SEKOLAH sudah kembali pada kenormalan. Keriuhan yang
beberapa hari lalu menggema di seluruh dinding sekolah kini kembali sedia kala.
Tidak ada musik menghentak. Tidak ada tarian melenggak.
Semua telah kembali pada buku teks dan papan
tulis.
Keadaan sedang sangat riuh. Bel tanda
istirahat baru saja berbunyi dan anak-anak sudah mulai turun dari kelasnya saat
tiba-tiba terdengar suara keras. Sebuah gertakan dari suara yang kukenal betul.
“Dasar anak gak berguna! Masa’ begini aja kamu
gak bisa! Selama ini apa yang kamu pelajari, hah? Bodoh!”
Kuhampiri sumber
suara itu. Di sana, kulihat Rama menunduk sangat dalam. Di depannya berdiri Robi bertolak pinggang.
Matanya tampak berapi.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Robi.
“Lihat nih!” Dilemparkannya selembar kertas padaku. Sebuah puisi tertulis di kertas
itu.
“Saya mengikutsertakan anak bodoh ini dalam
lomba puisi.”
Bodoh? Seenaknya
saja manusia ini mengucapkan kata itu di depan yang bersangkutan, di tempat
umum.
“Saya pikir dia akan mampu
memenangkan perlombaan itu. Saya sudah mengajarinya cara membuat puisi dan saya
percaya dia akan menang. Tapi apa? Dasar bodoh!” hardik Robi.
Rama semakin dalam menundukkan kepala. Banyak
mata menatap ke arah kami.
“Memang apa salahnya kalo dia kalah, Pak?”
tanyaku sambil menepuk bahu Rama. Mencoba menenangkannya yang mulai gemetar.
“Bodoh! Saya terlalu berharap dia bisa
memenangkan perlombaan itu!” katanya berapi-api.
Aku tak suka cara
bicaranya.
“Lagipula atas dasar apa Bapak mendaftarkan
Rama dalam lomba itu? Emangnya Anda tahu kemampuan menulis puisi Rama?” tanyaku
pada Robi.
Robi tampak tidak menemukan jawaban
pertanyaanku.
“Saya mengajar di kelasnya. Saya lebih tahu
kemampuan Rama,” sambungku.
“Saya yang ngajar dia waktu dia kelas satu!”
jawab Robi ketus.
“Dasar anak bodoh! Masa’ membuat puisi aja gak
becus. Dasar sam… ugh!”
Robi terpelanting. Sebuah tinju mendarat
mutlak di wajahnya.
Murid-murid makin banyak yang mengerubungi
kami. Beberapa guru juga hadir. Mereka serempak menatap ke arahku. Tanganku
masih mengepal dan hendak menghajarnya lagi. Tapi Rama menahanku.
“Apa-apaan ini!” tiba-tiba kepala sekolah
datang. Robi segera bangkit dan menghampiri pamannya.
Darah mengalir dari hidungnya.
“Orang ini memukul saya, Pak!” adu Robi
layaknya bocah.
“Kamu tahu kan, kekerasan dilarang di sekolah
ini!” kata Pak Kepsek padaku.
“Keponakan Bapak juga melakukan kekerasan.
Harusnya kalimat tadi Bapak tujukan pada ia juga,” kataku santai.
“Kekerasan apa?” racau Robi.
“Kalian berdua, ikut saya ke ruangan!” tegas
Pak Kepala.
AKU muak dengan yang dilakukan oleh Robi. Jika kau tanyakan padaku apa
definisi pecundang, tanpa ragu aku akan mengatakan: pecundang adalah manusia
yang sejenis dengan Robi.
Suhu di ruangan kepala sekolah cukup dingin,
tapi tak mampu mendinginkan kepala Pak Kepala. Ia tampak sangat terganggu
dengan kejadian yang terjadi barusan.
Dengan penuh emosi, ia langsung menginterogasi
kami. Ia bahkan tak menyilakan kami duduk.
“Apa yang kau lakukan tadi? Main pukul
seenaknya saja. Kau pikir di sini pasar yang tidak ada aturannya?”
Pertanyaan yang jelas menunjukkan kemana
kepala sekolah berpihak.
Ke mana dia saat keponakannya itu mengucapkan kata-kata yang tak pantas?
“Saya hanya mengikuti naluri, Pak,” jawabku datar, “saya tidak berkenan dengan perlakuan yang Pak Robi lakukan pada Rama.” Lanjutku tetap
dengan nada datar. Untuk apa aku ikut
emosi dalam pembicaraan yang tampak berat sebelah seperti ini?
“Naluri? Memukul rekan kerja di depan
anak-anak kamu bilang naluri?”
Aku tak menemukan kalimat yang tepat untuk
menanggapi pertanyaan kepsek tadi. Aku memang melakukannya begitu saja,
terdorong nafsu hendak menyudahi omongan pecundang satu itu.
“Memang apa yang kamu lakukan, Rob?”
“Saya hanya menasihati Rama, Pak.”
Menasihati? Jangan buat aku tertawa, Robi!
“Nah, apa yang salah? Pak Robi hanya
menasihati anak murid.”
“Perkataan kau bagian mana yang kauanggap
nasihat, Rob?” tanyaku sambil menahan tawa. Perbincangan ini sungguh
menggelikan.
“Apa maksudmu?” tanya Robi.
“Apa yang kaumaksud dengan menasihati itu?”
tanyaku.
Wajah Pak Kepala memerah. Entah apa
penyebabnya.
“Sudah, sudah! Pak Robi sudah mengatakan bahwa
dia hanya menasihati murid bernama Rama itu. Tiba-tiba kamu memukulnya. Apa
seperti itu perlakuan seorang guru di depan murid-muridnya? Apa tadi kamu tidak
lihat banyak murid yang memperhatikan kalian?” tanya kepala sekolah setengah
menggertak.
“Kamu guru. Harusnya kamu menunjukkan apa yang
seyogianya dilakukan guru. Kekerasan tanpa konfirmasi lebih dulu, main pukul,
apa itu pantas dilakukan
oleh seorang guru?” lanjut kepala sekolah.
“Maaf, Pak Kepala Sekolah. Harusnya kalimat
tadi juga bapak tujukan pada Pak Robi,” ucapku.
“Kau yang memukul! Kau yang melakukan tindak
kekerasan di sekolah!” hardik kepala sekolah.
“Setiap pelanggaran pasti ada hukumannya.
Ingat itu!” sambung kepala sekolah itu.
Robi tersenyum.
Kupenuhi paru-paruku dengan oksigen. Aku bukan
orang yang senang berdebat. Khusus kali ini, aku wajib melakukannya.
“Jika saya mendapat hukuman karena kekerasan,
harusnya guru satu ini juga mendapatkan hal yang sama. Dia juga melakukan
kekerasan pada Rama,” sahutku.
“Apa? Apa yang aku lakukan. Jangan menuduh
sembarangan!” kata Robi.
“Jika kekerasan fisik dilarang dilakukan di
sekolah ini, apakah kekerasan verbal diizinkan?” kataku tegas.
Pak Kepala diam.
“Orang ini mengatakan hal yang tidak pantas
diucapkan seorang guru pada anak didiknya. Saya punya banyak saksi untuk hal
itu jika Bapak ingin mengetahui kebenarannya,” sambungku.
Robi diam.
“Memang apa yang Pak Robi katakan?” tanya Pak
Kepala Sekolah.
Kuulangi apa yang diucapkan Robi tadi. Tak
kurang, tak lebih.
Aku hapal betul.
DALAM keriaan pentas seni, di tengah bising dan hiruk
pikuk seliweran siswa, Robi datang menghampiri Rama. Rama menyambutnya dengan
ramah. Tak ada alasan baginya untuk menerima dengan dingin kedatangan gurunya
itu.
“Bisa kita bicara, Rama?”
Rama tak menolak. Ia mengikuti Robi mencari
tempat yang agak sepi.
Mereka berdiri di lorong dekat tangga.
Rama tidak tahu mengapa ia diajak bicara
hingga Robi mengeluarkan selembar kertas. Pengumuman lomba menulis puisi
antar-SMA.
“Saya sudah mendaftarkan kamu untuk mewakili
sekolah ini dalam lomba itu. Memang hadiahnya tidak seberapa, tapi sekolah kita
adalah juara perlombaan itu tahun lalu. Saya yang mendampingi kakak kelas kamu
itu,” jelas Robi.
Rama diam. Ia terus memandangi pamflet itu
tanpa membacanya.
“Saya enggak jago nulis puisi,” ucap
Rama lemah.
“Tenang aja, nanti saya pinjamkan buku
kumpulan puisi. Menulis puisi cuma masalah senang baca puisi atau tidak,” kata
Robi.
Rama masih memandangi pamflet itu.
“Tapi saya enggak suka baca puisi.”
Lemah lagi Rama mengucapkan kalimat tadi.
“Nanti kamu pasti suka. Masih ada waktu
seminggu sampai perlombaan itu dimulai,” kata Robi.
Rama menimbang-nimbang.
“Sudah, tenang saja. Nanti saya bantu. Tiap
pulang sekolah temui saya di perpustakaan!”
ADA riak yang menggelembungkan banyak tanda tanya tentang hal itu. Aku,
meskipun belum terlalu lama, sudah mengajar di kelas Rama dan tahu bagaimana
kemampuan bersastranya. Masih banyak siswa lain yang lebih mahir merangkai kata
penuh denotasi dibanding Rama. Jika boleh menyebut salah satu, wanita yang kini
duduk di sebelahnya adalah yang paling baik di sekolah ini.
Rama menceritakan hal yang dialaminya
padaku saat ia dan Sinta datang ke rumahku selepas pulang sekolah.
“Kenapa kamu enggak nolak, Ram?” tanya Sinta
setelah Rama menyelesaikan ceritanya barusan.
“Bingung, Sin. Pak Robi udah bilang kalo dia
‘sudah mendaftarkan’ aku. Ya mau enggak mau aku turutin aja.”
Kami bertiga bingung. Benar. Melihat posisi
Rama, sangat tidak memungkinkan ia menolak tawaran itu. Mendaftarkan Rama tanpa
persetujuan yang bersangkutan terlebih dahulu adalah tanda tanya besar yang
mesti dipecahkan.
“Padahal Pak Robi pernah nawarin ikut lomba
itu ke aku. Aku pikir lombanya masih lama makanya Pak Robi gak pernah ngomongin
itu lagi sampai sekarang,” kata Sinta.
“Coba kamu lihat di tumpukan kertas itu, Sin!”
kutunjuk setumpukan kertas di salah satu rak bukuku. Kertas-kertas murid berupa
karya tulis kukumpulkan di sana.
“Di sana ada tugas membuat puisi kelasnya
Rama. Coba kamu cari!”
Tanpa
harus mengulang kalimat perintah tadi, Sinta langsung melakukannya.
Diacak-acaknya kumpulan kelas yang telah kulabeli kelas Rama.
Rama gelisah.
Aku tersenyum.
Sinta cukup telaten mencari kertas itu. Tidak
memerlukan waktu lama baginya untuk menemukan sebuah puisi dengan nama Rama
Saputra di pojok kanan atas kertasnya.
Rama salah tingkah. Sinta membacanya sambil
tersenyum.
Rama sangat menyanjung sosok seorang perempuan
yang digambarkannya begitu sempurna: menyerupai bidadari dengan sayap
terbentang. Ia terlalu berlebihan memuji bidadari itu. Manusia yang tahu siapa
bidadari yang ditulis Rama dalam puisi bebas itu mungkin hanya aku.
“Gimana, Sin?” tanyaku.
Sinta menjawabnya dengan senyuman. Bagiku,
senyuman itu terbaca: pantas saja.
Rama makin salah tingkah.
“Iya, puisi aku memang jelek,” kata Rama
datar.
Perkataan yang memancing tawaku dan Sinta.
“Lumayan kok, Ram. Lumayan,” hibur Sinta.
“Lumayan ngegombal ya, Sin?” godaku.
Kami berdua kembali tertawa, sementara Rama
menahan senyum kecutnya.
(bersambung)