Translate

Selasa, 21 Mei 2013

PAGI

Aku sedang berada di sebuah taman, tengah mesra berkejaran dengan dia, yang dinanti, saat suara itu sayup bergema lembut di bawah sadarku. Suara itu kukenal betul.
          Entah bagaimana suara perempuan cantik yang sedang berlari di depanku itu dapat terdengar dalam batinku.
          "Juk, bangun!" katanya.
          Aku tersentak. Taman tadi menghilang. Bunga-bunga, rumput-rumput, pohon-pohon, burung-burung juga ikut mengilang. Dia, yang dinanti, juga sama. Semua berganti kegelapan sebuah ruangan.
          Kucari gema suara yang membangunkanku tadi.
          "Sayang? Kamu di situ?" tanyaku sambil mencari kacamata.
          "Iya," jawabnya. Dapur kami persis di sebelah kamar.
          "Ayo, bangun. Sebentar lagi Subuh," lanjutnya.
          Kacamata sudah kutemukan. Maka bangunlah aku. Kuhampiri perempuan itu.
          Ia sedang menyeduh kopi.
          "Assalamualaikum. Selamat pagi, sayang!" sapaku sambil mengecup keningnya. Rutinitas yang tak pernah lalai kulakukan.
          "Waalaikumsalam. Pagi juga, sayang!" balasnya sambil tersenyum.
          Itulah senyum yang jadi doping penyemangat hidupku sepanjang hari. Melihatnya hal itu pertamakali setelah bangun tidur adalah kesempurnaan mimpiku sebagai laki-laki.
          Azan berkumandang.
          "Ayo, sayang!" ajakku.
          Aku telah bebersih, kami telah wudu. Dia telah bermukena. Aku sudah rapi.
          Kami sudah berdiri siap takbir. Tapi urung.
          Raungan weker mengganggu. Weker itu mampu memburamkan penglihatanku. Semuanya tampak memutar dan memusat ke sebuah titik, hingga akhirnya menghilang.
          Semua berubah jadi kamar sempit yang lampunya sengaja kumatikan. Suara weker dan kipas angin menyapaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar