Translate

Kamis, 01 Agustus 2013

KARENA AKU: XVIII

PERTEMUANNYA dengan Annelis membuat Yuda kembali menyusun mimpi yang hampir saja dihancurkannya. Sebuah lukisan di kamarnya sudah tidak ada di tempat. Ia telah menjual lukisan berjudul Annelis itu dengan bayaran sejumlah dua belas angka yang dapat memisahkan jarak antara ia dan perempuan berambut emas itu. Pulsa handphonenya kini telah digunakannya sebagaimana mestinya.
          “Galaunya udah tamat nih kayaknya?”
          Aku menemukannya sedang asyik dengan handphonenya. Diketiknya sesuatu sambil tersenyum.
          Sejak pentas seni itu, Yuda dan Annelis semakin intens berkomunikasi. Dari komunikasi-komunikasi itu, Yuda mengetahui banyak hal tentang Annelis. Dia—Annelis—baru kembali setelah menyelesaikan studi creative and performing arts-nya di Leiden, Belanda. Sebuah kenyataan yang membuat mereka semakin dekat. Yuda juga telah mengetahui kebenaran perihal yang dilihatnya di sebuah pusat perbelanjaan tempo hari. Kenyataan yang membuatnya berani bermimpi lagi.
          “Ternyata, banyak hal tentang dunia seni yang gue enggak tahu,” katanya tiba-tiba setelah meletakkan handphone-nya di meja.
          “Annelis?” tanyaku.
          “Iya. Gue udah merasa puas dengan apa yang due dapet selama kuliah. Ternyata masih banyak lagi hal di luaran sana yang membuat gue sadar: pengetahuan gue belum ada apa-apanya.”
          “Enak dong, diajarin bule cantik?”
          Dia tertawa. Aku tak ingin mendengar pembicaraan itu lebih jauh. Sebelum akhirnya aku tak mengerti apa yang dia katakan, lebih baik kualihkan saja topik pembicaraan.
          “Gimana perkembangan pendekatan. Lancar?”
          Yuda tersenyum.
          “Masih usaha. Doain aja semoga sukses,” katanya sambil terkekeh.
          Kuaminkan yang terbaik untuknya.

DUNIA memang ditakdirkan untuk berputar dan terus berputar. Hingga Pemiliknya menghendaki untuk berhenti, dunia bersama waktu tak pernah lelah berlari.
          Banyak hal yang dapat dilakukan manusia selama dunia berpacu bersama waktu. Manusia lebur bersama waktu itu. Manusia luluh bersama dunia yang membawanya. Waktu dan dunia adalah teman untuk berbagi sekaligus musuh yang harus ditaklukkan. Keberhasilan, kesuksesan, ditentukan tergantung bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam bergaul dengan waktu dan dunia.
          Cinta pun demikian.
          Tak ada yang lebih sempurna dalam cinta selain cinta yang membahagiakan. Tak ada yang lebih didamba selain cinta yang menenangkan.
          Dan untuk mencapai itu, dunia dan waktu perlu pembuktian.
          Sama halnya dengan apa pun, mimpi adalah awal dari geraknya manusia menggumuli waktu dan dunia. Mimpi adalah pendorong berkekuatan nitro yang mampu melesatkan seseorang menemukan cinta yang didambanya. Mimpi menjadi awal dari tiap langkah cinta yang membahagiakan dan menenangkan.
          Yuda dan Rama sudah merangkai lagi mimpinya. Mereka telah kembali bergelut dengan waktu dan dunia. Sementara aku masih saja terkapar dalam mimpi dan mimpi. Tak ada waktu yang dapat kukaribi. Keadaan tak mempertemukan. Tak ada juga dunia yang dapat menyadarkan, dunia bagiku hanya sebatas dering alarm di kamarku.
          Pagi ini, Putri diantar lagi oleh kekasihnya. Kemesraan yang memaksaku harus mengungkung perasaan makin dalam. Dalam. Dalam.

KEJADIAN kemarin masih menjadi topik yang diperbincangkan. Tak hanya di ruang guru. Kelas, kantin, pos satpam, halaman, tempat parkir, uks, bahkan perpustakaan sedang hangat membicarakan hal itu. Sepertinya mereka kagum menemukan sosok superhero di dalam tubuh kurusku.
          Hari ini akan ada rapat dewan guru. Tindakanku kemarin—harus kuakui—memang di luar batas. Jelas aku telah melakukan kesalahan dengan memukul lelaki pecundang itu. Harusnya aku mampu mengendalikan diri. Memukulnya sama artinya dengan sama pecundangnya aku dan ia. Biarlah. Aku hanya muak dengan perkataan menjijikkannya saat itu. Jika kubiarkan, entah apa yang terjadi dengan Rama saat ini.
          Setidaknya, aku membuat Rama merasa bukan pada tempatnya ia dipersalahkan dengan masalah sesepele itu.
          Rapat dewan guru sedang berlangsung. Kami semua berkumpul di aula. Kepala sekolah memimpin acara ini. Hal yang dibahas tentu tentang masalah itu. Aku dan Robi menjadi tokoh utama dalam rapat kali ini. Jelas aku menang mutlak. Hampir semua yang hadir mendengar apa yang perkataan merendahkan yang diucapkan Robi saat itu. Pak Kepala Sekolah pun mulai terbuka keberpihakannya dan kini kembali pada posisi netral.
          “Yah, bagaimanapun, Pak Robi harus mengakui bahwa apa yang dikatakannya pada Rama adalah perbuatan yang sangat tidak pantas,” ucap Kepala Sekolah penuh wibawa.
          “Tapi kita juga tidak dapat membenarkan pemukulan di lingkungan sekolah dengan alasan apa pun. Tindakan itu jelas mencemarkan nama sekolah seandainya berita itu tersebar. Apa yang ada di benak masyarakat jika tahu ada sekolah yang gurunya baku hantam di tempat seharusnya intelektual dikedepankan?”
          Aku kehilangan pita suara.
          “Kalian berdua masih muda,” lanjut Kepala Sekolah.
          Andai ada penyumbat telinga, aku ingin memakainya.
          “Kalian harus mampu mengendalikan emosi,” lanjut Kepala Sekolah, “kita, guru, harus menunjukkan sesuatu yang patut ditiru oleh siswa. Ingat, kita guru. Digugu dan ditiru. Kita harus menjadi teladan yang baik bagi mereka.”
          Ruangan senyap.
          “Maaf, Pak Kepala. Lalu kebijakan apa yang akan kita ambil untuk dua guru ini?” Pak Rahmat mengajukan pertanyaan. Semua guru memandang padanya saat ia mengatakan hal itu, kemudian mata-mata itu kembali lagi menatap ke arahku.
          “Pihak yayasan belum memiliki peraturan yang mengikat tentang hal ini. Hal itu juga tidak tertulis dalam kontrak yang kalian tandatangani. Untuk hukuman, mungkin kita dan pihak yayasan harus membicarakannya lagi agar ke depannya peristiwa seperti ini tidak harus terulang lagi. Jujur saja, saya pun keberatan jika kedua bapak ini harus dipecat karena masalah ini. Saya sudah bicara dengan pihak yayasan dan mereka memahaminya. Dua guru ini masih muda. Hasil yang mereka capai selama ini memuaskan. Grafik peningkatan nilai bahasa Indonesia siswa patut kita ucapkan hamdalah.”
          “Jadi?” tanya Pak Rahmat.
          “Hanya ada hukuman moral. Mereka harus mengaku bersalah di hadapan murid saat upacara senin nanti.”

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar