Translate

Rabu, 20 Februari 2013

PUTI 3: TORIKATSU


     “SEJAK kapan kamu suka melukis?”
     Matahari menepi. Semburat lembayung menyapa kami di ufuk barat. Puti telah selesai dengan anggrek bulannya. Kubantu dia merapikan alat lukisnya.
     “Sejak kapan, ya?” Dia menjawab pertanyaanku dengan kalimat tanya juga.
     “Aku enggak tahu, makanya aku tanya kamu.” ‘Jawaban’ku membuat dia tertawa.
     “Aku lupa sejak kapan aku suka melukis. Yang jelas sudah lama.”
     Aku tahu jawaban itu. Yah, lihat saja lukisannya. Semua lukisan di rumah ini bertanda tangan sama dengan tanda tangan yang dia goreskan di lukisan anggrek bulan tadi.
     “Sejak kamu kecil?”
     Dia mengangguk. Tersenyum. Senyum yang tak pernah kusangkal keindahannya.
     Kutanya padanya hendak diletakkan di mana lukisan baru ini. Dia lalu mengajakku ke sebuah ruangan. Kamar bunga, begitu dia menamainya. Sebuah kamar yang cukup luas—empat kali kamarku kurasa. Seperti bagian rumah lainnya, kamar ini dipenuhi dengan lukisan bunga. Di sinilah Puti memasang lukisan-lukisan barunya.
     “Lukisan-lukisan ini nantinya dipilih kakek untuk dipajang di ruangan luar.” katanya saatku menyapu pandangan ke seluruh kamar.
     “Banyak.”
     “Ini lukisanku sebulan terakhir. Lukisan di kamar luar diganti setiap bulan. Lihat ini.” Ia menarik lenganku ke sebuah lukisan yang ditutupi sehelai kain.
     “Ini baru selesai beberapa hari yang lalu.” Katanya sambil mengangkat kain penutup itu.
     “Anaphalis Javanica,” katanya. Sebuah lukisan berlatar pegunungan yang disapu cahaya matahari pagi. Di sanalah ia, sang Anaphalis Javanica merimbun. Putih kekuningan.
     “Tahu ini bunga apa?” pertanyaan yang pasti berbuntut kuliah tentang bunga seperti anggrek bulan tadi. Tapi tak apa, aku senang mendengar penjelasannya. Lagipula aku memang tak tahu itu bunga apa.
     “Pernah dengar edelweiss dong?” tanyanya lagi.
     Aku ingat, saat SMA dulu, pelajaran seni musik, kami diajari sebuah lagu:

Edelweiss, edelweiss
Every morning you greet me
Small and white, clean and bright
You look happy to meet me
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever
Edelweiss, edelweiss
Bless my homeland forever

     “Kamu tahu lagunya?” tanyanya berseri. Kujawab dengan tawa terkekeh.
     Maaf, Puti. Aku hanya tahu lagunya. Itu pun karena itu adalah lagu wajib yang ditetapkan guruku untuk pengambilan nilai menyanyi. Aku tidak tahu bunganya seperti apa. Jadi bunga yang kamu lukis itu edelweiss?
     “Orang-orang menyebutnya bunga keabadian. Padahal artikel-artikel di internet menyebut edelweiss jawa terancam punah. Bunga abadi terancam punah, aneh ya?”
      “Jujur, aku tidak tahu edelweiss. Ini bunga edelweiss?”
     Puti menatapku. Mata itu mengeluarkan suara. Terbaca: “Tadi kamu nyanyi apa?”
     Kukatakan padanya tulisan yang kutulis miring di atas.
     “Dasar, ternyata kamu masih tidak tahu apa-apa tentang bunga.” dia tertawa. Aku juga. Lalu terhenti mendengar deheman buatan dari belakang. Suaranya tua.
     “Pulanglah dulu. Mandi.” ucapan itu ditujukan padaku.
     “Iya sana. Bau asem.” Puti menimpali.
     Aku pamit pada Kakek, juga Puti.
     “Kamu ada waktu malam ini?” tanya Kakek saat mereka mengantarku ke gerbang.
     “Jika ada, Puti akan memasak.” Mata kakek masih bisa nakal melirik ke arah Puti.
     “Masak apa sih, Kek? Aku kan enggak bisa masak.”
     “Kakek dengar dari ibumu kamu pintar memasak. Benar begitu, Nak?” Kakek bertanya padaku.
Puti menatapku menanti jawaban.
     “Enggak juga, Kek. Cuma sekadar bisa. Itu juga cuma masakan-masakan sederhana: telur ceplok, tempe goreng.”
     “Temani Puti memasak mau?” Kakek memang selalu mampu membuat jantungku bersorak gembira.
Puti masih merajuk menyatakan diri tidak bisa memasak.
     Tanpa pikir panjang aku menyanggupi.

SEKITAR pukul tujuh, aku kembali ke rumah itu. Kakek langsung menyuruh kami—aku dan Puti—ke dapur.
     “Ada bahan makanan apa?” tanyaku pada Puti.
     “Aku enggak tahu,” dia membuka lemari pendingin. “ada daging sama telur.” lanjutnya.
     “Daging apa?”
     “Enggak tahu ini daging apa.” katanya sambil senyum. Senyum malaikat di dapur.
     Daging yang dia tidak tahu adalah dada ayam yang telah di-fillet.
     “Bumbu dapur?”
     “Ada di sana.” Kakek yang menjawab sambil menunjuk kitchen set. Aku merasa bodoh bertanya tadi.
     “Kakek ngapain ke sini? Sana aja tunggu!” tak mungkin aku yang mengatakan ini, kan?
     “Kita masak apa?” tanya Puti padaku.
     Jika kau melihatku, mungkin kau akan mengatakan: “Wah, ada Einstein di dapur!” saat melihatku berpikir menjawab pertanyaan Puti. Masak apa?
     Entah kenapa, aku teringat Hoka Hoka Bento.
     “Torikatsu!”
     “Apa itu? kedengerannya seperti masakan Jepang.”
     “Iya. Ini masakan Jepang.” Kuucapkan itu dengan senyuman bangga. Dia tidak tahu torikatsu!
     “Kakek masih punya gigi kan, yah?”
     “Masih. Masih lengkap. Kenapa?”
     “Oke, ayo kita buat torikatsu. Kamu punya shoyu?”
     Puti menggeleng. “Enggak tahu.”
     Coba kucari sendiri di rak bumbu dapurnya. Tidak ada. Hanya ada kecap biasa.
     “Kurang enak kalau enggak pakai shoyu. Di rumah kayaknya ada. Aku ambil dulu ya!”
     “Sohyu itu apa?”
     Kujelaskan padanya: shoyu itu kecap.
     “Bukannya ini kecap?” kecap ABC.
     “Bukan itu.” polos sekali si cantik ini, “di rumah aku ada. Aku ambil dulu ya.” Bergegas kuambil.

SHOYU sudah mendarat di dapur Puti. Telah siap segala bumbu yang diperlukan: dua butir telur, daun bawang, shoyu, bawang putih, cabai bubuk, dan …
     TEPUNG PANIR!!
     Bodoh, aku lupa belum ada tepung panir!
     “Puti, punya roti tawar?”
     “Roti? Ada. Untuk apa?”
     Kukatakan padanya kami perlu tepung panir.
     “Tepung panir itu apa?”
     Yeah! Malam ini kami bertukar posisi. Tadi siang aku tak tahu apa-apa tentang bunga. Kini dia tak tahu apa-apa tentang dapur.
     “Tepung panir itu adalah tepung yang dibuat dari roti. Di Jepang tepung sejenis ini dikenal dengan nama panko.”
     “Kayaknya kamu suka banget Jepang yah.”
     Puti keluar dapur dan datang kembali dengan roti tawar. Saatnya membuat tepung panir sendiri. Kuambil enam lembar roti. Kumasukkan dalam oven, lalu kupanggang hingga kering.
     “Kamu mau buat tepung pandir atau roti panggang?”
     “Panir, Puti. Bukan pandir.”
     “Iya itu maksudnya.” Dia terkekeh. Renyah.
     Dia menghampiri aku yang tengah asyik mengintip ke dalam oven.
     “Kamu ngapain sih.”
     “Ngeliat roti.”
     “Ngapain dilihat? Bukannya nanti kalo udah mateng ovennya bunyi? Ting!”
     Untuk membuat panir dari roti tawar, baiknya roti dikeringkan jangan sampai hangus. Kenapa? Panir sebaiknya tetap berwarna putih. Jika berubah warna nantinya tidak asyik—aku tidak mampu menemukan kata yang lebih tepat untuk menggantikan kata asyik ini.
     Kukatakan itu padanya.
     “Kamu bisa menumbuk, kan?”
     Puti mengangguk.
     “Langsung tumbuk aja?” tanyanya.
     Kali ini aku yang mengangguk.
     “Begini sudah?”
     Kuacungkan jempolku.
     Kami campur shoyu, cincangan bawang putih, dan cabai bubuk. Mereka telah siap jadi perendam si fillet.
     “Tunggu tiga puluh menit.”

SAYUP terdengar denting piano.
     “Nocturne No.2” Puti berkata pelan.
     “Kakek lagi denger lagu klasik?”
     “Itu kakek yang main.”
     Puti mengajakku ke tempat kakek. Sebuah ruangan kedap suara. Benar, di dalamnya kakek sedang bermain piano.
     “Malam ini Chopin, Kek?” suara Puti menghentikan permainan jemari Kakek di tuts-tuts itu.
     “Kalian. Masakannya sudah matang?” tanya kakek.
Puti menjelaskan.
     “Yasudah. Sambil nunggu ayo kita main, Sayang.”
     Puti duduk di sebelah kakek. Mereka berdua memainkan sebuah lagu.
     Lagunya menenangkan. Aku tak tahu itu lagu apa.

HANYA tinggal mengocok telur dan daun bawang hingga rata. Tugas itu kuberikan pada Puti. Lalu celupkan fillet dada ayam pada kocokan telur itu, kemudian dibalurkan tepung panir. Simpan kembali sekitar lima menit di lemari pendingin.
     “Minyaknya banyak banget?” protes Puti saat melihat aku menuangkan minyak ke wajan.
     “Kalau memasak masakan yang dibaluri tepung panir, bagusnya dimasak dengan minyak yang banyak. Deep-frying.”
     “Ayamnya berendam.” Aku suka nada suaranya mengucapkan kalimat ini.
     Ayam kami sudah kuning kecoklatan. Saatnya diangkat.

SETELAH membuat beberapa sayuran sederhana—buncis, wortel, asparagus dan brokoli—kami menyusun masakan kami di meja makan.
     “Dia bilang namanya torikatsu, Kek.” Puti membuka pembicaraan sebelum kami memulai makan.
     “Torikatsu?”
     “Iya. Aku enggak ngerti itu apa. Padahal kalau dibilang ayam goreng tepung roti ‘kan aku ngerti.”
     “Ayam goreng tepung roti ala fastfood-fastfood Jepang.” tambahku.
     Kakek tertawa melihat kami.
     “Kakek belum pernah makan ayam goreng seperti ini.” kata kakek sambil mengambil satu.
     Aku menunggu reaksi kakek.
     Puti juga mengambil. Memakannya.
     Aku menunggu reaksi mereka.
     “Enak?” mereka tidak bersuara juga.
     Dijawab kakek dengan deheman.
     Puti dengan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar