah:
mengambil sarung, baju koko, peci.
Berangkat ia ke
mushola.
Bedug
maghrib seperti alarm bagi orang tua wanita itu. Dia akan naik ke kamar
anaknya, menutup daun jendela. Lalu
didorongnya kursi roda anaknya perlahan, penuh kasih sayang. Anaknya lalu
dipindahkannya ke ranjang.
Biasanya,
anaknya akan meminta kanvas dan peralatan lukisnya, atau mengambil satu dari
berderet buku di rak bukunya.
Sarung
telah dikenakan. Baju koko telah menutup badan. Peci bertengger di kepala.
Dengan wajah berseri-seri melangkah dia ke luar rumah.
Sebelum
berangkat, disempatkannya melihat ke jendela kamar wanita itu. Sama seperti
tiga hari yang lalu, jendela itu tertutup.
Tapi dia tetap
tersenyum melihatnya.
Malam
ini malam minggu. Lelaki itu tengah berusaha fokus. Dihadapinya laptopnya. Buku-buku bertebaran di
sekitarnya.
Bagi dia, malam
adalah waktu yang tepat untuk mengerjakan tugas akhirnya itu. Ketenangan,
kesejukkan yang tak bisa didapatnya di siang hari adalah saat-saat efektif
efisien baginya untuk menulis.
Dia pun rutin mengerjakan itu, sejak
dia mulai mengerjakan bab satu skripsinya, dua bulan yang lalu
Tapi di empat
hari ini, sekuat apapun dia mencoba fokus, dia selalu menyerah.
Tulisan
di monitornya selalu menjelma
wajah wanita seberang rumah.
Malam
bagi wanita itu adalah saat-saat membosankan. Dia tidak diizinkan melihat
keluar sekadar melihat bintang-bintang. Padahal saat kecil dia sangat suka
melihat bintang.
Dia sangat
merindukan bintang-bintang.
Digapainya
kanvas kecil yang ditinggalkan ibunya di sudut ranjang. alat lukis diambilnya
di meja kecil samping ranjangnya.
Dalam rindunya
pada bintang, dia mulai berkarya. Cekatan tangannya menggores warna.
Bintang-bintang
di langit dilukisnya. Terang di tengah gelap. Dia melukis bintang, melukis
bintang-bintang. Berjajar bintang lukisannya di langit, membentuk sesosok
manusia memegang gitar.
Tersenyum dia
menatap jendela.
Sekuat
apapun dia mencoba, tak ada satupun kata-kata yang mampu ditulisnya. Akhirnya
dia membuka dokumen baru. Ditulisnya sebuah puisi:
Tak jemu kumemandang, duhai adik kekasih
rupawan.
Senyum cerah mengembang memanja
Buat selalu mendamba
Aku tersentuh lugu
Aku terpikat sendu
Oh, adik kekasih rupawan
Tersekat jarak, senyummu tertinggal di
sini
Lukisan
barunya selesai. Sentuhan terakhir, ditandatanganinya karyanya itu. Di atasnya lalu dibubuhi judul:
‘Bintang Bergitar’.
Dia jadi lupa
sama sekali dengan kerinduannya pada bintang-bintang.
Terus tersenyum,
dipandanginya lukisan baru itu.
Dia
merasa puas. Meski gagal lagi melanjutkan pengerjaan skripsinya, setidaknya dia
menulis sesuatu.
Dibacanya lagi
karyanya itu.
Lagi, kata-kata
di monitornya membentuk wajah wanita seberang rumah.
Tersenyum dia
sendiri.
Lama
dipandanginya karya barunya.
Catnya sudah mulai mengering.
Dipeluknya
lukisan itu.
Dia lalu
memejamkan matanya. Dari gerak bibirnya terbaca: “Tuhan, lelapkan aku dalam
tidur malam ini. Berikan aku mimpi yang indah. Sehatkan ragaku. Semoga aku bisa
bertemu esok, dan bisa melihatnya, mendengarkan lagunya.”
Lebih
dari sepuluh kali dibacanya puisi itu. Sempurna. Dia merasa bangga pada
karyanya.
Laptop
dimatikannya. Lampu kamar dipadamkannya.
Dalam gelap dia
berdoa: Semoga mimpi indah malam ini. Hadirkan wanita itu di mimpi hamba malam
ini, lalu jadikan itu kenyataan, Ya Allah. Semoga hamba bangun esok hari dalam
keadaan segar dan bahagia, amin.”
Pagi-pagi
benar pintu rumah berhadap-hadapan itu terbuka bersamaan. Sang lelaki keluar
dengan kaus olah raga, celana olah raga, dan sepatu olah raga. Dari pintu
seberang keluar sang wanita di kursi roda, didorong oleh ibunya. Ayahnya
mengikuti di belakang. Ketiganya berpakaian rapi.
Melalui tatapan
mata, dijawab dengan senyum, pemuda-pemudi itu berbicara. Tanpa suara.
Dari pintu
rumahnya, lelaki itu melangkah ke kanan, menuju lapangan.
Dari pintu rumahnya,
wanita itu bergegas ke kanan, menuju gereja.
Selang beberapa
jauh, keduanya melihat ke belakang.
Langganan:
Postingan (Atom)