Translate

Selasa, 20 Agustus 2013

RENUNGAN SYAWAL

Jadi, apa Ramadan di matamu?
Madrasah?
Atau penjara?

Senin, 12 Agustus 2013

SEINDAH SENJA

telah kuberi padamu sepucuk cinta
yang telah kupupuk dan kusemai seindah senja
tapi waktu menenggelamkannya
: lembayung luruh ditelan gelap

Rabu, 07 Agustus 2013

KARENA AKU: XX


SABTU pagi, aku dibangunkan oleh nadadering ponselku.
          Siapa pula yang menelpon sepagi ini?
          Mataku masih sepat. Kuraba-raba tempat tidurku mencari benda yang masih berbunyi itu.           Biasanya kuletakkan tak jauh dari posisi tidurku.
          Ketemu!
          Kulihat layarnya. Dalam buram penglihatan—efek baru bangun dan melihat tanpa kacamata adalah paduan sempurna pembuat dunia terlihat buram—kulihat nama Putri tertulis di sana.
          Langsung kutekan tombol menerima panggilan.
          “Halo, assalamalaikum,” sapaku.
          Tak ada suara.
          “Halo? Moshi-moshi,” ulangku. Sapaan dalam bahasa Jepang mungkin ada jawaban.
          Tetap tak ada suara.
          “Put? Jangan iseng, deh,” kataku lemah.  
          Aku tak bisa marah.
          "Put?"
          Akhirnya terdengar suaranya.
          Sebuah isakan.
          “Put?” tanyaku lagi.
          Isakannya perlahan semakin keras. Semakin keras.
          Dia tidak bercanda.
          “Kamu kenapa, bu guru?”
          “Bisa datang ke sini, gak?” pintanya.
          Tak mungkin kutolak.

TERNYATA ini tidak sepagi yang kuduga. Kupikir aku bangun seperti biasa.
          Jam sudah menunjukkan pukul duabelas kurang lima menit.
          Mandi kilat, mengambil baju sekenanya, menyalakan si itali gendut, kemudian langsung tancap gas.
          Putri menunggu di suatu tempat.

DI SEBUAH pusat perbelanjaan modern, di meja suatu restoran franchise ternama, Putri menungguku.
          Dia tampak muram mengaduk-aduk eskrim tak jelas seperti itu.
          Kududuk di hadapannya.
          “Kenapa, Put?”
          “Temenin aku, yuk!” katanya lemah. Matanya masih tertuju pada eskrim adukannya.
          “Ke mana?” tanyaku.
          “Nanti aku kasih tahu,” jawabnya.
          Baiklah.

ARAHAN Puti membawa kami menuju sebuah taman. Dua pasang ayunan, sebuah seluncuran, dan beberapa tempat bermain yang aku tak tahu namanya terpasang di taman ini. Pohon-pohon tampak kukuh dengan daun yang rimbun, dipersempurna dengan semak yang terpangkas rapi serta bebungaan di beberapa sudut taman. Pasti menyenangkan sore hari bermain di sini.
          Sayangnya, aku ke sini bersama perempuan cantik yang matanya masih sembab.
          Kami duduk di bangku taman, di bawah pohon yang paling rimbun.
          “Kenapa sih, Put?” tanyaku membuka pembicaraan.
          Dia menjawab dengan tatapan kosong. Menatap entah apa.
          “Rangga,” katanya terputus. Terlihat ada kata yang tertinggal di tenggorokannya.
          Sebutir airmata menyembul di ujung matanya, kemudian mengalir.
          “Kenapa si Rangga?” tanyaku lagi.
          “Dia,” katanya tanggung lagi, kemudian terisak.
          “Yaudah,  kalau gak mau cerita gak apa-apa,” kataku tersenyum.
          Airmatanya mengalir lagi. Kuseka dengan tanganku.
          “Main itu aja yuk, Put!” ucapku sambil menunjuk ayunan. Kemudian aku bangun berjalan setengah berlari menuju benda itu, dan duduk di sana.
          “Ayo, Put!” kataku.
          Samar, kulihat Putri mulai tersenyum.
          Kutarik diriku ke belakang, kemudian berayun. Ayunan pertama, kedua, ketiga, kemudian berhenti. Kutarik lagi makin ke belakang, makin jauh. Ayunanku semakin tinggi. Semakin cepat. Aku berteriak kegirangan. Entah kapan terakhir kali aku main ayunan seperti ini.
          Kulirik Putri. Kulihat dia tersenyum lagi.
          Kutarik lagi diriku makin ke belakang, saking semangatnya. Ayunanku seemakin cepat, semakin tinggi.
          Saking tingginya, di ayunan kedua, ayunan itu tanpa penghuni.
          Putri tertawa melihatku terjerembab.

“RANGGA ngeboongin aku,” katanya sambil menempelkan plester di siku tangan kananku.
          “Maksudnya? Ngeboongin gimana?” tanyaku.
          “Tadi pagi dia datang ke rumah,” Putri mulai bercerita.
          Kusimak baik-baik.
          “Tadi dia dateng ke rumah. Yah, kami ngobrol-ngobrol lah,” katanya.
          “Lalu?” tanyaku.
          Putri tampak lebih tenang menceritakan tentang ini setelah dia puas menertawakanku. Tak apa lah. Perihnya nyungsepku setidaknya ada hasilnya.
          “Pas dia ke kamar mandi, handphonenya bunyi. Entah ada angin apa, tumben aku mau lihat siapa yang ngehubungin dia. Ternyata ada SMS. Handphone dia kan kalo ada SMS pesannya jalan-jalan gitu tuh di atas. Nah, kebaca dong sama aku. Ternyata itu ngingetin untuk ketemuan siang ini. Bahasanya mesra banget. Aku lihat siapa yang ngirim, ternyata nama perempuan.”
          “Adiknya mungkin,” ucapku mencoba menghibur.
          “Rangga anak tunggal,” katanya.
          “Cuma karena itu kamu sesedih itu?” tanyaku.
          “Enggak, lah. Aku gak sebodoh itu sedih cuma karena hal yang belum jelas,” katanya lagi.
          “Lalu?”
          “Yah, aku mencoba berpikir positif aja. Mungkin itu sepupunya, atau saudara lainnya. ‘Berpikir positif! Berpikir positif!’ aku terus mengulang-ulang kalimat itu tadi pagi. Tapi semakin aku coba berpikir kayak gitu justru aku semakin penasaran.”
          “Rangga tahu kamu ngebaca SMS-nya?”
          “Enggak. Aku cuma bilang tadi handphone-nya bunyi. Terus dia langsung ngecek. Dia sama sekali gak tahu kalo aku tahu apa isi SMS yang dibacanya,” jelas Putri.
          “Reaksinya waktu baca SMS itu?”
          “Biasa aja, sih,” jawab Putri.
          Aku menggumam.
          “Terus gimana kelanjutannya?” tanyaku.
          “Karena aku kepikiran terus, aku ngajak dia nemenin aku beli kanvas. Aku tahu dia pasti nolak karena janji yang di SMS tadi. Aku mau tahu dia akan bohong atau jujur.”
          “Dan ternyata?”
          “Dia bilang dia mau main futsal sama teman-temannya,” ucap Putri tersenyum.
          Entah apa arti senyum itu.
          “Terus kamu langsung bilang yaudah?” tanyaku.
          “Aku bilang gini: ‘yaudah, aku ikut kamu main futsal, seselesainya kamu main futsal baru anterin aku’. Gitu,” lanjutnya.
          “Wah, pukulan telak. Terus dianya?”
          “Aku kenal dia banget. Pas dia ngasih alasan kelihatan banget dia bohongnya,” kata Putri.
          “Emang dia ngomong apa?”
          “Setelah main futsal aku mau ke rumah Ali, sayang. Kamu kenal Ali, kan? Itu, lho, yang keturunan Arab. Kami semua dijanjiin Ali makan masakan ibunya. Yang lain gak ada yang ajak pacarnya, jadi gak enak kalau aku ajak kamu,” ucap Putri menirukan perkataan Rangga.
          Aku tersenyum mendengarnya.
          “Terus dia pergi?”
          Putri mengangguk.
          “Mau bohong tapi ketahuan. Kasihan si Rangga,” ucapku.
          “Iya. Dia emang bodoh,” timpal Putri.
          “Lalu kamu langsung ke restoran tadi dan nangis di sana?”
          “Ya enggak, lah. Masa iya aku mau nangis aja harus ke restoran dulu,” katanya.
          “Lantas?”
          Putri mengatur napasnya. Siap melanjutkan cerita.
          “Di SMS itu kan perempuan itu ngingetin ketemuan. Nah di sana dia juga ngingetin tempat dan waktunya. Setelah Rangga pergi, aku buru-buru ganti baju dan kemudian nyusul dia ke tempat itu.”
          Persis sandiwara televisi.
          “Dan yang kamu lihat di sana?”
          “Aku males nyeritain bagian ini. Rangga kelihatan pecundangnya waktu aku pura-pura gak sengaja ketemu dia,” kata Putri.
          Aku tertawa mendengarnya.
          “Dia ngomong apa emangnya?” tanyaku memancing dia bercerita. Penasaran.
          “Dia cuma bengong kayak orang bodoh. Cewek itu yang banyak omong.”
          “Oh ya?”
          “Iya. Aku ngajak kenalan. Aku ngaku jadi teman Rangga di kampus. Kamu tahu bagaimana dia memperkenalkan diri?”
          “Apa? ‘Aku pacarnya Rangga’, gitu?”
          “Tepat!” jawabnya.
          Aku tertawa keras sekali.
          “Kenapa kamu jadi senang banget gitu? Kamu gak tahu rasanya jadi aku kayak gimana pas dia ngomong begitu? ” tanya Putri sewot.
          “Maaf, maaf. Aku cuma negbayangin gimana mukanya si Rangga waktu perempuan itu ngomong kayak gitu,” kilahku.
          “Muka Rangga cupu banget!” timpal Putri agak emosi.
          Aku tertawa lagi.
          “Kamu masih sedih? Kamu merasa tersakiti?” tanyaku setelah berhasil menguasai diri dari hasrat ingin terbahak terlalu lama.
          Putri diam.
          “Kamu masih cinta sama dia?” tanyaku lembut.
          Putri tersenyum.
          “Entahlah,” jawabnya.
          “Aku gak nyangka aja dia bisa kayak gitu,” katanya.
          Kembali dia tampak murung.
          “Ya sudah. Masih banyak waktu buat kamu memikirkan masalah ini,” jawabku sok.
          Dia tersenyum.
          “Setelah kejadian itu, Rangga terus nelpon aku. Aku gak angkat. Dia SMS, dia chat, aku gak balas. Biarin aja,” katanya.
          “Biarin aja dia ngerasa kalut. Biar dia kapok,” timpalku.
          Dia senyum lagi.
          “Makasih ya, Pak Guru,” tiba-tiba dia mengatakan itu.
          Kupandang wajahnya.
          “Makasih buat apa?” tanyaku.
          “Makasih, udah mau dengerin curhatan aku. Makasih udah nemenin aku sekarang,” katanya sambil senyum lagi.
          Kubalas senyumnya.
          “Setelah ini kamu mau ke mana?” tanyaku padanya.
          “Enggak tahu. Kamu ada acara?”
          “Ikut aku yuk! Bocah-bocah skeptis itu ngajak aku latihan nge-band nanti sore. Mau?” tawarku.
          Putri mengangguk.

(bersambung)

Minggu, 04 Agustus 2013

KARENA AKU: XIX


SEJAK peristiwa itu, hubunganku dengan Robi semakin memburuk. Mungkin kami masih saling menyapa jika bertemu, namun dalam hati siapa tahu. Tak ada yang mampu menebak warna hati Robi. Ia semakin jadi menyebalkan, terutama setelah menyadari bahwa keberadaanku justru semakin diterima oleh semua orang. Sama-sama melakukan kesalahan, tapi tatap mata orang terhadapku jauh berbeda dibanding tatapan mereka pada Robi. Siswa mulai enggan berurusan dengan Robi. Guru-guru pun demikian.
          Banyak hal yang dapat menjelaskan alasan di balik kejadiannya dengan Rama itu. Aku punya dugaan kuat: alasannya jelas Sinta! Belakangan ini Sinta memang terlihat jarang—bahkan sangat jarang—kulihat bersama Robi. Jika tidak bersama teman-teman perempuannya, Sinta lebih senang bersama Rama atau aku. Jika hendak mendiskusikan atau bertanya tentang sastra, hal yang selama ini mendekatkannya dengan Robi, Sinta kini lebih memilih aku.
          Jika mencocokkan kenyataan itu dengan selentingan kabar yang mengatakan adanya ”sesuatu” pada Robi terhadap Sinta, perkiraanku sepertinya mungkin saja.
          Putri pun sependapat dengan dugaanku.
          Kami sedang telepon-teleponan malam ini.
          “Dia cemburu. Sepertinya dia ingin membuat Rama malu, supaya Sinta membenci Rama,” kata Putri. Putri sudah tahu segala hal tentang Rama dan Sinta sejauh yang aku ketahui. 
          Berbagi cerita dengan Putri adalah kebahagiaan tersendiri bagiku.
          “Aku rasa juga begitu. Awalnya ia cemburu sama aku sampai ngirim sms ancaman aneh menggelikan kayak waktu itu, tapi akhirnya ia sadar kalo Sinta lebih akrab dengan Rama dibanding aku. Bidik cemburu alih target.”
          Putri sepakat.
          “Lebih baik Sinta sama Rama daripada harus sama Si Serba Hitam itu.”
          Putri ikut menyebut Robi dengan panggilan yang kubuat.
          Aku punya alasan untuk tertawa saat ini.
          “Ngomong-ngomong, gimana itu kelanjutan kisah Yuda dan Annelis, Rama dan Sinta. Sudah ada perkembangan menuju anggukan belum?” tanya Sinta.
          “Anggukan?” tanyaku sambil tertawa. Istilah yang digunakannya unik juga.
          “Iyah, anggukan menyatukan cinta,” jawabnya sambil tertawa juga.
          Kami tertawa bersama.
          “Gimana? Penasaran juga gimana hasilnya,” sambung Putri.
          “Belum. Yuda masih usaha. Rama sebentar lagi sukses sepertinya.”
          “Seneng ya. Dua orang yang sebelumnya galau, sekarang udah bisa usaha menemukan kebahagiaannya,” kata Putri.
          Nada suaranya terdengar seperti sedang membayangkan sesuatu.
          Kutanggapi pernyataannya dengan senyuman. Tanggapan yang mustahil dilihatnya.
          “Kamu sendiri gimana? Kamu usaha bantu teman kamu supaya bahagia sama pasangan yang diimpikannya, tapi kamu masih jomblo juga. Kamu gak usaha juga?”
          Pertanyaan yang membuatku kehilangan kemampuan menyusun kata.
          “Halo?”
          “Iya Put?” sahutku.
          “Kamu sendiri gimana? Masih betah ngejomblo? Mau aku kenalin sama teman aku? Atau ada guru di sekolah yang kamu taksir? Bilang aja, biar aku bantu kamu.”
          “Ada, Put. Kamu.”
          Putri tidak mendengar jawaban itu. hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.
          “Belum, Put,” jawabku.
          “Belum apa, nih? Belum nemu yang tepat?”
          “Sudah, Put. Kamu! Belum itu maksudnya kamu belum putus sama pacar kamu.”
          Lagi, hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.

(bersambung)