SEJAK peristiwa itu, hubunganku dengan Robi semakin
memburuk. Mungkin kami masih saling menyapa jika bertemu, namun dalam hati
siapa tahu. Tak ada yang mampu menebak
warna hati Robi. Ia semakin jadi menyebalkan, terutama setelah menyadari bahwa keberadaanku justru semakin diterima
oleh semua orang. Sama-sama melakukan kesalahan, tapi tatap mata orang
terhadapku jauh berbeda dibanding tatapan mereka pada Robi. Siswa mulai enggan
berurusan dengan Robi. Guru-guru pun demikian.
Banyak hal yang dapat menjelaskan alasan di
balik kejadiannya
dengan Rama itu. Aku punya dugaan kuat: alasannya jelas Sinta!
Belakangan ini Sinta memang terlihat jarang—bahkan sangat jarang—kulihat
bersama Robi. Jika tidak bersama teman-teman perempuannya, Sinta lebih senang
bersama Rama atau aku. Jika hendak mendiskusikan atau bertanya tentang sastra,
hal yang selama ini mendekatkannya dengan Robi, Sinta kini lebih memilih aku.
Jika mencocokkan kenyataan itu dengan
selentingan kabar yang mengatakan adanya ”sesuatu” pada Robi terhadap Sinta,
perkiraanku sepertinya mungkin saja.
Putri pun sependapat dengan dugaanku.
Kami sedang
telepon-teleponan malam ini.
“Dia cemburu. Sepertinya dia ingin membuat
Rama malu, supaya Sinta membenci Rama,” kata Putri. Putri sudah tahu segala hal tentang Rama dan
Sinta sejauh yang aku ketahui.
Berbagi cerita dengan Putri adalah kebahagiaan
tersendiri bagiku.
“Aku rasa juga begitu. Awalnya ia cemburu sama
aku sampai ngirim sms ancaman aneh menggelikan kayak waktu itu, tapi akhirnya ia sadar kalo Sinta lebih akrab dengan
Rama dibanding aku. Bidik cemburu alih target.”
Putri sepakat.
“Lebih baik Sinta sama Rama daripada harus
sama Si Serba Hitam itu.”
Putri ikut menyebut Robi dengan panggilan yang
kubuat.
Aku punya alasan untuk tertawa saat ini.
“Ngomong-ngomong, gimana itu kelanjutan kisah
Yuda dan Annelis, Rama dan Sinta. Sudah ada perkembangan menuju anggukan
belum?” tanya Sinta.
“Anggukan?” tanyaku sambil tertawa. Istilah
yang digunakannya unik juga.
“Iyah, anggukan menyatukan cinta,” jawabnya
sambil tertawa juga.
Kami tertawa bersama.
“Gimana? Penasaran juga gimana hasilnya,”
sambung Putri.
“Belum. Yuda masih usaha. Rama sebentar lagi
sukses sepertinya.”
“Seneng ya. Dua orang yang sebelumnya galau,
sekarang udah bisa usaha menemukan kebahagiaannya,” kata Putri.
Nada suaranya terdengar seperti sedang
membayangkan sesuatu.
Kutanggapi pernyataannya dengan senyuman. Tanggapan yang mustahil
dilihatnya.
“Kamu sendiri gimana? Kamu usaha bantu teman
kamu supaya bahagia sama pasangan yang diimpikannya, tapi kamu masih jomblo
juga. Kamu gak usaha juga?”
Pertanyaan yang membuatku kehilangan kemampuan
menyusun kata.
“Halo?”
“Iya Put?” sahutku.
“Kamu sendiri gimana? Masih betah ngejomblo?
Mau aku kenalin sama teman aku? Atau ada guru di sekolah yang kamu taksir?
Bilang aja, biar aku bantu kamu.”
“Ada, Put. Kamu.”
Putri tidak mendengar jawaban itu. hanya aku
dan Tuhan yang mendengarnya.
“Belum, Put,” jawabku.
“Belum apa, nih? Belum nemu yang tepat?”
“Sudah, Put. Kamu! Belum itu maksudnya kamu
belum putus sama pacar kamu.”
Lagi,
hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar