Translate

Selasa, 16 Oktober 2012

DINGIN

AKU baru membaca beberapa halaman buku tebal yang baru kubeli saat handphoneku meraung. Sebuah panggilan. Di layar tertulis namamu.
          “Halo!”
          Kamu menangis.
          “Kenapa?”
          Kamu sesenggukan.
          Buku kututup. Lupa aku menyelipkan pembatas.
           “Halo, lu kenapa?”
          “Gue..
          “Iya, lu kenapa?”
          “Gue kesel sama pacar gue. Ke sini, dong! Need you here!”
          “Di mana?”

LANGSUNG kugeber vespa tuaku ke tempat kamu, sebuah taman dalam komplek rumahmu. Taman asri yang di sana tumbuh bunga-bunga. Kamu selalu bercerita bahwa itu adalah tempat favorit kamu sejak kamu masih menghisap dot.
          Aku tidak terlalu peduli pada bunga-bunga. Tidak terlalu tertarik. Tapi aku senang saat kamu mengajak aku ke sana. Senang, bukan karena aku senang melihat bunga-bunga. Bukan. Aku senang lebih karena kamu: melihat kamu bahagia melihat bunga-bunga, dan senang karena bisa berdua saja dengan kamu yang bahagia melihat bunga-bunga.
          Vespa kupacu menembus angin malam. Soal kecepatan tak masalah. Si gendut ini masih mampu berlari cepat. Tapi secepat apapun itu aku tak tahu apakah aku akan segera sampai tempatmu. Jalan memang tak macet. Aku terhenti mungkin hanya karena lampu lalu lintas. Tapi jarak rumahku ke tempatmu kan lumayan jauh. Aku di selatan nyaris pusat kamu di timur nyaris luar kota. Yah,  kuharap semoga kamu tidak marah karena aku lambat datang.

UDARA terasa sangat dingin. Angin malam itu basah. Aku mengutuk diri yang lupa memakai jaket. Kulihat langit. Mendung.
          Melihat langit mendung, kupercepat lajuku. Terbayang wajah kamu yang murung, semurung langit malam yang mendung itu. Matamu pasti sembab, sebab senggukmu tadi terdengar dalam. Aku jadi membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuatmu sedemikian sedihnya. Apa yang dilakukan pacarmu? Memikirkannya aku jadi semakin jengkel pada kekasihmu, lelaki yang mendapatkan cinta yang kurindu. Lelaki yang tak jarang membuatmu kecewa, tapi tak hendak juga kamu melepasnya.

TETESAN-TETESAN lembut dari langit perlahan menyentuh kulit tanganku. Gerimis. Sial! Makin kupacu vespaku, sambil berharap di tempatmu tak hujan. Yah, dalam keadaan seperti itu, aku yakin kamu tak akan bergerak dari tempat kamu berada sederas apapun hujan yang turun.
          Ah, masih menunggukah dia di taman itu?
          Hujan semakin lebat. Aku tak membawa jas hujan. Tak mungkin juga aku berteduh. Vespa terus kupacu. Membelah angin. Membelah hujan.
          Membayangkanmu gigil dalam resah di taman itu membuatku, lagi-lagi, mengutuki diri sendiri. Seandainya aku tak pecundang, seandainya aku bisa menyatakan apa yang kurasa sejak dulu, mungkin saat kamu bertemu dengan dia kamu tak jatuh cinta. Jika itu terjadi, mungkin saja kamu tidak akan menjalani kisah rumit itu bersama dia. Mungkin kamu tidak akan melulu kecewa. Dan yang pasti, mungkin kamu tidak akan menangis sedalam tadi. Ah!
          Vespaku terus menembus hujan.
          Yah, aku memang tidak tahu perasaanku itu berbalas atau tidak. Aku hanya berandai-andai. Seandainya aku menjadi kekasihmu, aku tak akan membiarkanmu tenggelam dalam sengguk sebegitu dalam. Aku tak akan membiarkanmu menangis, kecuali itu tangis haru. Terlebih lagi, aku tak akan membiarkanmu menangis karena aku.

AKU gigil dalam hujan. Aku sampai di taman itu. Kulihat kamu ada di sana. Benar saja, hujan sederas itu tak membuatmu beranjak dari tempatmu. Vespa telah kuparkir, tapi tak hendak aku mendekatimu. Kulihat Jazz biru berhenti, lalu dia turun. Aku diam. Bersembunyi.
          Aku seperti melihat lakon tonil. Kulihat dia menghampirimu, melepas jaketnya dan dipakaikannya di bahumu. Hujan deras meredam suara kalian. Aku tak tahu apa yang kalian bicarakan. Aku hanya membaca gerak tubuh kalian. Kamu selalu menghindar tiap lelaki itu menyentuhmu. Kamu memunggunginya. Dia bangun. Hujan-hujanan. Berlutut di depanmu. Sepertinya dia minta maaf. Kamu berpaling lagi. Dia mengulangi lagi hal yang sama. Berkali-kali. Sampai akhirnya kamu menatapnya. Aku tak tahu apa yang dia katakan. Matamu yang sembab berseri. Senyummu mengembang. Dia memelukmu. Hangat. Kamu membalas pelukannya. Hangat. Lalu kalian pergi.

AKU gigil dalam dingin. Terlambat. Lagi-lagi kukutuki diri sendiri.
                                                                                                                               
                                                                                      Jakarta, Awal hari 15 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar