I
MATAHARI pagi membentuk bayangan menghadap utara.
Aneh, pikirku. Tapi aku tak begitu memedulikan hal itu. Aku lebih peduli pada
jam di dinding, 06.15! Aku harus ada di sekolah baru itu kurang dari setengah
tujuh, sebelum upacara dimulai.
Hanya
menghabiskan waktu dua menit untuk mandi, berpakaian –untung baju sudah
kusiapkan semalam, lalu menyisir rambut sekenanya. Buru-buru, kupacu motor
Itali tua gendut andalanku. Suara cempengnya saat kugeber membuat beberapa
orang di jalan memperhatikanku. Mungkin marah. Mungkin jengkel. Atau mungkin
terpukau dengan vespaku. Entahlah. Aku tak peduli. Jarum jam terus berputar.
Hari
pertama mengajar, aku terlambat. Sial. Gara-gara Liga Spanyol!
SETELAH hampir setahun menganggur pascalulus dari
kampus mantan IKIP Jakarta itu, akhirnya aku kembali ke ibukota. Awalnya enggan
juga aku mengajar, meskipun kuliah yang kuambil dan gelar yang ada di belakang
namaku adalah gelar para guru. Jujur saja, aku masih kurang percaya diri
berdiri di depan kelas. Padahal sudah empat tahun aku belajar untuk itu. Aku
berpikir untuk mencoba mencari pekerjaan lain di luar keilmuanku. Gagal. Sempat
aku ditawari masuk sebuah perusahaan MLM dan dengan pasrah kuikuti –daripada
menganggur. Tapi memang aku tak pandai membual. Aku tak berhasil menjual satu
pun. Memang dulu aku kuliah bahasa. Tapi aku tak pandai bicara.
Tak
pandai bicara, tapi aku lumayan mahir menulis. Dengan pemikiran seperti itu,
aku pun mencoba menjadi penulis. Mungkin aku berbakat menjadi wartawan, atau
penulis artikel. Maka aku mencoba menulis. Tapi menganggur membuat aku apatis
terhadap lingkungan luar. Aku tidak tahu apa yang bisa aku tulis. Cerpen? Ya,
cerpen! Bukankah dulu aku juga belajar sastra, setidaknya pemahaman dasarnya
aku punya. Maka menulislah aku. Lumayan lancar. Aku berhasil membuat satu
cerpen di hari itu. Lalu kukirimkan ke surat kabar harian lokal di kotaku.
Besoknya kubuat lagi. Kukirim lagi. Lumayan banyak. Aku mengagumi karya-karyaku
sendiri. Bagus.
Sayang,
tak satu pun ada yang dimuat.
SESAMPAINYA di sekolah upacara telah dimulai. Bahkan
sudah masuk doa! Seingatku doa itu dibaca di bagian akhir upacara. Setelah doa
laporan pemimpin upacara, pemimpin upacara pergi, lalu barisan dibubarkan.
Berarti hampir selesai. Selesai! Si Satpam Tua mesem-mesem saat membukakan
pagar sekolah dan saat menghampiriku. “Terlambat, mas?” tanyanya. Sial! Senyum
mengejeknya seakan memberitahuku kalau dia adalah orang pertama yang sampai di
sekolah, lebih dari siapapun, dan aku adalah orang terakhir yang datang. Masa
bodoh! Aku balas senyumnya dengan senyum termanis yang bisa kubuat.
Buru-buru
aku menyelinap di barisan para guru. Beberapa guru menyapaku hangat dengan
senyuman yang tak dibuat-buat. Beberapa pura-pura tidak tahu, atau mungkin
benar-benar tidak tahu. Aku lebih menginginkan mereka benar-benar tidak tahu.
Upacara
selesai. Para siswa bubar tak karuan seperti semut yang sedang mengerubungi
makanan lalu kautiup. Beberapa dari mereka langsung masuk kelas, tapi sebagian
besar menuju kantin. Mungkin haus. Dasar lemah! Baru berdiri seperti itu saja
sudah lelah. Coba bayangkan perjuangan pahlawan dulu. Lelah kalian upacara tak
ada apa-apanya! “Ah, tapi aku dulu seperti mereka juga ya?” batinku, lalu
tersenyum.
Mengingat
masa sekolah memang selalu membuat tersenyum!
SEKOLAH mulai tenang, tanpa kegaduhan. Jam pelajaran
pertama telah dimulai. Hebat juga. Aku berpikir mungkin guru jam pertama hari
Senin adalah guru-guru yang mengerikan, yang bisa membuat siswa-siswa di dalam
kelas duduk diam mendengarkan. Hebat! Benar-benar tenang!
Aku sedang duduk di mejaku di ruang guru,
sedang sibuk menyiapkan kelas pertamaku saat kepala sekolah dengan tiba-tiba
berdiri di depanku. Deg! Apa mungkin kepala sekolah yang tadi sedang jadi
inspektur upacara dan berdiri di atas podium jauh dari barisan para guru tahu
aku terlambat? Aku rasa tidak. Aku yakin Pak Kepsek tadi tak melihatku.
Mungkinkah Pak Kepsek mengabsen guru satu persatu sebelum upacara dan beliau
tidak menemukanku? Mungkin saja.
Tergagap
aku menjawab salamnya.
“Sudah
siap mengajar, pak?” tanya dengan suara menunjukkan wibawa. Aku tak tahu apakah
itu benar-benar suaranya atau dibuat-buat.
“Siap,
pak!” Jawabku dengan senyum yang mantap, menurutku.
“Semoga
sukses ya!” beliau menjabat tanganku.
PAMANKU mengajar di sekolah ini, guru olahraga. Dia
yang memberitahuku sekolahnya kekurangan guru bahasa Indonesia dan menawari
posisi itu. Ayahku yang mendengarnya lantas dengan senyum yang licik
menggoyahkan kekeraskepalaanku, dibantu ibu dan tentunya pamanku itu.
Menyerah,
kuterima tawaran paman itu. Ayah senang sekali mendengarnya. Terlebih ibu, aku
melihat matanya berbinar-binar. Terakhir aku melihat mata berbinar ibu seperti
itu saat aku wisuda. Selama aku di rumah, menganggur, mata ibu sesuram malam
mendung di bulan mati. Makin suram saat menasihatiku mencari pekerjaan. Jadi
guru! Paman hanya mengangguk-angguk melihat betapa senangnya kedua orang tuaku.
Maka
aku kembali ke Jakarta, meninggalkan pinggiran kota Bogor yang sejuk dan damai
itu.
TAK ada yang istimewa dari sekolah ini. Tampak luar biasa
saja. Tapi aku tertarik saat masuk ke dalam. Tampaknya mereka berusaha sekali
membuat lingkungan sekolah menjadi asri. Di mana ada tanah kosong, mereka
menanam pepohonan di sana. Macam-macam. Memang, tak ada pohon berkayu. Pot-pot
dengan pohon-pohon yang aku tak tahu namanya berjejer rapi, tiap satu setengah
meter –tentu tidak pas benar. Depan ruang guru lebih semarak. Kembang sepatu,
dan beberapa bunga lain yang juga aku tak tahu namanya. Ah, mungkin aku harus
lebih banyak membaca buku-buku tentang alam. Semoga tidak ada murid yang
bertanya tentang tetumbuhan dan bebungaan.
Setelah
menemui kepala sekolah, ditemani paman aku diperkenalkan ke ruang guru. Hanya
ada beberapa guru yang ada di sana, atau mungkin memang sebanyak itu guru di
sini. Aku harus mendatangi mereka satu persatu. Beberapa berdiri dan membalas
dengan hangat saat aku ulurkan tangan berjabat tangan. Tak sedikit juga yang
hanya mendongakkan kepala, lalu memandangku dengan tatapan yang malas
sejujurnya aku melihatnya, tapi demi kesan pertama aku terus menatapnya dengan
senyum tersungging abadi di wajah.
Dengan
cepat aku menghapal nama mereka. Mudah. Beberapa memiliki keunikan tersendiri.
Pertama, Madam Eli, guru bahasa Inggris. Perawakan yang sama persis dengan guru
bahasa Inggris SMAku. Melihatnya aku jadi ingat remedial. Pelanggan setia! Lalu
ada guru kesenian. Aku sudah menduganya dari awal, sebelum dia mengenalkan
diri. Yah, bagaimana tidak, dia guru lelaki pertama yang kulihat berambut
panjang, dikuncir ke belakang. Kelihatannya cukup senior. Namanya Pak Rahmat.
Di sebelahnya tengah asyik dengan laptopnya,
pasti guru TIK, pikirku. Ternyata bukan. Pak Tarigan, guru olah raga. Sedang
asyik main solitaire. Lalu ada
seorang guru muda, berkerudung. Bersalaman secara Islam yang bukan muhrim. Kupikir
guru agama, tapi salah lagi. Dia mengajar matematika dan fisika sekaligus.
Hebat! Hampir tepuk tangan aku mendengarnya.
Sisanya
adalah para guru yang biasa-biasa saja. Hampir semua menyenangkan. Beberapa
mendoakan agar aku sukses mengajar di sekolah ini, beberapa memberiku
wejangan-wejangan, lainnya mengingatkanku tentang ajaibnya murid-murid di sini.
Terakhir, di sudut dekat jendela ada guru muda lagi, laki-laki, memakai baju
hitam-hitam. Sepertinya juga memakai pewarna hitam di bawah matanya –lagi-lagi
aku tak tahu apa namanya, alat kosmetik yang aku tahu hanya lipstick dan bedak–. Kali ini aku tak
akan salah menebak, buku-buku di atas mejanya kukenal betul: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus
Istilah, KBBI edisi keempat, Sastra
dan Ilmu Sastra A. Teeuw, dan beberapa buku lainnya. Saat aku
memperkenalkan diri, dia dengan anggun menutup buku yang sedang dibacanya
sehingga terlihat jelas olehku: Rumah
Kaca, buku terakhir tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, lalu menjabat
tanganku dengan senyum menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi dengan senyumnya itu
dia bertanya apa aku sudah membaca buku yang sedang dibacanya itu. Aku ingin
tahu apa yang akan terjadi jika aku menjawab belum. Jadi kujawab itu. Dia
lantas menyarankan aku membacanya, lalu lanjut membaca dan mengacuhkan aku.
Sial. Aku jadi ingin mendiskusikan karya Shakespeare, Sartre, Kafka, Tolstoy,
Dostoevsky, Hugo, Akutagawa, Soseki dan lainnya bersamanya.
Paman
mengajakku ke ruangan wakasek kurikulum. Saat aku meninggalkannya, si guru
serba hitam itu melihatku dengan ekor matanya, lalu buru-buru kembali ke
bacaannya saat aku menyadarinya.
BUNYI bel masuk pelajaran keempat bagiku terasa
seperti terlalu banyak mengonsumsi kafein. Jantung berdetak sangat cepat.
Cepat. Cepat! Untung aku dapat menguasai diri. Aku jadi teringat saat di mana
aku sedang PPL dulu. Di hari pertama masuk kelas, seperti saat ini juga, aku
merasakan hal yang sama. Dada berdebar luar biasa. Keringat mulai bercucuran.
Aku berdiri diam di depan kelas. Sepertinya kakiku gemetar. Aku melihat
beberapa siswa tersenyum menahan tawa. Beberapa saling berbisik. Kalimat
pertama yang keluar dari mulutku adalah: “Kelas ini panas, ya?” sambil menyeka
peluh di dahi. Semuanya tertawa, termasuk guru pamongku. Bagaimana tidak. Tepat
di atasku AC berhembus lumayan kencang. Memalukan!
Aku tak mau mengulang kebodohan itu. aku masuk
kelas dengan penuh wibawa, semampu yang aku bisa. Semua siswa memerhatikanku.
Aku lalu memperkenalkan diri.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar