“Percayakah kamu pada ungkapan cinta tak
harus saling memiliki?”
Aku
melihat pada arloji, jarum jam
menunjukkan
jam delapan malam,
aku
dan wanita yang kucintai,
yang
bukan kekasihku,
memulai
pembicaraan dengan sebuah pertanyaan:
“Percayakah kamu pada ungkapan cinta tak
harus saling memiliki?”
“Entahlah”
Kurasakan
angin bertiup menggelitik kesadaranku.
“Aku tak paham benar perkara cinta.”
“Aku tak percaya!”
Katanya.
Dia
memainkan bibirnya,
Gemas
aku melihatnya.
“hmm..”
“Bukankah cinta adalah sepasang?”
Aku
menggumam lagi,
Sepasang
burung gereja terbang rendah di depan kami.
“Bukankah cinta adalah saling berbalas,
berbalas senyum, berbalas rindu, berbalas kasih,
berbalas cinta?”
Aku
tersenyum,
mengangguk
Dia
memainkan udara dalam
rongga
mulutnya,
kuperhatikan
pipinya yang
menggelembung.
“Apakah cinta yang hanya sendiri,
mendapatkan esensinya sebagai cinta?”
“Esensi?”
“Apakah mungkin cinta akan merelakan
cinta yang diidamkannya dimiliki cinta yang lain?”
Aku
mematung,
kurelakan
dia bahagia dengan kekasihnya.
“Masihkah pantas cinta seperti itu disebut
cinta?
Bukankah itu hanya harapan belaka?”
Aku
masih menyebut cintaku padanya
dengan
istilah cinta
“Kenapa hanya harapan belaka?”
Dia
mainkan lagi udara dalam
rongga
mulutnya,
kuperhatikan
lagi pipinya yang
menggelembung.
“Tidakkah kamu pikir bahwa seseorang yang
merelakan cintanya dimiliki cinta yang lain adalah
perbuatan yang sia-sia?”
“Sia-sia?”
Dia
tidak menjawab pertanyaan
“Ya, sia-sia. Tidakkah orang itu
mengerti bahwa cinta adalah sepasang?”
“Lalu?”
“Kenapa cuma lalu?”
“Sudah lanjutkan saja!”
“Yah, tadi ‘kan aku sudah bilang,
bukankah Tuhan menciptakan cinta itu sepasang,
saling berbalas adalah esensi dari cinta.
Maksudku, jika dia mencintai cinta yang dimiliki
cinta lain,
bukankah itu artinya cinta itu bukanlah
pasangan cinta yang telah Tuhan ciptakan untuknya.
Bukankah ada cinta lain selain cinta yang
dicintainya itu
yang mungkin saja itulah sebenarnya yang Tuhan
jadikan
pasangan cintanya yang hanya separuh?”
Berbelit
sekali omongan si cantik ini
“Menurut kamu gimana?”
“Yah…”
Ponselnya
bordering, SMS,
dia
tersenyum membacanya.
Dibalasnya
SMS itu sambil senyum juga.
“Yah kenapa?”
“Menurutku esensi dari cinta
bukanlah saling berbalas..”
Dia
menatapku.
“Lalu?”
“Menurutku, esensi dari cinta adalah
melihat cinta kita bahagia.”
“Jadi kamu percaya ungkapan itu?”
Bagaimana
tidak, aku tak bisa memiliki dia.
“Seorang temanku pernah mengatakan ini padaku
….”
“Apa?”
“Dia juga percaya cinta tak harus memiliki,
dia memendam perasaannya pada seorang wanita,
karena wanita itu telah memiliki kekasih.”
Dia
adalah aku. Wanita itu adalah dia.
“Dia mengatakan bahwa hanya dengan melihat
senyum
wanita yang dicintainya itu tersungging, entah
dengan dia,
atau dengan kekasihnya, atau dengan siapapun,
artinya
tujuannya mencintai wanita itu
terpenuhi. Menurut dia, cinta adalah membuat cinta
kita itu bahagia.
Mungkin dia percaya cinta itu akan lebih bahagia
jika bersama kekasihnya. Jadi dia merelakan, dan tak
bisa melupakan.”
“Kasihan sekali, lalu apa dia bahagia melihat
wanita yang dicintainya itu
mencintai orang lain? Pasti tersiksa bukan?”
HP-nya
berdering lagi.
Dia
tersenyum lagi.
“Lanjutkan!” katanya.
Dia
lanjut membaca, sambil tersenyum.
“Yah, dia bilang, cukup melihat cintanya itu
tersenyum,
entah itu saat bersama kekasihnya, saat SMS-an
dengan
kekasihnya, atau apa lah, sudah membuatnya bahagia.”
“Apa iya bisa begitu? Dia senang hanya dengan
melihat
wanita itu tersenyum?”
“Iya.”
“Temanmu itu tidak realistis sekali!”
“Oh ya?”
“Pacarku datang, kita lanjutkan lain waktu
ya…”
Dia
bangkit.
“Katakan pada temanmu itu, realistislah!
Untuk apa berharap
pada cinta yang tak berbalas.”
Tersenyum
dia.
“Daaah.. Pergi dulu ya!”
Tersenyum
lagi.
Aku
melihat pada arloji, jarum jam
menunjukkan
jam delapan dua puluh malam,
kuhabiskan
malam minggu dengan menciumi
wangi
parfumnya yang tertinggal.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus