Translate

Rabu, 22 Agustus 2012

GADIS SEBERANG




Matahari mulai menyusup menghilang di ufuk barat. Semburat merah memancar gagah dari sana. Lalu lintas Jakarta masih penuh lalang kendaraan, tapi di jalan perkampungan itu sangat lengang. Hanya ada beberapa pedagang dengan gerobaknya terseok-seok letih hendak pulang. Terkadang ada sepeda motor melintas. Jarang, bahkan hampir tak pernah lewat mobil di jalan itu. Yang paling banyak melintas adalah manusia: lelaki dewasa berkemeja pulang kerja, lebih banyak lagi bocah pulang main sepak bola.

Sore seperti ini adalah saat yang paling disukai oleh lelaki itu, setidaknya dalam empat hari belakangan. Dia akan duduk di beranda rumahnya, membawa gitarnya, lalu bernyanyi. Hampir semua lagu yang dinyanyikannya lagu cinta. Keras keras dipetiknya gitarnya, vokalnya pun tak mau kalah.
     Hari ini dia menyanyikan Nyawa Hidupku, Ada Band.

     Angin malam berhembus
     Lirih dingin menyapa
     Coba merasakan
     Semilir kehadiranmu

     Dia menyanyi penuh penghayatan. Ditujukan khusus untuk wanita yang tersenyum memperhatikannya dari jendela lantai atas rumah di seberang rumahnya.

Wanita itu sangat suka saat-saat matahari tenggelam. Baginya, selain memberikan kehangatan, semburat warna matahari terbenam menimbulkan ketenangan. Ketentraman. Dia sangat suka warna-warni. Dia sudah bosan dengan hitam, putih dan abu-abu yang mengepung hari-harinya.
     Jadi dia sangat senang saat orang tuanya pindah ke perkampungan itu, empat hari yang lalu. Senang, karena dia diberi kamar di lantai dua. Jendela kamarnya menghadap ke barat. Lebih senang lagi karena rumahnya adalah satu-satunya rumah  berlantai dua di sana.
     Ditambah lagi, lelaki itu selalu menyanyi untuknya.

Jika bedug maghrib telah terdengar, lelaki itu segera mengakhiri nyanyiannya. Setelah tersenyum pada wanita di jendela itu, bergegas ia masuk ke rumah: mengambil sarung, baju koko, peci.
     Berangkat ia ke mushola.

Bedug maghrib seperti alarm bagi orang tua wanita itu. Dia akan naik ke kamar anaknya, menutup daun jendela. Lalu didorongnya kursi roda anaknya perlahan, penuh kasih sayang. Anaknya lalu dipindahkannya ke ranjang.
     Biasanya, anaknya akan meminta kanvas dan peralatan lukisnya, atau mengambil satu dari berderet buku di rak bukunya.

Sarung telah dikenakan. Baju koko telah menutup badan. Peci bertengger di kepala. Dengan wajah berseri-seri melangkah dia ke luar rumah.
     Sebelum berangkat, disempatkannya melihat ke jendela kamar wanita itu. Sama seperti tiga hari yang lalu, jendela itu tertutup.
     Tapi dia tetap tersenyum melihatnya.

Malam ini malam minggu. Lelaki itu tengah berusaha fokus. Dihadapinya laptopnya. Buku-buku bertebaran di sekitarnya.
     Bagi dia, malam adalah waktu yang tepat untuk mengerjakan tugas akhirnya itu. Ketenangan, kesejukkan yang tak bisa didapatnya di siang hari adalah saat-saat efektif efisien baginya untuk menulis. Dia pun rutin mengerjakan itu, sejak dia mulai mengerjakan bab satu skripsinya, dua bulan yang lalu
     Tapi di empat hari ini, sekuat apapun dia mencoba fokus, dia selalu menyerah.
     Tulisan di monitornya selalu menjelma wajah wanita seberang rumah.

Malam bagi wanita itu adalah saat-saat membosankan. Dia tidak diizinkan melihat keluar sekadar melihat bintang-bintang. Padahal saat kecil dia sangat suka melihat bintang.
     Dia sangat merindukan bintang-bintang.
     Digapainya kanvas kecil yang ditinggalkan ibunya di sudut ranjang. alat lukis diambilnya di meja kecil samping ranjangnya.
     Dalam rindunya pada bintang, dia mulai berkarya. Cekatan tangannya menggores warna.
     Bintang-bintang di langit dilukisnya. Terang di tengah gelap. Dia melukis bintang, melukis bintang-bintang. Berjajar bintang lukisannya di langit, membentuk sesosok manusia memegang gitar.
     Tersenyum dia menatap jendela.

Sekuat apapun dia mencoba, tak ada satupun kata-kata yang mampu ditulisnya. Akhirnya dia membuka dokumen baru. Ditulisnya sebuah puisi:

     Tak jemu kumemandang, duhai adik kekasih rupawan.
     Senyum cerah mengembang memanja
     Buat selalu mendamba

     Aku tersentuh lugu
     Aku terpikat sendu

     Oh, adik kekasih rupawan
     Tersekat jarak, senyummu tertinggal di sini

Lukisan barunya selesai. Sentuhan terakhir, ditandatanganinya karyanya itu. Di atasnya lalu dibubuhi judul: ‘Bintang Bergitar’.
     Dia jadi lupa sama sekali dengan kerinduannya pada bintang-bintang.
     Terus tersenyum, dipandanginya lukisan baru itu.

Dia merasa puas. Meski gagal lagi melanjutkan pengerjaan skripsinya, setidaknya dia menulis sesuatu.
     Dibacanya lagi karyanya itu.
     Lagi, kata-kata di monitornya membentuk wajah wanita seberang rumah.
     Tersenyum dia sendiri.

Lama dipandanginya karya barunya. Catnya sudah mulai mengering.
     Dipeluknya lukisan itu.
     Dia lalu memejamkan matanya. Dari gerak bibirnya terbaca: “Tuhan, lelapkan aku dalam tidur malam ini. Berikan aku mimpi yang indah. Sehatkan ragaku. Semoga aku bisa bertemu esok, dan bisa melihatnya, mendengarkan lagunya.”

Lebih dari sepuluh kali dibacanya puisi itu. Sempurna. Dia merasa bangga pada karyanya.
     Laptop dimatikannya. Lampu kamar dipadamkannya.
     Dalam gelap dia berdoa: Semoga mimpi indah malam ini. Hadirkan wanita itu di mimpi hamba malam ini, lalu jadikan itu kenyataan, Ya Allah. Semoga hamba bangun esok hari dalam keadaan segar dan bahagia, amin.”

Pagi-pagi benar pintu rumah berhadap-hadapan itu terbuka bersamaan. Sang lelaki keluar dengan kaus olah raga, celana olah raga, dan sepatu olah raga. Dari pintu seberang keluar sang wanita di kursi roda, didorong oleh ibunya. Ayahnya mengikuti di belakang. Ketiganya berpakaian rapi.
     Melalui tatapan mata, dijawab dengan senyum, pemuda-pemudi itu berbicara. Tanpa suara.
     Dari pintu rumahnya, lelaki itu melangkah ke kanan, menuju lapangan.
     Dari pintu rumahnya, wanita itu bergegas ke kanan, menuju gereja.
     Selang beberapa jauh, keduanya melihat ke belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar