MALAM gelap. Awan mendung menaungi bumi,
menutup cahaya remang bulan dan kerlip suram bintang-bintang. Angin malam
membawa basah. Pepohonan, rerumputan dan semak-semak bergoyangan menggigil.
Malam
ini, seperti tahun lalu, aku kembali ke taman ini. Di bangku sebelah ayunan,
menghadap kolam buatan dengan teratai mengapung di tengahnya. Beberapa ikan
berenang di permukaan. Di seberang pohon kembang sepatu berjejeran, sayang
kembangnya belum bermekaran.
Tak
banyak yang berubah sejak terakhir aku duduk di sini bersama dia, beberapa
tahun yang lalu. Dinas Pertamanan sepertinya mengizinkan aku berlama-lama
mengingat dia.
KEHIDUPAN sehari-hariku adalah kebosanan yang
terus menerus berulang. Sendirian di kota sesibuk Jakarta adalah kepenatan yang
tak pernah terselesaikan. Segalanya terus berputar pada poros yang sama.
Berjalan memutar untuk kemudian kembali dan memutari lagi jalan yang sama.
Keseharian
adalah kebosanan!
Satu-satunya
kesenangan yang menghadirkan ketenangan bagiku adalah berdiam diri berlama-lama
di perpustakaan, membaca buku apa saja yang menarik. Ya, mungkin perpustakaan
adalah lokasi paling tenang di kota bising semacam Jakarta. Bukan karena
skripsi aku senang membaca buku. Tak juga aku pantas menyebut diri kutu buku.
Hal utama yang kusuka dari perpustakaan adalah ketenangan, bukan membaca.
Membaca nomor kesekian.
Saking
seringnya aku ke perpustakaan, pustakawannya sampai kenal denganku.
Mereka
bilang, aku hanya numpang ngadem.
Memang.
HARI itu aku datang 5 menit setelah
perpustakaan buka. Aku penasaran membaca kelanjutan cerita pembunuhan di
Nil-nya Agatha Christie. Malas meminjam, tak mungkin kubaca di kosan.
Asep,
si tukang tukar kunci loker senyum-senyum tak jelas saat aku datang. Matanya
tampak merah. Kantung matanya makin tebal. Korban Liga Champions Eropa
sepertinya. Dan benar!
“Chelsea
menang, men!” katanya bangga.
Kopi
hitamnya mengepulkan asap saat dia hirup, lalu menawariku. Kutolak dengan
halus. Dia lantas bercerita tentang pertandingan itu. Seru sekali dia cerita.
Sayang aku juga menonton pertandingan itu. Seheboh apapun dia cerita, tak
menarik. Aku sudah tahu apa yang mau diceritakannya.
Kutinggal
Asep yang terus menerus menguap, membiarkannya berdua dengan kopi hitam
kentalnya. Langsung aku ke rak fiksi.
MATAHARI telah tinggi saat buku itu habis kubaca.
Aku meregangkan badan. Kaku juga duduk berlama-lama membaca.
Perpustakaan
mulai ramai. Aku tak menyadarinya. Mungkin karena ini hari Sabtu. Minat baca
masyarakat saat ini lumayan juga. Lihat, di sana ada beberapa anak kecil, SMP
sepertinya. Mereka sibuk mendiskusikan sesuatu yang ada dalam buku yang mereka
baca. Suara mereka mendengung. Aku senang melihat anak sekolah datang ke
perpustakaan. Senang, karena aku muak mendengar anak sekolah itu meneriakkan “fire in the hole!”, “Double kill!”, dan sejenisnya :aku baru
tahu ternyata itu adalah kata-kata game
online, persetan!
Aku
bangun. Kuhampiri si Asep. Matanya makin merah. Aku tertawa dalam hati.
“Oi,
Sep! Kerja atuh jangan ngantuk!”
Sesundaan.
“Oh,
Si Tukang Ngadem,” Si Tukang Ngadem? Sial! “udah
kelar bacanya?”
“Udah.”
“Seru
banget kayaknya yah?”
“Tentang
pembunuhan. Mau coba?”
“Coba
apah?” Dia tertawa. Deretan gigi
kuning menjurus hitam tampak.
“Yah,
siapa tau elu mau mraktekin triknya.”
“Trik
apa?” Tanya Asep polos.
“Baca
aj…”
Kalimatku
terputus. Bidadari berdiri di depan kami.
BIDADARI itu hadir dengan harum parfum yang
menenangkan. Aku mencoba mengingat-ingat, wanginya persis bedak bayi! Seketika
aku menamainya Gadis Wangi Bedak Bayi.
Gadis
itu memancarkan pesonanya begitu kuat. Dia berdiri di depan kami, menukarkan
kunci. Dia tersenyum pada Asep, lalu padaku. Asep dengan senyum kecut --tapi
kurasa, menurut Asep, itu senyum manis-- membalas senyum itu. Aku diam membatu.
Aku
kenal senyum itu. Sama persis! Senyum itu sama persis dengan milik dia,
kekasihku di surga. Aku seperti terkena kutukan gorgon. Diam membatu. Keadaan
ini adalah repetisi pertemuanku dengan dia bertahun-tahun lalu.
SAAT membuka mata, aku dikagetkan oleh cahaya
yang teramat terang. Setelah beberapa saat, mataku mulai terbiasa. Aku
menemukan diri berada dalam dunia serbaputih. Aku seperti ada dalam sebuah
ruangan bercat putih. Aneh. Saat aku mencoba menyentuh lantai yang kupijak, tak
ada sesuatu yang tersentuh. Bagaimana mungkin? Kuhentakkan kakiku. Benar, tak
ada apapun di sana. Kucoba mendekat pada dinding-dinding putih sekelilingku.
Mula-mula aku melangkah ke depan. Melangkahkan kaki di udara membuatku
bertanya-tanya. Apa yang membuat aku bisa melangkah, sementara tanah tempatku
mendaratkan kaki tak ada. Tapi aku tetap bisa maju.
Dinding
yang coba kudekati, entah mengapa justru semakin jauh.
Berpaling
aku ke dinding sebelah kiri. Sama. Ke kanan, hasil serupa. Percuma sepertinya
aku mendekati dinding belakang. Tak tahu harus apa, kujatuhkan saja tubuhku.
Aku rebah di udara.
Saat
kubuka kelopak mata hendak menatap langit, aku terhentak. Dia, kekasihku di
surga, berlutut di sampingku. Tersenyum.
“Pejamkan
lagi mata kamu!” pintanya.
Kuturuti.
“Bukalah!”
Kami
berada di taman dengan kolam berteratai tepat di tengahnya. Dia duduk di
sampingku. Menggali memoriku tentang kenangan dulu-dulu.
“OI!”
Toyoran
Asep mengembalikanku pada kenyataan.
“Cakep
yah?” senyum kecutnya menuntut jawaban.
“Lu
kenal, Sep?”
“Kenal
dong! Gak liat tadi dia senyum ke
gua.”
Senyum
padaku juga, kan?
“Siapa,
Sep?”
“Mahasiswi.
Sering kok ke sini.”
“Sering?
Kok gue baru lihat?”
“Lu
buta mungkin” Si kampret itu tertawa mengejek.
MALAM. Kuambil pigura di meja. Kutatap potret
di dalamnya. Dia yang manis. Dia yang membuat hidupku jadi manis. Lalu kuingat
lagi bidadari tadi. Si Gadis Wangi Bedak Bayi tadi. Memang tidak mirip.
Wajahnya tidak mirip. Matanya, hidungnya, keningnya sama sekali tidak mirip.
Tapi senyum itu!
Kupandangi
lagi pigura itu. Bergumam aku sendiri. Memohon maaf.
SEMALAM aku tidur tak nyenyak. Bayangan dia
yang manis dan Si Gadis Wangi Bedak Bayi membuat jantungku bekerja ekstra.
Desir darah membuatku selalu terjaga.
Tak ada janji bimbingan, hari ini aku ke
perpustakaan lagi.
Dengan
satu harap: bertemu bidadari lagi.
Kusapu
pandanganku ke seluruh penjuru. Radar kuaktifkan. Tak ada. Dia tak ada. Semoga
belum ada.
Datangkah
ia?
Asal,
kuambil sebuah buku. Duduk aku menghadap pintu.
Buku
kubuka, tapi tak kubaca. Kulihat sampulnya: buku tata kota! Apa pula itu?
Sudahlah, toh tujuanku memang bukan
membaca. Kubolak-balik saja buku itu. kulihat gambar-gambar di dalamnya. Cukup
menarik juga.
Dua
menit melepaskan pandangan dari pintu, wangi bedak bayi tercium di sebelahku!
AKU membatu lagi. Bidadari itu ada di situ kini. Dia
sedang membaca buku. Bukunya kukenal. Ah, kebetulan memang membahagiakan.
“Linguistik?”
tanyaku membuka pembicaraan.
Dia
menutup buku yang dibacanya.
“Tense, Comrie.” jawabnya.
“Mahasiswa
linguistik juga?” pertanyaan kedua.
“Juga?
Kamu juga?”
Kamipun
lantas terlibat dalam obrolan hangat. Itulah saat di mana untuk pertama kalinya
aku berterima kasih pada ilmu yang kugeluti. Terima kasih linguistik!
“SAYANG, jangan marah ya. Tadi aku kenalan sama
bidadari itu.” kataku pada pigura.
“Bukan
berarti aku ngelupain kamu, loh. Bener
deh. Kamu harus lihat perempuan itu. Senyumnya, sayang, subhanallah! Persis kamu.”
Kupeluk
pigura itu. Kuciumi potretnya.
PONSELKU berdering. Sebuah pesan. Kubuka pesan
itu. Dari si bidadari!
Andai
aku tidak sedang di dalam kendaraan umum, pasti aku sudah sujud syukur. Dia
memberiku alamatnya. Dia hendak meminjamkanku buku yang sedang kucari. Awalnya
kami berjanji bertemu di perpustakaan saja, tapi mendadak dia tak bisa ke sana.
Namanya,
kampusnya, kini rumahnya, dan berikutnya pasti keluarganya. Sempurna!
Kubacai
pesan di layar ponselku. Alamatnya seperti tak asing. Seperti kukenal betul.
BENAR! Rumah bidadari itu satu alamat dengan
taman kenangan aku dan Dia Yang Manis. Rumahnya adalah rumah tepat di depan
kursi favorit kami. Rumah itu adalah apa yang selama ini kami angankan!
“Sayang,
nanti rumah kita seindah itu, ya!”
Dia
Yang Manis selalu membuat tiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar sangat
menyenangkan telinga.
“Apapun,
untuk kita.” jawabku diplomatis.
“Kamu
jangan berani ngelamar aku sebelum punya rumah kayak itu ya!” aku tahu dia
bercanda saat itu.
Kupandangi
taman itu dari depan gerbang rumah Si Bidadari.
SEBUAH cermin besar berdiri gagah di dekat
pintu. Aku melihat bayanganku. Cermin itu cermin datar, tapi aku terlihat
kecil. Aku gemetar di dalam rumah itu. Merasa kecil. Merasa ciut. Mendadak
anganku memiliki bidadari menguap.
MALAM gelap. Awan mendung menaungi bumi,
menutup cahaya remang bulan dan kerlip suram bintang-bintang. Angin malam
membawa basah. Pepohonan, rerumputan dan semak-semak bergoyangan menggigil.
Aku
pamit dari rumah itu. tak langsung pulang. Aku mampir ke taman seberang. Ingin
kusapa kenanganku. Memohon maaf.
Aku
duduk di tempat biasa. Di bangku sebelah ayunan, menghadap kolam buatan dengan
teratai mengapung di tengahnya. Beberapa ikan berenang di permukaan. Di
seberang pohon kembang sepatu berjejeran, sayang kembangnya masih belum
bermekaran.
Jakarta,
15 Oktober 2012. 01:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar