Translate

Sabtu, 08 September 2012

(...)


I

MATAHARI pagi membentuk bayangan menghadap utara. Aneh, pikirku. Tapi aku tak begitu memedulikan hal itu. Aku lebih peduli pada jam di dinding, 06.15! Aku harus ada di sekolah baru itu kurang dari setengah tujuh, sebelum upacara dimulai.
Hanya menghabiskan waktu dua menit untuk mandi, berpakaian –untung baju sudah kusiapkan semalam, lalu menyisir rambut sekenanya. Buru-buru, kupacu motor Itali tua gendut andalanku. Suara cempengnya saat kugeber membuat beberapa orang di jalan memperhatikanku. Mungkin marah. Mungkin jengkel. Atau mungkin terpukau dengan vespaku. Entahlah. Aku tak peduli. Jarum jam terus berputar.
Hari pertama mengajar, aku terlambat. Sial. Gara-gara Liga Spanyol!


SETELAH hampir setahun menganggur pascalulus dari kampus mantan IKIP Jakarta itu, akhirnya aku kembali ke ibukota. Awalnya enggan juga aku mengajar, meskipun kuliah yang kuambil dan gelar yang ada di belakang namaku adalah gelar para guru. Jujur saja, aku masih kurang percaya diri berdiri di depan kelas. Padahal sudah empat tahun aku belajar untuk itu. Aku berpikir untuk mencoba mencari pekerjaan lain di luar keilmuanku. Gagal. Sempat aku ditawari masuk sebuah perusahaan MLM dan dengan pasrah kuikuti –daripada menganggur. Tapi memang aku tak pandai membual. Aku tak berhasil menjual satu pun. Memang dulu aku kuliah bahasa. Tapi aku tak pandai bicara.
Tak pandai bicara, tapi aku lumayan mahir menulis. Dengan pemikiran seperti itu, aku pun mencoba menjadi penulis. Mungkin aku berbakat menjadi wartawan, atau penulis artikel. Maka aku mencoba menulis. Tapi menganggur membuat aku apatis terhadap lingkungan luar. Aku tidak tahu apa yang bisa aku tulis. Cerpen? Ya, cerpen! Bukankah dulu aku juga belajar sastra, setidaknya pemahaman dasarnya aku punya. Maka menulislah aku. Lumayan lancar. Aku berhasil membuat satu cerpen di hari itu. Lalu kukirimkan ke surat kabar harian lokal di kotaku. Besoknya kubuat lagi. Kukirim lagi. Lumayan banyak. Aku mengagumi karya-karyaku sendiri. Bagus.
Sayang, tak satu pun ada yang dimuat.


SESAMPAINYA di sekolah upacara telah dimulai. Bahkan sudah masuk doa! Seingatku doa itu dibaca di bagian akhir upacara. Setelah doa laporan pemimpin upacara, pemimpin upacara pergi, lalu barisan dibubarkan. Berarti hampir selesai. Selesai! Si Satpam Tua mesem-mesem saat membukakan pagar sekolah dan saat menghampiriku. “Terlambat, mas?” tanyanya. Sial! Senyum mengejeknya seakan memberitahuku kalau dia adalah orang pertama yang sampai di sekolah, lebih dari siapapun, dan aku adalah orang terakhir yang datang. Masa bodoh! Aku balas senyumnya dengan senyum termanis yang bisa kubuat.
Buru-buru aku menyelinap di barisan para guru. Beberapa guru menyapaku hangat dengan senyuman yang tak dibuat-buat. Beberapa pura-pura tidak tahu, atau mungkin benar-benar tidak tahu. Aku lebih menginginkan mereka benar-benar tidak tahu.
Upacara selesai. Para siswa bubar tak karuan seperti semut yang sedang mengerubungi makanan lalu kautiup. Beberapa dari mereka langsung masuk kelas, tapi sebagian besar menuju kantin. Mungkin haus. Dasar lemah! Baru berdiri seperti itu saja sudah lelah. Coba bayangkan perjuangan pahlawan dulu. Lelah kalian upacara tak ada apa-apanya! “Ah, tapi aku dulu seperti mereka juga ya?” batinku, lalu tersenyum.
Mengingat masa sekolah memang selalu membuat tersenyum!


SEKOLAH mulai tenang, tanpa kegaduhan. Jam pelajaran pertama telah dimulai. Hebat juga. Aku berpikir mungkin guru jam pertama hari Senin adalah guru-guru yang mengerikan, yang bisa membuat siswa-siswa di dalam kelas duduk diam mendengarkan. Hebat! Benar-benar tenang!
 Aku sedang duduk di mejaku di ruang guru, sedang sibuk menyiapkan kelas pertamaku saat kepala sekolah dengan tiba-tiba berdiri di depanku. Deg! Apa mungkin kepala sekolah yang tadi sedang jadi inspektur upacara dan berdiri di atas podium jauh dari barisan para guru tahu aku terlambat? Aku rasa tidak. Aku yakin Pak Kepsek tadi tak melihatku. Mungkinkah Pak Kepsek mengabsen guru satu persatu sebelum upacara dan beliau tidak menemukanku? Mungkin saja.
Tergagap aku menjawab salamnya.
“Sudah siap mengajar, pak?” tanya dengan suara menunjukkan wibawa. Aku tak tahu apakah itu benar-benar suaranya atau dibuat-buat.
“Siap, pak!” Jawabku dengan senyum yang mantap, menurutku.
“Semoga sukses ya!” beliau menjabat tanganku.

PAMANKU mengajar di sekolah ini, guru olahraga. Dia yang memberitahuku sekolahnya kekurangan guru bahasa Indonesia dan menawari posisi itu. Ayahku yang mendengarnya lantas dengan senyum yang licik menggoyahkan kekeraskepalaanku, dibantu ibu dan tentunya pamanku itu.
Menyerah, kuterima tawaran paman itu. Ayah senang sekali mendengarnya. Terlebih ibu, aku melihat matanya berbinar-binar. Terakhir aku melihat mata berbinar ibu seperti itu saat aku wisuda. Selama aku di rumah, menganggur, mata ibu sesuram malam mendung di bulan mati. Makin suram saat menasihatiku mencari pekerjaan. Jadi guru! Paman hanya mengangguk-angguk melihat betapa senangnya kedua orang tuaku.
Maka aku kembali ke Jakarta, meninggalkan pinggiran kota Bogor yang sejuk dan damai itu.


TAK ada yang istimewa dari sekolah ini. Tampak luar biasa saja. Tapi aku tertarik saat masuk ke dalam. Tampaknya mereka berusaha sekali membuat lingkungan sekolah menjadi asri. Di mana ada tanah kosong, mereka menanam pepohonan di sana. Macam-macam. Memang, tak ada pohon berkayu. Pot-pot dengan pohon-pohon yang aku tak tahu namanya berjejer rapi, tiap satu setengah meter –tentu tidak pas benar. Depan ruang guru lebih semarak. Kembang sepatu, dan beberapa bunga lain yang juga aku tak tahu namanya. Ah, mungkin aku harus lebih banyak membaca buku-buku tentang alam. Semoga tidak ada murid yang bertanya tentang tetumbuhan dan bebungaan.
Setelah menemui kepala sekolah, ditemani paman aku diperkenalkan ke ruang guru. Hanya ada beberapa guru yang ada di sana, atau mungkin memang sebanyak itu guru di sini. Aku harus mendatangi mereka satu persatu. Beberapa berdiri dan membalas dengan hangat saat aku ulurkan tangan berjabat tangan. Tak sedikit juga yang hanya mendongakkan kepala, lalu memandangku dengan tatapan yang malas sejujurnya aku melihatnya, tapi demi kesan pertama aku terus menatapnya dengan senyum tersungging abadi di wajah.
Dengan cepat aku menghapal nama mereka. Mudah. Beberapa memiliki keunikan tersendiri. Pertama, Madam Eli, guru bahasa Inggris. Perawakan yang sama persis dengan guru bahasa Inggris SMAku. Melihatnya aku jadi ingat remedial. Pelanggan setia! Lalu ada guru kesenian. Aku sudah menduganya dari awal, sebelum dia mengenalkan diri. Yah, bagaimana tidak, dia guru lelaki pertama yang kulihat berambut panjang, dikuncir ke belakang. Kelihatannya cukup senior. Namanya Pak Rahmat. Di sebelahnya tengah asyik dengan laptopnya, pasti guru TIK, pikirku. Ternyata bukan. Pak Tarigan, guru olah raga. Sedang asyik main solitaire. Lalu ada seorang guru muda, berkerudung. Bersalaman secara Islam yang bukan muhrim. Kupikir guru agama, tapi salah lagi. Dia mengajar matematika dan fisika sekaligus. Hebat! Hampir tepuk tangan aku mendengarnya.
Sisanya adalah para guru yang biasa-biasa saja. Hampir semua menyenangkan. Beberapa mendoakan agar aku sukses mengajar di sekolah ini, beberapa memberiku wejangan-wejangan, lainnya mengingatkanku tentang ajaibnya murid-murid di sini. Terakhir, di sudut dekat jendela ada guru muda lagi, laki-laki, memakai baju hitam-hitam. Sepertinya juga memakai pewarna hitam di bawah matanya –lagi-lagi aku tak tahu apa namanya, alat kosmetik yang aku tahu hanya lipstick dan bedak–. Kali ini aku tak akan salah menebak, buku-buku di atas mejanya kukenal betul: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Istilah, KBBI edisi keempat, Sastra dan Ilmu Sastra A. Teeuw, dan beberapa buku lainnya. Saat aku memperkenalkan diri, dia dengan anggun menutup buku yang sedang dibacanya sehingga terlihat jelas olehku: Rumah Kaca, buku terakhir tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, lalu menjabat tanganku dengan senyum menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi dengan senyumnya itu dia bertanya apa aku sudah membaca buku yang sedang dibacanya itu. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika aku menjawab belum. Jadi kujawab itu. Dia lantas menyarankan aku membacanya, lalu lanjut membaca dan mengacuhkan aku. Sial. Aku jadi ingin mendiskusikan karya Shakespeare, Sartre, Kafka, Tolstoy, Dostoevsky, Hugo, Akutagawa, Soseki dan lainnya bersamanya.
Paman mengajakku ke ruangan wakasek kurikulum. Saat aku meninggalkannya, si guru serba hitam itu melihatku dengan ekor matanya, lalu buru-buru kembali ke bacaannya saat aku menyadarinya.


BUNYI bel masuk pelajaran keempat bagiku terasa seperti terlalu banyak mengonsumsi kafein. Jantung berdetak sangat cepat. Cepat. Cepat! Untung aku dapat menguasai diri. Aku jadi teringat saat di mana aku sedang PPL dulu. Di hari pertama masuk kelas, seperti saat ini juga, aku merasakan hal yang sama. Dada berdebar luar biasa. Keringat mulai bercucuran. Aku berdiri diam di depan kelas. Sepertinya kakiku gemetar. Aku melihat beberapa siswa tersenyum menahan tawa. Beberapa saling berbisik. Kalimat pertama yang keluar dari mulutku adalah: “Kelas ini panas, ya?” sambil menyeka peluh di dahi. Semuanya tertawa, termasuk guru pamongku. Bagaimana tidak. Tepat di atasku AC berhembus lumayan kencang. Memalukan!
 Aku tak mau mengulang kebodohan itu. aku masuk kelas dengan penuh wibawa, semampu yang aku bisa. Semua siswa memerhatikanku. Aku lalu memperkenalkan diri.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar