Translate

Rabu, 31 Juli 2013

KARENA AKU: XVII


SEKOLAH sudah kembali pada kenormalan. Keriuhan yang beberapa hari lalu menggema di seluruh dinding sekolah kini kembali sedia kala. Tidak ada musik menghentak. Tidak ada tarian melenggak.
          Semua telah kembali pada buku teks dan papan tulis.
          Keadaan sedang sangat riuh. Bel tanda istirahat baru saja berbunyi dan anak-anak sudah mulai turun dari kelasnya saat tiba-tiba terdengar suara keras. Sebuah gertakan dari suara yang kukenal betul.
          “Dasar anak gak berguna! Masa’ begini aja kamu gak bisa! Selama ini apa yang kamu pelajari, hah? Bodoh!”
          Kuhampiri sumber suara itu. Di sana, kulihat Rama menunduk sangat dalam. Di depannya berdiri Robi bertolak pinggang. Matanya tampak berapi.
          “Ada apa, Pak?” tanyaku pada Robi.
          “Lihat nih!” Dilemparkannya selembar kertas padaku. Sebuah puisi tertulis di kertas itu.
          “Saya mengikutsertakan anak bodoh ini dalam lomba puisi.”
          Bodoh? Seenaknya saja manusia ini mengucapkan kata itu di depan yang bersangkutan, di tempat umum.
          Saya pikir dia akan mampu memenangkan perlombaan itu. Saya sudah mengajarinya cara membuat puisi dan saya percaya dia akan menang. Tapi apa? Dasar bodoh!” hardik Robi.
          Rama semakin dalam menundukkan kepala. Banyak mata menatap ke arah kami.
          “Memang apa salahnya kalo dia kalah, Pak?” tanyaku sambil menepuk bahu Rama. Mencoba menenangkannya yang mulai gemetar.
          “Bodoh! Saya terlalu berharap dia bisa memenangkan perlombaan itu!” katanya berapi-api.
          Aku tak suka cara bicaranya.
          “Lagipula atas dasar apa Bapak mendaftarkan Rama dalam lomba itu? Emangnya Anda tahu kemampuan menulis puisi Rama?” tanyaku pada Robi.
          Robi tampak tidak menemukan jawaban pertanyaanku.
          “Saya mengajar di kelasnya. Saya lebih tahu kemampuan Rama,” sambungku.
          “Saya yang ngajar dia waktu dia kelas satu!” jawab Robi ketus.
          “Dasar anak bodoh! Masa’ membuat puisi aja gak becus. Dasar sam… ugh!”
          Robi terpelanting. Sebuah tinju mendarat mutlak di wajahnya.
          Murid-murid makin banyak yang mengerubungi kami. Beberapa guru juga hadir. Mereka serempak menatap ke arahku. Tanganku masih mengepal dan hendak menghajarnya lagi. Tapi Rama menahanku.
          “Apa-apaan ini!” tiba-tiba kepala sekolah datang. Robi segera bangkit dan menghampiri pamannya.
          Darah mengalir dari hidungnya.
          “Orang ini memukul saya, Pak!” adu Robi layaknya bocah.
          “Kamu tahu kan, kekerasan dilarang di sekolah ini!” kata Pak Kepsek padaku.
          “Keponakan Bapak juga melakukan kekerasan. Harusnya kalimat tadi Bapak tujukan pada ia juga,” kataku santai.
          “Kekerasan apa?” racau Robi.
          “Kalian berdua, ikut saya ke ruangan!” tegas Pak Kepala.

AKU muak dengan yang dilakukan oleh Robi. Jika kau tanyakan padaku apa definisi pecundang, tanpa ragu aku akan mengatakan: pecundang adalah manusia yang sejenis dengan Robi.
          Suhu di ruangan kepala sekolah cukup dingin, tapi tak mampu mendinginkan kepala Pak Kepala. Ia tampak sangat terganggu dengan kejadian yang terjadi barusan.
          Dengan penuh emosi, ia langsung menginterogasi kami. Ia bahkan tak menyilakan kami duduk.
          “Apa yang kau lakukan tadi? Main pukul seenaknya saja. Kau pikir di sini pasar yang tidak ada aturannya?”
          Pertanyaan yang jelas menunjukkan kemana kepala sekolah berpihak. Ke mana dia saat keponakannya itu mengucapkan kata-kata yang tak pantas?
          “Saya hanya mengikuti naluri, Pak,” jawabku datar, “saya tidak berkenan dengan perlakuan yang Pak Robi lakukan pada Rama.Lanjutku tetap dengan nada datar. Untuk apa aku ikut emosi dalam pembicaraan yang tampak berat sebelah seperti ini?
          “Naluri? Memukul rekan kerja di depan anak-anak kamu bilang naluri?”
          Aku tak menemukan kalimat yang tepat untuk menanggapi pertanyaan kepsek tadi. Aku memang melakukannya begitu saja, terdorong nafsu hendak menyudahi omongan pecundang satu itu.
          “Memang apa yang kamu lakukan, Rob?”
          “Saya hanya menasihati Rama, Pak.”
          Menasihati? Jangan buat aku tertawa, Robi!
          “Nah, apa yang salah? Pak Robi hanya menasihati anak murid.”
          “Perkataan kau bagian mana yang kauanggap nasihat, Rob?” tanyaku sambil menahan tawa. Perbincangan ini sungguh menggelikan.
          “Apa maksudmu?” tanya Robi.
          “Apa yang kaumaksud dengan menasihati itu?” tanyaku.
          Wajah Pak Kepala memerah. Entah apa penyebabnya.
          “Sudah, sudah! Pak Robi sudah mengatakan bahwa dia hanya menasihati murid bernama Rama itu. Tiba-tiba kamu memukulnya. Apa seperti itu perlakuan seorang guru di depan murid-muridnya? Apa tadi kamu tidak lihat banyak murid yang memperhatikan kalian?” tanya kepala sekolah setengah menggertak.
          “Kamu guru. Harusnya kamu menunjukkan apa yang seyogianya dilakukan guru. Kekerasan tanpa konfirmasi lebih dulu, main pukul, apa itu pantas dilakukan oleh seorang guru?” lanjut kepala sekolah.
          “Maaf, Pak Kepala Sekolah. Harusnya kalimat tadi juga bapak tujukan pada Pak Robi,” ucapku.
          “Kau yang memukul! Kau yang melakukan tindak kekerasan di sekolah!” hardik kepala sekolah.
          “Setiap pelanggaran pasti ada hukumannya. Ingat itu!” sambung kepala sekolah itu.
          Robi tersenyum.
          Kupenuhi paru-paruku dengan oksigen. Aku bukan orang yang senang berdebat. Khusus kali ini, aku wajib melakukannya.
          “Jika saya mendapat hukuman karena kekerasan, harusnya guru satu ini juga mendapatkan hal yang sama. Dia juga melakukan kekerasan pada Rama,” sahutku.
          “Apa? Apa yang aku lakukan. Jangan menuduh sembarangan!” kata Robi.
          “Jika kekerasan fisik dilarang dilakukan di sekolah ini, apakah kekerasan verbal diizinkan?” kataku tegas.
          Pak Kepala diam.
          “Orang ini mengatakan hal yang tidak pantas diucapkan seorang guru pada anak didiknya. Saya punya banyak saksi untuk hal itu jika Bapak ingin mengetahui kebenarannya,” sambungku.
Robi diam.
          “Memang apa yang Pak Robi katakan?” tanya Pak Kepala Sekolah.
          Kuulangi apa yang diucapkan Robi tadi. Tak kurang, tak lebih.
          Aku hapal betul.

DALAM keriaan pentas seni, di tengah bising dan hiruk pikuk seliweran siswa, Robi datang menghampiri Rama. Rama menyambutnya dengan ramah. Tak ada alasan baginya untuk menerima dengan dingin kedatangan gurunya itu.
          “Bisa kita bicara, Rama?”
          Rama tak menolak. Ia mengikuti Robi mencari tempat yang agak sepi.
          Mereka berdiri di lorong dekat tangga.
          Rama tidak tahu mengapa ia diajak bicara hingga Robi mengeluarkan selembar kertas. Pengumuman lomba menulis puisi antar-SMA.
          “Saya sudah mendaftarkan kamu untuk mewakili sekolah ini dalam lomba itu. Memang hadiahnya tidak seberapa, tapi sekolah kita adalah juara perlombaan itu tahun lalu. Saya yang mendampingi kakak kelas kamu itu,” jelas Robi.
          Rama diam. Ia terus memandangi pamflet itu tanpa membacanya.
          “Saya enggak jago nulis puisi,” ucap Rama lemah.
          “Tenang aja, nanti saya pinjamkan buku kumpulan puisi. Menulis puisi cuma masalah senang baca puisi atau tidak,” kata Robi.
Rama masih memandangi pamflet itu.
          “Tapi saya enggak suka baca puisi.”
          Lemah lagi Rama mengucapkan kalimat tadi.
          “Nanti kamu pasti suka. Masih ada waktu seminggu sampai perlombaan itu dimulai,” kata Robi.
          Rama menimbang-nimbang.
          “Sudah, tenang saja. Nanti saya bantu. Tiap pulang sekolah temui saya di perpustakaan!”

ADA riak yang menggelembungkan banyak tanda tanya tentang hal itu. Aku, meskipun belum terlalu lama, sudah mengajar di kelas Rama dan tahu bagaimana kemampuan bersastranya. Masih banyak siswa lain yang lebih mahir merangkai kata penuh denotasi dibanding Rama. Jika boleh menyebut salah satu, wanita yang kini duduk di sebelahnya adalah yang paling baik di sekolah ini.
          Rama menceritakan hal yang dialaminya padaku saat ia dan Sinta datang ke rumahku selepas pulang sekolah.
          “Kenapa kamu enggak nolak, Ram?” tanya Sinta setelah Rama menyelesaikan ceritanya barusan.
          “Bingung, Sin. Pak Robi udah bilang kalo dia ‘sudah mendaftarkan’ aku. Ya mau enggak mau aku turutin aja.”
          Kami bertiga bingung. Benar. Melihat posisi Rama, sangat tidak memungkinkan ia menolak tawaran itu. Mendaftarkan Rama tanpa persetujuan yang bersangkutan terlebih dahulu adalah tanda tanya besar yang mesti dipecahkan.
          “Padahal Pak Robi pernah nawarin ikut lomba itu ke aku. Aku pikir lombanya masih lama makanya Pak Robi gak pernah ngomongin itu lagi sampai sekarang,” kata Sinta.
          “Coba kamu lihat di tumpukan kertas itu, Sin!” kutunjuk setumpukan kertas di salah satu rak bukuku. Kertas-kertas murid berupa karya tulis kukumpulkan di sana.
          “Di sana ada tugas membuat puisi kelasnya Rama. Coba kamu cari!”
           Tanpa harus mengulang kalimat perintah tadi, Sinta langsung melakukannya. Diacak-acaknya kumpulan kelas yang telah kulabeli kelas Rama.
          Rama gelisah.
          Aku tersenyum.
          Sinta cukup telaten mencari kertas itu. Tidak memerlukan waktu lama baginya untuk menemukan sebuah puisi dengan nama Rama Saputra di pojok kanan atas kertasnya.
          Rama salah tingkah. Sinta membacanya sambil tersenyum.
          Rama sangat menyanjung sosok seorang perempuan yang digambarkannya begitu sempurna: menyerupai bidadari dengan sayap terbentang. Ia terlalu berlebihan memuji bidadari itu. Manusia yang tahu siapa bidadari yang ditulis Rama dalam puisi bebas itu mungkin hanya aku.
          “Gimana, Sin?” tanyaku.
          Sinta menjawabnya dengan senyuman. Bagiku, senyuman itu terbaca: pantas saja.
          Rama makin salah tingkah.
          “Iya, puisi aku memang jelek,” kata Rama datar.
          Perkataan yang memancing tawaku dan Sinta.
          “Lumayan kok, Ram. Lumayan,” hibur Sinta.
          “Lumayan ngegombal ya, Sin?” godaku.
          Kami berdua kembali tertawa, sementara Rama menahan senyum kecutnya.

(bersambung)

Selasa, 30 Juli 2013

KARENA AKU: XVI


TERJADI sedikit keributan di pintu gerbang saat pengumuman lomba melukis diumumkan. Aku sedang menunggu hasilnya. Tiga dewan juri berdiri di atas panggung. Jelas Yuda menjadi pusat perhatian karena ada orang asing di antara dua guru paling famous di sekolah.
          Siapa lelaki cungkring itu?
          Tidak ada yang mengetahui adanya seseorang yang ingin masuk ke dalam sekolah, namun dihalang oleh Pak Tua mesem-mesem.
          “Ini acara intern sekolah. Orang luar tidak dizinkan masuk,” teriak Pak Tua itu menjelaskan, mencoba mengimbangi keriuhan dari dalam sekolah.
          Orang itu mencoba menjelaskan sesuatu.
          “Siapa namanya? biar saya panggilkan.”
          Si Mesem-mesem masih ngotot tidak mengizinkan.
          Kuhampiri mereka.
          “Ada apa, Pak?” tanyaku pada satpam itu.
          “Ini, Pak. Ada yang mau masuk ke dalam. Sudah saya beritahu sekolah sedang ada acara, tapi dia tetap ngotot.”
          Seorang wanita berkacamata berdiri di sisi luar pagar. Ia mengenakan hoodie berwarna hitam dengan tudung menutupi sebagian kepalanya.
          “Biar saya yang urus,” kataku pada Pak Tua Mesem-mesem. Ia lalu pergi.
          “Boleh saya masuk?” tanyanya. Pantas suaranya saat bicara dengan Pak Tua Mesem-mesem tadi tak terdengar olehku padahal suara satpam itu terdengar sangat jelas. Dia memiliki suara yang tak kalah lembut dengan suara Putri.
          Tanpa menjawab kubukakan pintu gerbang.
          “Kenalkan,” aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Ia menerima jabat tanganku.
          “Kamu Annelis, kan?”
          Dia tampak terkejut.
          “Tahu dari mana?” tanyanya.
          Tak perlu kujelaskan sekarang. Kutemani dia ke dalam.

KACAMATA dan hoodie rupanya membuat Yuda tidak menyadari kehadiran Annelis.
Yuda sedang duduk di sebuah kursi di dekat pameran lukisan.
          “Gue ngelewatin pengumumannya, Yud. Siapa tadi yang menang? Lukisan yang itu, bukan?”
          Aku menunjuk ke arah sebuah gambar buatan siswa. Aku memang tertarik dengan lukisan itu: sebatang pohon yang tumbuh lebat di tengah padang yang gersang. Seperti ada sesuatu yang berdesir di dadaku saat melihat gambar itu. Entahlah.
          Yuda mengikuti arah telunjukku, kemudian mengangguk. Tatapannya tidak segera kembali padaku. Ia terhenti sebentar pada seorang perempuan berhoodie hitam. Perempuan itu sedang melihat lukisan yang menggambarkan seorang perempuan.
          Yuda kembali padaku.
          Ia tak tahu siapa perempuan itu.
          “Emangnya lu ke mana tadi? Pemenangnya kan Putri umumin lewat mikrofon.”
          Aku berkilah, dan ia percaya.
          “Tadi gue kebelet pup.”
          Putri datang membawa sepiring gorengan. Kuletakkan piring gorengan itu di meja dekat kursi Yuda, kemudian menarik tangan Putri. Meninggalkan Yuda sendiri.
          Biar saja pertemuan dua insan itu terjadi alami.

YUDA tampak mulai terusik dengan kehadiran perempuan itu. Perempuan yang tidak kelihatan wajahnya itu tidak bergeser sedikit pun dari depan lukisan berjudul Annelis. Sebagai si empunya lukisan, Yuda pun menghampiri perempuan itu, layaknya seorang kurator yang hendak menjelaskan perihal lukisan yang sedang dipamerkan saat seseorang tampak tertarik pada lukisan itu.
          Ia berdiri di belakangnya.
          Aku—juga Putri—ingin mendengar apa yang mereka bicarakan. Kami mendekat sampai suara mereka terdengar.
          “Kenapa dik dengan lukisan itu?” tanya Yuda.
          Aku dan Putri tersenyum. Yuda menganggap Annelis siswa sekolah ini rupanya.
          “Bagus, Kak.”
          Jawaban Annelis pun membuat kami tersenyum.
          “Kakak yang melukis?” tanya Annelis tanpa menoleh.
          Yuda mengiyakan pertanyaan itu.
          “Annelis,” kata Annelis membaca judul lukisan itu. Membaca namanya.
          “Indah ya namanya,” kata Yuda tersenyum.
          “Seindah lukisannya,” sambung Annelis.
          Mereka diam sejenak. Annelis tidak juga membalikkan badan. Yuda juga tidak berpindah posisi.
          “Lukisan akan semakin indah jika dilukis dengan jiwa,” tiba-tiba saja Yuda mengatakan hal itu.
          “Maksud kakak?”
          Annelis membalikkan badannya. Tapi Yuda menatap ke arah lain.
          Yuda tampak sedang berpikir keras, mencoba berfilosofi. Tampangnya lucu saat berpikir seperti itu.
          “Hmmm,” Yuda bingung.
          “Maksud kakak kalo misalnya kita melukis sepenuh hati, hasilnya akan luar biasa. Gitu?” tanya Annelis.
          “Iya, seperti itu. Jika kita mencurahkan segala perasaan kita saat melakukan sesuatu, memfokuskan perasaan dan bertindak dengan penuh perasaan, tiap apa pun yang kita lakukan, yang kita kerjakan, pasti akan menghasilkan sesuatu yang mengesankan.”
          “Iya, aku setuju,” sahut Annelis.
          “Kakak melukis gambar ini dengan penuh perasaan?” lanjut Annelis.
          Yuda tersenyum. Ia masih memandang ke arah lain.
          “Sangat,” katanya.
          “Ini pacar kakak?” tanya Annelis lagi.
          Yuda berjalan maju ke arah matanya menerawang. Ia tampak enggan bercerita. Pelukis itu diam.
          “Kasih tak sampai,” ucap Yuda bergetar.
          Aku tak bisa melihat ekspresi Annelis saat Yuda mengatakan hal itu. entah apa yang berkecamuk dalam perasaannya mendengar Yuda mengatakan hal itu. Sebuah pengakuan yang diucapkan dalam nada muram, dengan punggung yang bicara.
          “Apa lukisan ini dijual?”
          “Tidak,” jawab Yuda cepat.
          “Berapa pun akan aku bayar.”
          Yuda tampak tidak senang. Ia membalikkan badannya. Memandang ke arah Annelis.
          “Saya tidak akan jual lukisan ini sekalipun ada yang ngasih saya cek kosong,” katanya tegas.
          “Kenapa?”
          “Tidak perlu kamu tahu alasannya. Saya tidak akan jual lukisan ini pada siapapun. Sekaya apapun ayah kamu. Tidak akan!” kata Yuda tegas.
          “Sekalipun aku yang beli?”
          Annelis melepas tudung hoodie dan kacamatanya. Model dalam lukisan seakan meloncat ke luar.
          Yuda membatu.

AKU dan Putri menjadi saksi pertemuan kembali dua insan itu. Di antara riuh musik dan dengung suara siswa di mana-mana, jelas Yuda hanya mendengar detak jantungnya. Dunia baginya serasa sepi, tak ada suara sekalipun di panggung tengah menampilkan band yang memainkan musik cadas entah apa. Terlihat jelas dari matanya.
          Sementara Annelis, tak kusangkal keindahan yang digambar Yuda dalam lukisan itu. Mahasenyum. Kupahami mengapa Yuda tak pernah bosan memandangi lengkung sempurna di wajah itu.
          Jika dalam lukisan buatan manusia saja senyum itu sudah sedemikian menakjubkan, senyum nyata yang diciptakan Tuhan saat Annelis memandang Yuda yang terdiam melihat dirinya adalah maha menakjubkan.
          Kulihat perempuan yang berdiri di sebelahku. Dia tengah menikmati detik-detik pertemuan teman barunya itu. Sudah kuceritakan sekilas padanya kisah yang terjalin di antara dua makhluk Tuhan yang tengah bertatapan itu. .
          Putri tersenyum.
          Aku melihat dua keindahan di waktu yang berdekatan.

BEBERAPA waktu yang lalu. Seorang siswa yang berdiri takjub di depan lukisan berjudul Annelis mengatakan padaku bahwa dia mengenal model dalam lukisan itu. Fotonya dengan seorang perempuan berambut keemasan yang ditunjukkannya padaku membuatku yakin bahwa Annelis yang dikenal Yuda adalah Annelis yang sama dengan Tante Annelisnya anak itu.
          “Kenapa Tante Annelis bisa jadi model orang itu, Pak?” tanya anak itu padaku.
          Aku bingung harus menjawab apa.
          “Tante Annelis cantik banget di lukisan ini,” katanya.
          Dia tidak menuntutku menjawab pertanyaannya.
          “Kapan terakhir kamu ketemu tante kamu?”
          Anak itu menatapku. Kemudian memasang wajah mencoba mengingat.
          “Hmmm, kapan ya. Belum lama ini Tante Annelis datang ke rumah aku. Dia baru datang dari Leiden,” kata anak itu.
          “Sendirian?” tanyaku.
          “Maksud Bapak?”
          Matahari mulai menguasai siang. Dengan gagah ia memancarkan cahaya kuning yang menyilaukan. Lapangan begitu terik. Pasti panas sekali berdiri di tengah-tengah sana sambil berdesakan. Tapi tampaknya hal itu tidak mengurangi minat para siswa untuk mengapresiasi penampilan temannya. Mereka tetap asyik bersorak menyaksikan temannya beraksi di panggung.
Sementara aku coba menyusun kata untuk menjawab pertanyaan keponakan Annelis ini. Hendak mengatakan sejujurnya, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
          “Kamu punya nomor telepon tante kamu?” tanyaku lagi pada anak itu.
          Dia mengangguk.
          “Kira-kira tante kamu mau gak kalo diminta datang ke sini?”
          “Supaya dia lihat lukisan ini ya, Pak?”
          Kuacungkan jempolku.
          Dia mengangguk. Lantas menelpon tantenya.

“SAMPERIN yuk, Put!”
          “Jangan dulu,” kata Putri setengah berbisik. Ia menarik tanganku.
          Yuda dan Annelis belum mulai berbicara sejak Annelis memperlihatkan dirinya.
          “Tunggu sampai kekakuan di antara mereka cair dulu,” lanjut Putri.
          Aku menurut. Kutunggu hingga saat yang Putri maksud tiba. Kembali kuberdiri di sebelah Putri.
          Tangannya masih memegang tanganku.

CUKUP lama waktu yang digunakan Yuda untuk hanya diam. Entah apa yang dirasakannya saat mengetahui perempuan yang berdiri di depannya adalah Annelis. Aku tak bisa membaca gerak tubuhnya. Ambigu.
          Annelis kembali melihat lukisan yang mengabadikan dirinya.
          “Aku jadi ingat sketsa yang kamu buat dulu,” kata Annelis.
          Sudah kuduga. Yang akan memulai pembicaraan lebih dahulu adalah Annelis.
          “Kamu minjem buku catetan aku. Begitu dipulangin, ada gambar perempuan di halaman paling belakang,” lanjut Annelis.
          Yuda tersenyum.
          “Kamu bilang gambar aku jelek, kan? Dan kamu marah karena aku nyoret-nyoret buku kamu.”
          Akhirnya Yuda bersuara.
          Annelis juga tersenyum.
          “Ternyata kamu masih suka ngelukis. Lukisan kamu makin bagus. Aku kelihatan jadi cantik gini di lukisan kamu,” kata Annelis sambil melirik ke arah Yuda.
          Yang dilirik diam.
          “Gimana tawaran aku tadi. Boleh aku beli lukisan ini?”
          Annelis menatap Yuda dengan lembut.
          “Maaf, Ann. Lukisan itu aku buat bukan untuk dijual,” kata Yuda lemah.
          “Tapi kamu melukis aku tanpa izin, dipamerin pula di sekolah kayak gini.”
          Yuda kikuk. Perkataan Annelis tadi benar adanya.
          “Maaf, Ann. Aku lagi kangen kamu saat ngelukis itu, makanya aku…”
          Yuda kehilangan kata untuk melanjutkan kalimatnya.
          “Makasih ya, Yud!” kata Annelis dalam senyum.

(bersambung)