Translate

Selasa, 16 Oktober 2012

BIDADARI

MALAM gelap. Awan mendung menaungi bumi, menutup cahaya remang bulan dan kerlip suram bintang-bintang. Angin malam membawa basah. Pepohonan, rerumputan dan semak-semak bergoyangan menggigil.
          Malam ini, seperti tahun lalu, aku kembali ke taman ini. Di bangku sebelah ayunan, menghadap kolam buatan dengan teratai mengapung di tengahnya. Beberapa ikan berenang di permukaan. Di seberang pohon kembang sepatu berjejeran, sayang kembangnya belum bermekaran.
          Tak banyak yang berubah sejak terakhir aku duduk di sini bersama dia, beberapa tahun yang lalu. Dinas Pertamanan sepertinya mengizinkan aku berlama-lama mengingat dia.

KEHIDUPAN sehari-hariku adalah kebosanan yang terus menerus berulang. Sendirian di kota sesibuk Jakarta adalah kepenatan yang tak pernah terselesaikan. Segalanya terus berputar pada poros yang sama. Berjalan memutar untuk kemudian kembali dan memutari lagi jalan yang sama.
          Keseharian adalah kebosanan!
          Satu-satunya kesenangan yang menghadirkan ketenangan bagiku adalah berdiam diri berlama-lama di perpustakaan, membaca buku apa saja yang menarik. Ya, mungkin perpustakaan adalah lokasi paling tenang di kota bising semacam Jakarta. Bukan karena skripsi aku senang membaca buku. Tak juga aku pantas menyebut diri kutu buku. Hal utama yang kusuka dari perpustakaan adalah ketenangan, bukan membaca. Membaca nomor kesekian.
          Saking seringnya aku ke perpustakaan, pustakawannya sampai kenal denganku.
          Mereka bilang, aku hanya numpang ngadem.
          Memang.

HARI itu aku datang 5 menit setelah perpustakaan buka. Aku penasaran membaca kelanjutan cerita pembunuhan di Nil-nya Agatha Christie. Malas meminjam, tak mungkin kubaca di kosan.
          Asep, si tukang tukar kunci loker senyum-senyum tak jelas saat aku datang. Matanya tampak merah. Kantung matanya makin tebal. Korban Liga Champions Eropa sepertinya. Dan benar!
          “Chelsea menang, men!” katanya bangga.
          Kopi hitamnya mengepulkan asap saat dia hirup, lalu menawariku. Kutolak dengan halus. Dia lantas bercerita tentang pertandingan itu. Seru sekali dia cerita. Sayang aku juga menonton pertandingan itu. Seheboh apapun dia cerita, tak menarik. Aku sudah tahu apa yang mau diceritakannya.
          Kutinggal Asep yang terus menerus menguap, membiarkannya berdua dengan kopi hitam kentalnya. Langsung aku ke rak fiksi.

MATAHARI telah tinggi saat buku itu habis kubaca. Aku meregangkan badan. Kaku juga duduk berlama-lama membaca.
          Perpustakaan mulai ramai. Aku tak menyadarinya. Mungkin karena ini hari Sabtu. Minat baca masyarakat saat ini lumayan juga. Lihat, di sana ada beberapa anak kecil, SMP sepertinya. Mereka sibuk mendiskusikan sesuatu yang ada dalam buku yang mereka baca. Suara mereka mendengung. Aku senang melihat anak sekolah datang ke perpustakaan. Senang, karena aku muak mendengar anak sekolah itu meneriakkan “fire in the hole!”, “Double kill!”, dan sejenisnya :aku baru tahu ternyata itu adalah kata-kata game online, persetan!
          Aku bangun. Kuhampiri si Asep. Matanya makin merah. Aku tertawa dalam hati.
          “Oi, Sep! Kerja atuh jangan ngantuk!” Sesundaan.
          “Oh, Si Tukang Ngadem,” Si Tukang Ngadem? Sial! “udah kelar bacanya?”
          Udah.
          “Seru banget kayaknya yah?”
          “Tentang pembunuhan. Mau coba?”
          “Coba apah?” Dia tertawa. Deretan gigi kuning menjurus hitam tampak.
          “Yah, siapa tau elu mau mraktekin triknya.”
          “Trik apa?” Tanya Asep polos.
          “Baca aj…”
          Kalimatku terputus. Bidadari berdiri di depan kami.

BIDADARI itu hadir dengan harum parfum yang menenangkan. Aku mencoba mengingat-ingat, wanginya persis bedak bayi! Seketika aku menamainya Gadis Wangi Bedak Bayi.
          Gadis itu memancarkan pesonanya begitu kuat. Dia berdiri di depan kami, menukarkan kunci. Dia tersenyum pada Asep, lalu padaku. Asep dengan senyum kecut --tapi kurasa, menurut Asep, itu senyum manis-- membalas senyum itu. Aku diam membatu.
          Aku kenal senyum itu. Sama persis! Senyum itu sama persis dengan milik dia, kekasihku di surga. Aku seperti terkena kutukan gorgon. Diam membatu. Keadaan ini adalah repetisi pertemuanku dengan dia bertahun-tahun lalu.

SAAT membuka mata, aku dikagetkan oleh cahaya yang teramat terang. Setelah beberapa saat, mataku mulai terbiasa. Aku menemukan diri berada dalam dunia serbaputih. Aku seperti ada dalam sebuah ruangan bercat putih. Aneh. Saat aku mencoba menyentuh lantai yang kupijak, tak ada sesuatu yang tersentuh. Bagaimana mungkin? Kuhentakkan kakiku. Benar, tak ada apapun di sana. Kucoba mendekat pada dinding-dinding putih sekelilingku. Mula-mula aku melangkah ke depan. Melangkahkan kaki di udara membuatku bertanya-tanya. Apa yang membuat aku bisa melangkah, sementara tanah tempatku mendaratkan kaki tak ada. Tapi aku tetap bisa maju.
          Dinding yang coba kudekati, entah mengapa justru semakin jauh.
          Berpaling aku ke dinding sebelah kiri. Sama. Ke kanan, hasil serupa. Percuma sepertinya aku mendekati dinding belakang. Tak tahu harus apa, kujatuhkan saja tubuhku. Aku rebah di udara.
          Saat kubuka kelopak mata hendak menatap langit, aku terhentak. Dia, kekasihku di surga, berlutut di sampingku. Tersenyum.
          “Pejamkan lagi mata kamu!” pintanya.
          Kuturuti.
          “Bukalah!”
          Kami berada di taman dengan kolam berteratai tepat di tengahnya. Dia duduk di sampingku. Menggali memoriku tentang kenangan dulu-dulu.

“OI!”
          Toyoran Asep mengembalikanku pada kenyataan.
          “Cakep yah?” senyum kecutnya menuntut jawaban.
          “Lu kenal, Sep?”
          “Kenal dong! Gak liat tadi dia senyum ke gua.”
          Senyum padaku juga, kan?
          “Siapa, Sep?”
          “Mahasiswi. Sering kok ke sini.”
          “Sering? Kok gue baru lihat?”
          “Lu buta mungkin” Si kampret itu tertawa mengejek.

MALAM. Kuambil pigura di meja. Kutatap potret di dalamnya. Dia yang manis. Dia yang membuat hidupku jadi manis. Lalu kuingat lagi bidadari tadi. Si Gadis Wangi Bedak Bayi tadi. Memang tidak mirip. Wajahnya tidak mirip. Matanya, hidungnya, keningnya sama sekali tidak mirip. Tapi senyum itu!
          Kupandangi lagi pigura itu. Bergumam aku sendiri. Memohon maaf.

SEMALAM aku tidur tak nyenyak. Bayangan dia yang manis dan Si Gadis Wangi Bedak Bayi membuat jantungku bekerja ekstra. Desir darah membuatku selalu terjaga.
          Tak ada janji bimbingan, hari ini aku ke perpustakaan lagi.
          Dengan satu harap: bertemu bidadari lagi.
          Kusapu pandanganku ke seluruh penjuru. Radar kuaktifkan. Tak ada. Dia tak ada. Semoga belum ada.
          Datangkah ia?
          Asal, kuambil sebuah buku. Duduk aku menghadap pintu.
          Buku kubuka, tapi tak kubaca. Kulihat sampulnya: buku tata kota! Apa pula itu? Sudahlah, toh tujuanku memang bukan membaca. Kubolak-balik saja buku itu. kulihat gambar-gambar di dalamnya. Cukup menarik juga.
          Dua menit melepaskan pandangan dari pintu, wangi bedak bayi tercium di sebelahku!

AKU membatu lagi. Bidadari itu ada di situ kini. Dia sedang membaca buku. Bukunya kukenal. Ah, kebetulan memang membahagiakan.
          “Linguistik?” tanyaku membuka pembicaraan.
          Dia menutup buku yang dibacanya.
          Tense, Comrie.” jawabnya.
          “Mahasiswa linguistik juga?” pertanyaan kedua.
          “Juga? Kamu juga?”
          Kamipun lantas terlibat dalam obrolan hangat. Itulah saat di mana untuk pertama kalinya aku berterima kasih pada ilmu yang kugeluti. Terima kasih linguistik!

“SAYANG, jangan marah ya. Tadi aku kenalan sama bidadari itu.” kataku pada pigura.
          “Bukan berarti aku ngelupain kamu, loh. Bener deh. Kamu harus lihat perempuan itu. Senyumnya, sayang, subhanallah! Persis kamu.”
          Kupeluk pigura itu. Kuciumi potretnya.

PONSELKU berdering. Sebuah pesan. Kubuka pesan itu. Dari si bidadari!
          Andai aku tidak sedang di dalam kendaraan umum, pasti aku sudah sujud syukur. Dia memberiku alamatnya. Dia hendak meminjamkanku buku yang sedang kucari. Awalnya kami berjanji bertemu di perpustakaan saja, tapi mendadak dia tak bisa ke sana.
          Namanya, kampusnya, kini rumahnya, dan berikutnya pasti keluarganya. Sempurna!
Kubacai pesan di layar ponselku. Alamatnya seperti tak asing. Seperti kukenal betul.

BENAR! Rumah bidadari itu satu alamat dengan taman kenangan aku dan Dia Yang Manis. Rumahnya adalah rumah tepat di depan kursi favorit kami. Rumah itu adalah apa yang selama ini kami angankan!
          “Sayang, nanti rumah kita seindah itu, ya!”
Dia Yang Manis selalu membuat tiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar sangat menyenangkan telinga.
          “Apapun, untuk kita.” jawabku diplomatis.
          “Kamu jangan berani ngelamar aku sebelum punya rumah kayak itu ya!” aku tahu dia bercanda saat itu.
          Kupandangi taman itu dari depan gerbang rumah Si Bidadari.

SEBUAH cermin besar berdiri gagah di dekat pintu. Aku melihat bayanganku. Cermin itu cermin datar, tapi aku terlihat kecil. Aku gemetar di dalam rumah itu. Merasa kecil. Merasa ciut. Mendadak anganku memiliki bidadari menguap.

MALAM gelap. Awan mendung menaungi bumi, menutup cahaya remang bulan dan kerlip suram bintang-bintang. Angin malam membawa basah. Pepohonan, rerumputan dan semak-semak bergoyangan menggigil.
Aku pamit dari rumah itu. tak langsung pulang. Aku mampir ke taman seberang. Ingin kusapa kenanganku. Memohon maaf.
          Aku duduk di tempat biasa. Di bangku sebelah ayunan, menghadap kolam buatan dengan teratai mengapung di tengahnya. Beberapa ikan berenang di permukaan. Di seberang pohon kembang sepatu berjejeran, sayang kembangnya masih belum bermekaran.


                                                                                Jakarta, 15 Oktober 2012. 01:26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar