Translate

Sabtu, 27 Oktober 2012

PUTI: ANGGREK BULAN

KEESOKKANNYA, sepulang kuliah, kutemukan ibu sedang merajut di halaman rumah. Ibu tersenyum menyambutku.
          “Ada yang mencari!” kata ibu setelah menjawab salamku.
          Selama ini tidak ada yang mencariku ke rumah. Baru kali ini. Jadi kupasang wajah heran dan bertanya: “Siapa?”
          “Puti!”
          Deg!                       
          Mendengar nama itu disebut ibu, dengan lirikan matanya seperti itu, membuat wajahku memerah. Jantung berdebar empat kali lebih cepat. Berdiri terlihat sangat canggung. Dan kau akan segera menyadari perubahanku. Ibu lebih mengerti tentang itu.
          “Kakeknya yang menyampaikan.”
          Makin kikuk aku di depan ibu.
          “Ya Tuhan, anak ibu jatuh cinta?”
          Ah, nada suaranya membuat wajahku makin memerah.
          “Dia pasti senang jika kau datang lagi.”
          “Aku juga!” maksudnya berbicara dalam hati, entah kenapa malah bersuara.
          Ibu tersenyum. Katanya: “Jadilah laki-laki!”
          Masuk  kamar, aku langsung merebahkan diri. Menatap langit-langit. Ada wajah Puti di sana. Dia tersenyum padaku. Kubalas senyumnya. Lalu terdengar kalimat ibu tadi. Jadilah laki-laki! Aku terduduk. Wajah Puti menghilang dari langit-langit.
          Jam lima. Sudah terlalu sore. Tak mungkin aku ke sana sekarang. Akhirnya aku kembali ke ibu. Duduk di sampingnya yang masih asyik merajut. Ibu tersenyum. Aku mulai cerita tentang kemarin.

RUMAH kakek lebih mirip studio lukis dibanding rumah tinggal. Di sudut mana pun di tiap ruangannya dipenuhi dengan lukisan. Ada bunga di hampir di semua lukisannya, entah itu objek utamanya maupun sekadar penghias. Dari sekian banyak lukisan di sana, aku tertarik pada sebuah lukisan yang menggambarkan seorang perempuan sedang berlutut menciumi bunga. Perempuan berbaju putih.
          “Dia sendiri yang melukisnya.” Suara Kakek memalingkan perhatianku.
          “Puti sendiri?” tanyaku. Kakek mengangguk, lalu pergi.
Aku terus berjalan ke belakang. Kakek bilang Puti ada di halaman belakang. Saat kutanya di mana halaman belakang Kakek malah memintaku memasang telinga. Baru kupahami apa maksudnya saat sayup-sayup terdengar alunan musik klasik. Tidak salah lagi.
          Halaman belakang rumah kakek juga dipenuhi bunga. Di sana berdiri Puti membelakangiku. Ia tidak tahu kehadiranku. Kudekati ia sambil bersejingkat, lalu berdiri di belakangnya. Dari balik bahunya, kulihat ia melukis bunga.
          “Melukis?”
          Puti mencari sumber suara. Suaraku.
          “Ah, kamu. Bikin kanget aja.”
          “Indah sekali. Bunga apa itu?”
          “Kamu tidak tahu?”
          Aku menggeleng.
          “Ini anggrek bulan. Puspa pesona.”
          “Puspa pesona?
          “Kamu tidak tahu?”
          Dengan berat hati aku harus menggeleng lagi.
          “Ada tiga bunga yang ditetapkan pemerintah Soeharto dulu sebagai Bunga Nasional Indonesia.” katanya sambil terus melukis, “Pertama melati putih, puspa bangsa. Kamu tahu melati putih?”
          Aku mengangguk. “Melati bunga yang dipakai di kepala mempelai wanita pernikahan betawi, kan?”
          Dia tersenyum.
          “Lalu Rafflesia Arnoldi. Tahu bunga ini, kan?”
          Aku mengangguk, mantap.
          “Besar. Warnanya merah. Bau. Bunga bangkai, kan?”
          “Rafflesia Arnoldi tidak sama dengan bunga bangkai loh.”
          Ah, baru saja aku mantap menjawab, disanggah lagi.
          “Rafflesia Arnoldi bau, kan?”
          “Memang yang orang-orang sebut bunga bangkai itu seperti apa?”
          “Rafflesia Arnoldi?”
          Puti tersenyum. Lagi.
          Lalu dia menjelaskan. Bunga bangkai bukan Rafflesia Arnoldi. Bernama Amorphpophallus titanium, bunga bangkai jelas berbeda dengan Rafflesia Arnoldi.
          “Rafflesia itu melebar, bunga bangkai tumbuh ke atas.”
          Ah, baru kuingat bunga itu!
          “Mahkotanya ungu. Bentuknya mirip terompet.”
          Aku mengangguk. Mendengarkan.
          “Kalau aku tidak salah, bunga bangkai adalah tumbuhan dengan bunga majemuk terbesar di dunia.”
          Bunga majemuk? Aku pura-pura tahu saja.
          “Kamu tahu, tingginya bisa mencapai tiga meter.”
          “Tiga meter?”
          Dia mengangguk.
          “Tingginya hampir dua kali kamu.”
          “Nyindir ya? Iya aku pendek.” Dinaikkannya bibir bawahnya. Pura-pura ngambek.
          “Aih, manisnya muka ngambek itu.”
          Dia mengambil sesuatu dari meja kecil di dekatnya. Hendak dia melemparkan benda itu ke arahku. Tapi urung. Aku tahu cat bagi pelukis adalah nyawanya. Tak mungkin dia lempar begitu saja.
          Aku mengejeknya lagi. Semua benda di atas meja adalah cat lukis. Dia masih mencari sesuatu untuk melempariku. Matanya lalu tertuju pada seonggok batu di bawah pohon. Lebih gesit, kudahului dia mengambil batu itu. Dia berlari juga. Aku mendapatkan batu itu. Dia kesal. Ingin direbutnya batu di tanganku. Dia berusaha merebut. Aku menjaga. Kusembunyikan di balik badanku, Dia tetap mencoba merebut. Tangan kirinya mengunci pergelangan tangan kananku. Tangan kanannya mengunci pergelangan tangan kiriku. Dia ada di hadapanku. Batu itu  masih di balik tubuhku.
          Wajahnya tepat di depan wajahku. Sangat dekat.
          Hembus napasnya terasa hangat.
          Kami bertatapan. Dalam. Mata batari.
          Aku berpeluh. Jantung serasa berlari. Batu lepas dari genggamku.

“KAMU tahu kenapa kenapa bunga Rafflesia dinamai Rafflesia Arnoldi?”
          Setelah saling canggung cukup lama pascatatapan sedekat itu, di bawah pohon di mana kami berebut batu tadi, dia melanjutkan kuliahnya. Dia lupa sama sekali pada batu itu.
          Aku mencoba menjawab tanyanya. Mengingat-ingat. Dalam. Dalam.
          “Ah, Rafflesia dari nama Sir Thomas Stamford Raffles.”
          “Arnoldi?”
          “Pasti nama orang juga.” Aku tak tahu.
          Dia tertawa.
          “Jika melati putih disebut puspa bangsa, Rafflesia dinamakan puspa langka.” katanya.
          Aku mengangguk. Hanya bisa mengangguk. Puspa langka? Aku baru dengar istilah itu.
          “Jadi satu lagi, anggrek bulan? Puspa Pesona?” tanyaku.
          Ia bangun, menarik tanganku. Bersama, kami menuju kanvasnya.

ANGGREK bulan, Phalaenopsis amabilis, si cantik berkelopak putih. Bunga yang cantik. Puspa Pesona. Sesuai julukannya, anggrek bulan memang memesona. Aku memang belum pernah melihat anggrek bulan secara langsung. Tapi melihat gambar di kanvas Puti, aku paham mengapa bunga itu begitu spesial hingga dinobatkan jadi bunga penuh pesona.
          “Aku suka warna putih.” kata Puti.
          “Lihatlah anggrek ini!”
          Aku justru melihat wajahnya. Lebih indah dari anggrek, menurutku.
          “Putih adalah warna awal. Dari putih kita bisa membuat warna apapun.”
          “Tabula rasa?”
          “Kamu paham filsafat?”
          Sejujurnya, aku tak paham benar apa itu tabula rasa. Aku hanya tahu itu dari penggalan lirik lagu padi: kita terlahir bagai selembar kertas putih, biar kulukis dengan tinta pesan damai, dan terwujud harmoni*. Jadi aku jawab pertanyaannya dengan gelengan kepala.
          “Yah, kita terlahir seperti selembar kertas putih. Ingin jadi seperti apa kita, gambarlah di atas kertas putih itu. Ingin diwarnai apa, warnailah sesukamu. Putih adalah warna mula.” katanya.
          “Yang aku tahu, putih itu suci.” ucapku asal.
          “Dan merah berani, aku juga tahu.” kali ini dia.
          Kami tertawa.


*Dari lirik lagu Harmoni.


Jumat, 26 Oktober 2012

HANYUT


Ternyata nyata aku hanyut
Aku tak mampu kembali
Napasku terlanjur basah
Tubuhku terlanjur basah
Ingin ke tepian hati tak ingin

Dalam gigil, aku terpejam
Enggan mata menangkap cahaya
Saat itu aku menghangat
Indah kausenyum dalam kelopakku

Yang datang kemudian adalah warna-warni
Ada kamu menyambutku di sana
Namun sesaat, aku tersentak
Tatkala sadar menjelma, fakta bicara
Impi sunyiku tetaplah impi

ENTAH KE MANA


Aku menyublim,
jadi angin, entah ke mana.
Biar saja temperatur menggiringku
sesuka hatinya

Selasa, 16 Oktober 2012

DINGIN

AKU baru membaca beberapa halaman buku tebal yang baru kubeli saat handphoneku meraung. Sebuah panggilan. Di layar tertulis namamu.
          “Halo!”
          Kamu menangis.
          “Kenapa?”
          Kamu sesenggukan.
          Buku kututup. Lupa aku menyelipkan pembatas.
           “Halo, lu kenapa?”
          “Gue..
          “Iya, lu kenapa?”
          “Gue kesel sama pacar gue. Ke sini, dong! Need you here!”
          “Di mana?”

LANGSUNG kugeber vespa tuaku ke tempat kamu, sebuah taman dalam komplek rumahmu. Taman asri yang di sana tumbuh bunga-bunga. Kamu selalu bercerita bahwa itu adalah tempat favorit kamu sejak kamu masih menghisap dot.
          Aku tidak terlalu peduli pada bunga-bunga. Tidak terlalu tertarik. Tapi aku senang saat kamu mengajak aku ke sana. Senang, bukan karena aku senang melihat bunga-bunga. Bukan. Aku senang lebih karena kamu: melihat kamu bahagia melihat bunga-bunga, dan senang karena bisa berdua saja dengan kamu yang bahagia melihat bunga-bunga.
          Vespa kupacu menembus angin malam. Soal kecepatan tak masalah. Si gendut ini masih mampu berlari cepat. Tapi secepat apapun itu aku tak tahu apakah aku akan segera sampai tempatmu. Jalan memang tak macet. Aku terhenti mungkin hanya karena lampu lalu lintas. Tapi jarak rumahku ke tempatmu kan lumayan jauh. Aku di selatan nyaris pusat kamu di timur nyaris luar kota. Yah,  kuharap semoga kamu tidak marah karena aku lambat datang.

UDARA terasa sangat dingin. Angin malam itu basah. Aku mengutuk diri yang lupa memakai jaket. Kulihat langit. Mendung.
          Melihat langit mendung, kupercepat lajuku. Terbayang wajah kamu yang murung, semurung langit malam yang mendung itu. Matamu pasti sembab, sebab senggukmu tadi terdengar dalam. Aku jadi membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuatmu sedemikian sedihnya. Apa yang dilakukan pacarmu? Memikirkannya aku jadi semakin jengkel pada kekasihmu, lelaki yang mendapatkan cinta yang kurindu. Lelaki yang tak jarang membuatmu kecewa, tapi tak hendak juga kamu melepasnya.

TETESAN-TETESAN lembut dari langit perlahan menyentuh kulit tanganku. Gerimis. Sial! Makin kupacu vespaku, sambil berharap di tempatmu tak hujan. Yah, dalam keadaan seperti itu, aku yakin kamu tak akan bergerak dari tempat kamu berada sederas apapun hujan yang turun.
          Ah, masih menunggukah dia di taman itu?
          Hujan semakin lebat. Aku tak membawa jas hujan. Tak mungkin juga aku berteduh. Vespa terus kupacu. Membelah angin. Membelah hujan.
          Membayangkanmu gigil dalam resah di taman itu membuatku, lagi-lagi, mengutuki diri sendiri. Seandainya aku tak pecundang, seandainya aku bisa menyatakan apa yang kurasa sejak dulu, mungkin saat kamu bertemu dengan dia kamu tak jatuh cinta. Jika itu terjadi, mungkin saja kamu tidak akan menjalani kisah rumit itu bersama dia. Mungkin kamu tidak akan melulu kecewa. Dan yang pasti, mungkin kamu tidak akan menangis sedalam tadi. Ah!
          Vespaku terus menembus hujan.
          Yah, aku memang tidak tahu perasaanku itu berbalas atau tidak. Aku hanya berandai-andai. Seandainya aku menjadi kekasihmu, aku tak akan membiarkanmu tenggelam dalam sengguk sebegitu dalam. Aku tak akan membiarkanmu menangis, kecuali itu tangis haru. Terlebih lagi, aku tak akan membiarkanmu menangis karena aku.

AKU gigil dalam hujan. Aku sampai di taman itu. Kulihat kamu ada di sana. Benar saja, hujan sederas itu tak membuatmu beranjak dari tempatmu. Vespa telah kuparkir, tapi tak hendak aku mendekatimu. Kulihat Jazz biru berhenti, lalu dia turun. Aku diam. Bersembunyi.
          Aku seperti melihat lakon tonil. Kulihat dia menghampirimu, melepas jaketnya dan dipakaikannya di bahumu. Hujan deras meredam suara kalian. Aku tak tahu apa yang kalian bicarakan. Aku hanya membaca gerak tubuh kalian. Kamu selalu menghindar tiap lelaki itu menyentuhmu. Kamu memunggunginya. Dia bangun. Hujan-hujanan. Berlutut di depanmu. Sepertinya dia minta maaf. Kamu berpaling lagi. Dia mengulangi lagi hal yang sama. Berkali-kali. Sampai akhirnya kamu menatapnya. Aku tak tahu apa yang dia katakan. Matamu yang sembab berseri. Senyummu mengembang. Dia memelukmu. Hangat. Kamu membalas pelukannya. Hangat. Lalu kalian pergi.

AKU gigil dalam dingin. Terlambat. Lagi-lagi kukutuki diri sendiri.
                                                                                                                               
                                                                                      Jakarta, Awal hari 15 Oktober 2012