Translate

Minggu, 04 Agustus 2013

KARENA AKU: XIX


SEJAK peristiwa itu, hubunganku dengan Robi semakin memburuk. Mungkin kami masih saling menyapa jika bertemu, namun dalam hati siapa tahu. Tak ada yang mampu menebak warna hati Robi. Ia semakin jadi menyebalkan, terutama setelah menyadari bahwa keberadaanku justru semakin diterima oleh semua orang. Sama-sama melakukan kesalahan, tapi tatap mata orang terhadapku jauh berbeda dibanding tatapan mereka pada Robi. Siswa mulai enggan berurusan dengan Robi. Guru-guru pun demikian.
          Banyak hal yang dapat menjelaskan alasan di balik kejadiannya dengan Rama itu. Aku punya dugaan kuat: alasannya jelas Sinta! Belakangan ini Sinta memang terlihat jarang—bahkan sangat jarang—kulihat bersama Robi. Jika tidak bersama teman-teman perempuannya, Sinta lebih senang bersama Rama atau aku. Jika hendak mendiskusikan atau bertanya tentang sastra, hal yang selama ini mendekatkannya dengan Robi, Sinta kini lebih memilih aku.
          Jika mencocokkan kenyataan itu dengan selentingan kabar yang mengatakan adanya ”sesuatu” pada Robi terhadap Sinta, perkiraanku sepertinya mungkin saja.
          Putri pun sependapat dengan dugaanku.
          Kami sedang telepon-teleponan malam ini.
          “Dia cemburu. Sepertinya dia ingin membuat Rama malu, supaya Sinta membenci Rama,” kata Putri. Putri sudah tahu segala hal tentang Rama dan Sinta sejauh yang aku ketahui. 
          Berbagi cerita dengan Putri adalah kebahagiaan tersendiri bagiku.
          “Aku rasa juga begitu. Awalnya ia cemburu sama aku sampai ngirim sms ancaman aneh menggelikan kayak waktu itu, tapi akhirnya ia sadar kalo Sinta lebih akrab dengan Rama dibanding aku. Bidik cemburu alih target.”
          Putri sepakat.
          “Lebih baik Sinta sama Rama daripada harus sama Si Serba Hitam itu.”
          Putri ikut menyebut Robi dengan panggilan yang kubuat.
          Aku punya alasan untuk tertawa saat ini.
          “Ngomong-ngomong, gimana itu kelanjutan kisah Yuda dan Annelis, Rama dan Sinta. Sudah ada perkembangan menuju anggukan belum?” tanya Sinta.
          “Anggukan?” tanyaku sambil tertawa. Istilah yang digunakannya unik juga.
          “Iyah, anggukan menyatukan cinta,” jawabnya sambil tertawa juga.
          Kami tertawa bersama.
          “Gimana? Penasaran juga gimana hasilnya,” sambung Putri.
          “Belum. Yuda masih usaha. Rama sebentar lagi sukses sepertinya.”
          “Seneng ya. Dua orang yang sebelumnya galau, sekarang udah bisa usaha menemukan kebahagiaannya,” kata Putri.
          Nada suaranya terdengar seperti sedang membayangkan sesuatu.
          Kutanggapi pernyataannya dengan senyuman. Tanggapan yang mustahil dilihatnya.
          “Kamu sendiri gimana? Kamu usaha bantu teman kamu supaya bahagia sama pasangan yang diimpikannya, tapi kamu masih jomblo juga. Kamu gak usaha juga?”
          Pertanyaan yang membuatku kehilangan kemampuan menyusun kata.
          “Halo?”
          “Iya Put?” sahutku.
          “Kamu sendiri gimana? Masih betah ngejomblo? Mau aku kenalin sama teman aku? Atau ada guru di sekolah yang kamu taksir? Bilang aja, biar aku bantu kamu.”
          “Ada, Put. Kamu.”
          Putri tidak mendengar jawaban itu. hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.
          “Belum, Put,” jawabku.
          “Belum apa, nih? Belum nemu yang tepat?”
          “Sudah, Put. Kamu! Belum itu maksudnya kamu belum putus sama pacar kamu.”
          Lagi, hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar