“SEJAK kapan kamu suka melukis?”
Matahari
menepi. Semburat lembayung menyapa kami di ufuk barat. Puti telah selesai
dengan anggrek bulannya. Kubantu dia merapikan alat lukisnya.
“Sejak
kapan, ya?” Dia menjawab pertanyaanku dengan kalimat tanya juga.
“Aku
enggak tahu, makanya aku tanya kamu.”
‘Jawaban’ku membuat dia tertawa.
“Aku
lupa sejak kapan aku suka melukis. Yang jelas sudah lama.”
Aku
tahu jawaban itu. Yah, lihat saja lukisannya. Semua lukisan di rumah ini
bertanda tangan sama dengan tanda tangan yang dia goreskan di lukisan anggrek
bulan tadi.
“Sejak
kamu kecil?”
Dia
mengangguk. Tersenyum. Senyum yang tak pernah kusangkal keindahannya.
Kutanya
padanya hendak diletakkan di mana lukisan baru ini. Dia lalu mengajakku ke
sebuah ruangan. Kamar bunga, begitu dia menamainya. Sebuah kamar yang cukup
luas—empat kali kamarku kurasa. Seperti bagian rumah lainnya, kamar ini
dipenuhi dengan lukisan bunga. Di sinilah Puti memasang lukisan-lukisan
barunya.
“Lukisan-lukisan
ini nantinya dipilih kakek untuk dipajang di ruangan luar.” katanya saatku
menyapu pandangan ke seluruh kamar.
“Banyak.”
“Ini
lukisanku sebulan terakhir. Lukisan di kamar luar diganti setiap bulan. Lihat
ini.” Ia menarik lenganku ke sebuah lukisan yang ditutupi sehelai kain.
“Ini
baru selesai beberapa hari yang lalu.” Katanya sambil mengangkat kain penutup
itu.
“Anaphalis Javanica,” katanya. Sebuah
lukisan berlatar pegunungan yang disapu cahaya matahari pagi. Di sanalah ia,
sang Anaphalis Javanica merimbun.
Putih kekuningan.
“Tahu
ini bunga apa?” pertanyaan yang pasti berbuntut kuliah tentang bunga seperti
anggrek bulan tadi. Tapi tak apa, aku senang mendengar penjelasannya. Lagipula
aku memang tak tahu itu bunga apa.
“Pernah
dengar edelweiss dong?” tanyanya lagi.
Aku
ingat, saat SMA dulu, pelajaran seni musik, kami diajari sebuah lagu:
Edelweiss, edelweiss
Every morning you greet me
Small and white, clean and bright
You look happy to meet me
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever
Edelweiss, edelweiss
Bless my homeland forever
“Kamu
tahu lagunya?” tanyanya berseri. Kujawab dengan tawa terkekeh.
Maaf, Puti. Aku hanya tahu lagunya. Itu
pun karena itu adalah lagu wajib yang ditetapkan guruku untuk pengambilan nilai
menyanyi. Aku tidak tahu bunganya seperti apa. Jadi bunga
yang kamu lukis itu edelweiss?
“Orang-orang
menyebutnya bunga keabadian. Padahal artikel-artikel di internet menyebut
edelweiss jawa terancam punah. Bunga abadi terancam punah, aneh ya?”
“Jujur, aku tidak tahu edelweiss. Ini bunga
edelweiss?”
Puti
menatapku. Mata itu mengeluarkan suara. Terbaca: “Tadi kamu nyanyi apa?”
Kukatakan
padanya tulisan yang kutulis miring di atas.
“Dasar,
ternyata kamu masih tidak tahu apa-apa tentang bunga.” dia tertawa. Aku juga.
Lalu terhenti mendengar deheman buatan dari belakang. Suaranya tua.
“Pulanglah
dulu. Mandi.” ucapan itu ditujukan padaku.
“Iya
sana. Bau asem.” Puti menimpali.
Aku
pamit pada Kakek, juga Puti.
“Kamu
ada waktu malam ini?” tanya Kakek saat mereka mengantarku ke gerbang.
“Jika
ada, Puti akan memasak.” Mata kakek masih bisa nakal melirik ke arah Puti.
“Masak
apa sih, Kek? Aku kan enggak bisa
masak.”
“Kakek
dengar dari ibumu kamu pintar memasak. Benar begitu, Nak?” Kakek bertanya
padaku.
Puti
menatapku menanti jawaban.
“Enggak juga, Kek. Cuma sekadar bisa. Itu
juga cuma masakan-masakan sederhana: telur ceplok, tempe goreng.”
“Temani
Puti memasak mau?” Kakek memang selalu mampu membuat jantungku bersorak
gembira.
Puti
masih merajuk menyatakan diri tidak bisa memasak.
Tanpa
pikir panjang aku menyanggupi.
SEKITAR pukul tujuh, aku kembali ke rumah itu.
Kakek langsung menyuruh kami—aku dan Puti—ke dapur.
“Ada
bahan makanan apa?” tanyaku pada Puti.
“Aku
enggak tahu,” dia membuka lemari
pendingin. “ada daging sama telur.” lanjutnya.
“Daging
apa?”
“Enggak tahu ini daging apa.” katanya
sambil senyum. Senyum malaikat di dapur.
Daging
yang dia tidak tahu adalah dada ayam yang telah di-fillet.
“Bumbu
dapur?”
“Ada
di sana.” Kakek yang menjawab sambil menunjuk kitchen set. Aku merasa bodoh bertanya tadi.
“Kakek
ngapain ke sini? Sana aja tunggu!”
tak mungkin aku yang mengatakan ini, kan?
“Kita
masak apa?” tanya Puti padaku.
Jika
kau melihatku, mungkin kau akan mengatakan: “Wah, ada Einstein di dapur!” saat
melihatku berpikir menjawab pertanyaan Puti. Masak apa?
Entah
kenapa, aku teringat Hoka Hoka Bento.
“Torikatsu!”
“Apa
itu? kedengerannya seperti masakan
Jepang.”
“Iya.
Ini masakan Jepang.” Kuucapkan itu dengan senyuman bangga. Dia tidak tahu
torikatsu!
“Kakek
masih punya gigi kan, yah?”
“Masih.
Masih lengkap. Kenapa?”
“Oke,
ayo kita buat torikatsu. Kamu punya shoyu?”
Puti
menggeleng. “Enggak tahu.”
Coba
kucari sendiri di rak bumbu dapurnya. Tidak ada. Hanya ada kecap biasa.
“Kurang
enak kalau enggak pakai shoyu. Di
rumah kayaknya ada. Aku ambil dulu
ya!”
“Sohyu
itu apa?”
Kujelaskan
padanya: shoyu itu kecap.
“Bukannya
ini kecap?” kecap ABC.
“Bukan
itu.” polos sekali si cantik ini, “di rumah aku ada. Aku ambil dulu ya.” Bergegas
kuambil.
SHOYU sudah mendarat di dapur Puti. Telah siap
segala bumbu yang diperlukan: dua butir telur, daun bawang, shoyu, bawang
putih, cabai bubuk, dan …
TEPUNG
PANIR!!
Bodoh,
aku lupa belum ada tepung panir!
“Puti,
punya roti tawar?”
“Roti?
Ada. Untuk apa?”
Kukatakan
padanya kami perlu tepung panir.
“Tepung
panir itu apa?”
Yeah!
Malam ini kami bertukar posisi. Tadi siang aku tak tahu apa-apa tentang bunga.
Kini dia tak tahu apa-apa tentang dapur.
“Tepung
panir itu adalah tepung yang dibuat dari roti. Di Jepang tepung sejenis ini
dikenal dengan nama panko.”
“Kayaknya
kamu suka banget Jepang yah.”
Puti
keluar dapur dan datang kembali dengan roti tawar. Saatnya membuat tepung panir
sendiri. Kuambil enam lembar roti. Kumasukkan dalam oven, lalu kupanggang
hingga kering.
“Kamu
mau buat tepung pandir atau roti panggang?”
“Panir,
Puti. Bukan pandir.”
“Iya
itu maksudnya.” Dia terkekeh. Renyah.
Dia
menghampiri aku yang tengah asyik mengintip ke dalam oven.
“Kamu
ngapain sih.”
“Ngeliat roti.”
“Ngapain
dilihat? Bukannya nanti kalo udah mateng ovennya bunyi? Ting!”
Untuk
membuat panir dari roti tawar, baiknya roti dikeringkan jangan sampai hangus.
Kenapa? Panir sebaiknya tetap berwarna putih. Jika berubah warna nantinya tidak
asyik—aku tidak mampu menemukan kata yang lebih tepat untuk menggantikan kata
asyik ini.
Kukatakan
itu padanya.
“Kamu
bisa menumbuk, kan?”
Puti
mengangguk.
“Langsung tumbuk aja?” tanyanya.
Kali
ini aku yang mengangguk.
“Begini
sudah?”
Kuacungkan
jempolku.
Kami
campur shoyu, cincangan bawang putih, dan cabai bubuk. Mereka telah siap jadi
perendam si fillet.
“Tunggu
tiga puluh menit.”
SAYUP terdengar denting piano.
“Nocturne
No.2” Puti berkata pelan.
“Kakek
lagi denger lagu klasik?”
“Itu
kakek yang main.”
Puti
mengajakku ke tempat kakek. Sebuah ruangan kedap suara. Benar, di dalamnya
kakek sedang bermain piano.
“Malam
ini Chopin, Kek?” suara Puti menghentikan permainan jemari Kakek di tuts-tuts
itu.
“Kalian.
Masakannya sudah matang?” tanya kakek.
Puti
menjelaskan.
“Yasudah.
Sambil nunggu ayo kita main, Sayang.”
Puti
duduk di sebelah kakek. Mereka berdua memainkan sebuah lagu.
Lagunya
menenangkan. Aku tak tahu itu lagu apa.
HANYA tinggal mengocok telur dan daun bawang
hingga rata. Tugas itu kuberikan pada Puti. Lalu celupkan fillet dada ayam pada kocokan telur itu, kemudian dibalurkan tepung
panir. Simpan kembali sekitar lima menit di lemari pendingin.
“Minyaknya
banyak banget?” protes Puti saat melihat aku menuangkan minyak ke wajan.
“Kalau
memasak masakan yang dibaluri tepung panir, bagusnya dimasak dengan minyak yang
banyak. Deep-frying.”
“Ayamnya
berendam.” Aku suka nada suaranya mengucapkan kalimat ini.
Ayam
kami sudah kuning kecoklatan. Saatnya diangkat.
SETELAH membuat beberapa sayuran sederhana—buncis,
wortel, asparagus dan brokoli—kami menyusun masakan kami di meja makan.
“Dia
bilang namanya torikatsu, Kek.” Puti membuka pembicaraan sebelum kami memulai
makan.
“Torikatsu?”
“Iya.
Aku enggak ngerti itu apa. Padahal
kalau dibilang ayam goreng tepung roti ‘kan aku ngerti.”
“Ayam
goreng tepung roti ala fastfood-fastfood Jepang.” tambahku.
Kakek
tertawa melihat kami.
“Kakek
belum pernah makan ayam goreng seperti ini.” kata kakek sambil mengambil satu.
Aku
menunggu reaksi kakek.
Puti
juga mengambil. Memakannya.
Aku
menunggu reaksi mereka.
“Enak?”
mereka tidak bersuara juga.
Dijawab
kakek dengan deheman.
Puti
dengan senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar