PERTEMUANNYA dengan Annelis membuat Yuda kembali menyusun
mimpi yang hampir saja dihancurkannya. Sebuah lukisan di kamarnya sudah tidak
ada di tempat. Ia telah menjual lukisan berjudul Annelis itu dengan bayaran
sejumlah dua belas angka yang dapat memisahkan jarak antara ia dan perempuan
berambut emas itu. Pulsa handphonenya kini telah digunakannya sebagaimana
mestinya.
“Galaunya udah tamat nih kayaknya?”
Aku menemukannya sedang asyik dengan
handphonenya. Diketiknya sesuatu sambil tersenyum.
Sejak pentas seni itu, Yuda dan Annelis
semakin intens berkomunikasi. Dari komunikasi-komunikasi itu, Yuda mengetahui
banyak hal tentang Annelis. Dia—Annelis—baru kembali setelah menyelesaikan
studi creative and performing arts-nya di Leiden, Belanda. Sebuah
kenyataan yang membuat mereka semakin dekat. Yuda juga telah mengetahui kebenaran
perihal yang dilihatnya di sebuah pusat perbelanjaan tempo hari. Kenyataan yang
membuatnya berani bermimpi lagi.
“Ternyata, banyak hal tentang dunia seni yang
gue enggak tahu,” katanya tiba-tiba setelah meletakkan handphone-nya di meja.
“Annelis?” tanyaku.
“Iya. Gue udah merasa puas dengan apa yang due
dapet selama kuliah. Ternyata masih banyak lagi hal di luaran sana yang membuat
gue sadar: pengetahuan gue belum ada apa-apanya.”
“Enak dong, diajarin bule cantik?”
Dia tertawa. Aku tak ingin mendengar
pembicaraan itu lebih jauh. Sebelum akhirnya aku tak mengerti apa yang dia
katakan, lebih baik kualihkan saja topik pembicaraan.
“Gimana perkembangan pendekatan. Lancar?”
Yuda tersenyum.
“Masih usaha. Doain aja semoga sukses,”
katanya sambil terkekeh.
Kuaminkan yang terbaik untuknya.
DUNIA memang ditakdirkan untuk berputar dan terus
berputar. Hingga Pemiliknya menghendaki untuk berhenti, dunia bersama waktu tak
pernah lelah berlari.
Banyak hal yang dapat dilakukan manusia selama
dunia berpacu bersama waktu. Manusia lebur bersama waktu itu. Manusia luluh
bersama dunia yang membawanya. Waktu dan dunia adalah teman untuk berbagi
sekaligus musuh yang harus ditaklukkan. Keberhasilan, kesuksesan, ditentukan
tergantung bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam bergaul dengan waktu dan
dunia.
Cinta pun demikian.
Tak ada yang lebih sempurna dalam cinta selain
cinta yang membahagiakan. Tak ada yang lebih didamba selain cinta yang
menenangkan.
Dan untuk mencapai itu, dunia dan waktu perlu
pembuktian.
Sama halnya dengan apa pun, mimpi adalah awal
dari geraknya manusia menggumuli waktu dan dunia. Mimpi adalah pendorong
berkekuatan nitro yang mampu melesatkan seseorang menemukan cinta yang
didambanya. Mimpi menjadi awal dari tiap langkah cinta yang membahagiakan dan menenangkan.
Yuda dan Rama sudah merangkai lagi mimpinya.
Mereka telah kembali bergelut dengan waktu dan dunia. Sementara aku masih saja
terkapar dalam mimpi dan mimpi. Tak ada waktu yang dapat kukaribi. Keadaan tak
mempertemukan. Tak ada juga dunia yang dapat menyadarkan, dunia bagiku hanya
sebatas dering alarm di kamarku.
Pagi ini, Putri diantar lagi oleh kekasihnya.
Kemesraan yang memaksaku harus mengungkung perasaan makin dalam. Dalam. Dalam.
KEJADIAN kemarin masih menjadi topik yang diperbincangkan.
Tak hanya di ruang guru. Kelas, kantin, pos satpam, halaman, tempat parkir,
uks, bahkan perpustakaan sedang hangat membicarakan hal itu. Sepertinya mereka
kagum menemukan sosok superhero di dalam tubuh kurusku.
Hari ini akan ada rapat dewan guru. Tindakanku
kemarin—harus kuakui—memang di luar batas. Jelas aku telah melakukan kesalahan
dengan memukul lelaki pecundang itu. Harusnya aku mampu mengendalikan diri.
Memukulnya sama artinya dengan sama pecundangnya aku dan ia. Biarlah. Aku hanya
muak dengan perkataan menjijikkannya saat itu. Jika kubiarkan, entah apa yang
terjadi dengan Rama saat ini.
Setidaknya, aku membuat Rama merasa bukan pada
tempatnya ia dipersalahkan dengan masalah sesepele itu.
Rapat dewan guru sedang berlangsung. Kami
semua berkumpul di aula. Kepala sekolah memimpin acara ini. Hal yang dibahas
tentu tentang masalah itu. Aku dan Robi menjadi tokoh utama dalam rapat kali
ini. Jelas aku menang mutlak. Hampir semua yang hadir mendengar apa yang
perkataan merendahkan yang diucapkan Robi saat itu. Pak Kepala Sekolah pun
mulai terbuka keberpihakannya dan kini kembali pada posisi netral.
“Yah, bagaimanapun, Pak Robi harus mengakui bahwa apa yang
dikatakannya pada Rama adalah perbuatan yang sangat tidak pantas,” ucap Kepala
Sekolah penuh wibawa.
“Tapi kita juga tidak dapat membenarkan
pemukulan di lingkungan sekolah dengan alasan apa pun. Tindakan itu jelas
mencemarkan nama sekolah seandainya berita itu tersebar. Apa yang ada di benak
masyarakat jika tahu ada sekolah yang gurunya baku hantam di tempat seharusnya
intelektual dikedepankan?”
Aku kehilangan pita suara.
“Kalian berdua masih muda,” lanjut Kepala
Sekolah.
Andai ada penyumbat telinga, aku ingin
memakainya.
“Kalian harus mampu mengendalikan emosi,” lanjut Kepala
Sekolah, “kita, guru, harus menunjukkan
sesuatu yang patut ditiru oleh siswa. Ingat, kita guru. Digugu dan ditiru. Kita
harus menjadi teladan yang baik bagi mereka.”
Ruangan senyap.
“Maaf, Pak Kepala. Lalu kebijakan apa yang
akan kita ambil untuk dua guru ini?” Pak Rahmat mengajukan pertanyaan. Semua
guru memandang padanya saat ia mengatakan hal itu, kemudian mata-mata itu
kembali lagi menatap ke arahku.
“Pihak yayasan belum memiliki peraturan yang
mengikat tentang hal ini. Hal itu juga tidak tertulis dalam kontrak yang kalian tandatangani. Untuk
hukuman, mungkin kita dan pihak yayasan harus membicarakannya lagi agar ke
depannya peristiwa seperti ini tidak harus terulang lagi. Jujur saja, saya pun
keberatan jika kedua bapak ini harus dipecat karena masalah ini. Saya sudah
bicara dengan pihak yayasan dan mereka memahaminya. Dua guru ini masih muda.
Hasil yang mereka capai selama ini memuaskan. Grafik peningkatan nilai bahasa
Indonesia siswa patut kita ucapkan hamdalah.”
“Jadi?” tanya Pak Rahmat.
“Hanya
ada hukuman moral. Mereka harus mengaku bersalah di hadapan murid saat upacara
senin nanti.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar