Translate

Kamis, 17 Mei 2012

KAU SELALU SAJA TERSENYUM DARI FOTO DALAM PIGURA YANG KUPASANG DI DINDING KAMAR

Kau selalu saja tersenyum dari foto dalam pigura yang kupasang di dinding kamarku.
Sementara aku tak berdaya digerus waktu.
Detik demi detik jarum detik jam di sebelahmu berdetik
Kau tetap tersenyum
Aku tetap terkungkung

Sebagai gambar, kau akan selamanya kekal
Senyummu selalu akan dapat melengkung memamerkan deret gigi indah di antara bibir indahmu.
Waktu hanya akan memudarkan warnamu perlahan-lahan,
Tapi senyummu akan selalu kelihatan.
Abadilah kau dalam senyum itu, di sini, di kamarku.

Tapi aku, makhluk bernyawa, adalah kuda pacu yang dikejar waktu
Jika tak ingin tenggelam seperti batu ke dalam gelap
Langkah harus sigap,
Kuda-kuda harus selalu siap.

Tapi bergerak pun enggan

ENDLESSLY


I
CAHAYA mulai meraja di ufuk timur. Bulan yang tertinggal di barat tampak malu dengan keperkasaan si punya cahaya. Dia mulai menepi, terus menepi, lalu menghilang.
Pagi resmi mengganti malam saat pria itu membuka jendelanya. Dihirupnya udara di luar kamarnya dalam-dalam. Dalam. Lalu dihembuskan lagi. Berulang kali. Dia lalu melihat ke sudut halaman. Adiknya yang perempuan sedang asyik menyiram bunga.
Pria itu tersenyum melihat bunga adiknya.

II
PRIA itu mengawali hari dengan ceria. Sepanjang pagi dia tersenyum. Tersenyum pada semua orang. Benar-benar tersenyum pada semua orang. Dia pergi ke kamar mandi sambil bersiul dan mengibas-ngibas handuknya. Di kamar mandi, dia pun bernyanyi penuh bahagia. Saat sarapan dia mengunyah dengan mata berbinar-binar. Lalu berangkat sekolah dengan penuh semangat.
Keluarganya bahkan tak berani berkomentar.

 III
Bahkan pelajaran ‘si penggaris kayu’ pun tak mampu menghapus senyum yang tersungging di bibirnya. Bahkan makin melengkung dan makin melengkung. Beberapa kali teman sebelahnya menyelamatkannya dari ‘si penggaris kayu’ karena matanya selalu tertuju pada bahu gadis berambut sebahu yang duduk tak seberapa jauh dari kursinya, bukan papan tulis yang seharusnya dilihatnya.
Teman sebelahnya hanya geleng-geleng kepala.

IV
Selepas jam pelajaran, pria itu hanya sesekali mencuri-curi pandang. Kelas riuh. Semua orang berseliweran. Dia tak mau beradu pandang.
Teman sebelahnya lalu menghampirinya.
“Semalam aku mimpi.” Katanya memulai cerita.
V
Sebuah taman bunga. Pria itu dan gadis rambut sebahu teman sekelasnya itu duduk di salah satu kursi di sana. Berdampingan.
 Menikmati bunga-bunga.
“Cerah.” Kata pria itu. Si gadis hanya tersenyum.
“Indah.” Kata pria itu lagi. Si gadis hanya tersenyum. Lagi.
“Kamu suka?” tanya pria itu. Si gadis menjawab dengan jawaban menggemaskan.
“Kamu mau?” Si gadis mengangguk.
Pria itu bangun. Memetik sekuntuk bunga.
“Untuk yang tercantik!” Sambil bersimpuh, diberikannya kuntum bunga itu.
Si gadis menghirup harumnya.

VI
“Mimpi apa?” tanya teman sebelahnya itu.
Si pria tak melanjutkan cerita. Guru berikutnya masuk.

VII
Sepanjang pelajaran kedua, senyumnya yang tadi tak tampak. Bukan pelajaran penyebabnya. Dia sangat suka pelajaran sejarah.
Tapi dia masih sesekali mencuri-curi pandang menatap bahu gadis itu. Setiap dia memandangnya, senyum yang tadi datang lagi. Tapi lalu menghilang lagi.
Berulang kali. Dan berulang kali. Berulang kali juga teman sebelahnya menyadarkannya.

VIII
Istirahat. Senyum pria itu benar-benar menghilang. Gadis itu dengan senyum yang sama seperti senyum yang dilihatnya tadi malam menyambut ajakan ke kantin kekasihnya, teman sebelahnya!

Seperti Alif

Bahkan di tengah malam, dia tetap seperti Alif: berdiri sendiri, tak mengikuti, tak diikuti. Di sebuah kursi, di sebuah taman, dihempaskannya tubuhnya. Tubuh kecilnya hendak rebah, melepas penat. Diapun lalu rebah. Dipeluknya ukulele usang yang selalu dibawanya, teman sejati.

     Dipandanginya langit malam.
 
     Mendung.

     Malam sangat tidak jernih malam itu. Awan hitam berarak di langit malam yang gelap. Jangankan bintang, bulanpun tak tampak. Malam seperti ini bukanlah malam yang disukai si Alif kecil. Dia suka bintang-bintang. Dia suka rembulan. Dia suka cahaya di tengah kegelapan.
 
     Yang dinantinya, cahaya-cahaya itu, tak ada. Dia pun bangkit. Pergi dia ke suatu sudut di taman itu, ke salah satu tempat terterang di sana: bawah lampu taman. Dikeluarkannya sebuah bungkusan dari kantongnya. Gemerincing logam terdengar saat isi bungkusan itu ditumpahkan ke tanah. Hati-hati, satu persatu dihitungnya uang yang berhasil didapatnya hari itu. Koin dan lembaran. Cukup banyak. Selengkung senyum terlukis di bibirnya setelah semua uang itu dihitung. Kalimat hamdalah lalu diucapkannya, penuh syukur.
     
     Hujan mulai turun.
 
     Si Alif bergegas pulang.

Di rumah, dia masih tetap menjadi alif: sendiri, tak mengikuti, tak diikuti. Rumahnya gelap Tak ada cahaya. Hujan di luar menambah gelap suasana. Listrik? Alif sudah memutuskan untuk lebih memilih mengisi perutnya dibanding harus berlangganan listrik hanya demi cahaya dari alat elektronis yang kita sebut lampu. Karena itu, bagi Alif, rumah adalah gelap.
 
     Hampir dua belas tahun dari hampir dua belas tahun usianya Alif selalu menghabiskan malam dengan kegelapan. Sendirian. Karena itulah, Alif suka melihat bintang-bintang. Dia merasa sependeritaan dengan bintang: tiap malam selalu terkurung kegelapan. Alifpun kemudian hendak menjadi bintang. Dia ingin menjadi terang di kegelapan. 

     Maka dia bangun. Meraba-raba dicarinya sesuatu: lilin. Dinyalakannya. Ruangan menjadi oranye. Lalu diambilnya sebuah buku, di sampulnya tertulis: IPA 4.
 
     Pukul 23.13. Di luar hujan. Dingin.
 
     Dalam temaram, Alif kecil meretas jalan menjadi terang di kegelapan.