Translate

Senin, 22 Juli 2013

KARENA AKU: XV

CUACA sesuai harapan saat hari yang ditunggu-tunggu itu datang. Para siswa lebih bersemangat dibanding hari-hari biasa. Hampir dipastikan tidak ada siswa yang bolos kali ini. Semua tampak berbaur dalam riuh kebebasan. Menertawakan apa pun yang bisa ditertawakan, membicarakan apa pun sekiranya menarik.
          Semua tumpah ruah memenuhi lapangan sekolah.
          Seharian sejak kemarin aku memeras keringat mengurus ini itu. Seluruh anak buahku pun tersenyum bangga karena tengah malam, segala hal yang diperlukan telah siap digunakan.
          Kami membangun panggung utama di pojok lapangan. Ukurannya tidak terlampau besar tapi cukup megah untuk ukuran pentas seni seadanya. Beruntung sekolah ini mempunyai lapangan yang cukup luas sehingga penataan panggung tidak menjadi masalah besar. Soundsystem sudah kutata sedemikian rupa agar suaranya tidak terlalu menggema dan tidak mengocok perut saking nge-bass­-nya, mengingat bentuk sekolah ini yang mengepung lapangan. Sebagai background panggung, kami tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra. Salah seorang murid yang orangtuanya sukses berbisnis di bidang percetakan bersedia membantu mencetak spanduk. Anak itu juga yang mendesain tulisan dan gambar dalam spanduk itu dan hasilnya sangat jauh dari kata buruk. Luar biasa!
          Di pinggir-pinggir lapangan, kami mendirikan stand-stand menjual berbagai macam barang mulai dari makanan, minuman, hinga aksesoris dan pakaian. Ini adalah ide Annisa untuk menjaring dana lebih banyak karena stand-stand di sana disewakan meski sangat murah. Penjualnya pun umumnya siswa sendiri.
          Agak jauh dari panggung, di dekat jalan menuju gerbang di dirikan juga sebuah tenda. Di sanalah pameran hasil lomba melukis diadakan. Telah telah dipilih satu lukisan terbaik dari tiap kelas yang dipamerkan di sana untuk kemudian diumumkan siapa di antara delapan belas lukisan itu yang dianggap terbaik oleh dewan juri—semenjak aku melibatkan Yuda dalam acara ini, dewan juri lomba melukis menjadi tiga orang: Pak Rahmat, Putri, dan sahabatku itu. Di antara lukisan-lukisan siswa, terselip karya dua orang yang membuat lukisan siswa yang dilombakan terlihat tidak ada apa-apanya. Yuda membawa empat lukisan: lukisan pemandangan sunset di Bromo, lukisan pantai Kuta Lombok, lukisan yang diberinya judul Sunset di Jakarta¸ dan lukisan yang perlu kurayu agar ia rela membawanya. Sementara Putri membawa lukisan sebuah lebih banyak. Lukisan yang dibawanya semuanya gambar bunga dengan judul nama latinnya. Hanya dua dari lima nama ilmiah itu yang kutahu—itupun karena Putri pernah memberi tahu: Phalaenopsis amabilis dan Anaphalis javanica. Tiga lainnya Tulipa acuminata, Gerbera L., dan Nelumbo nucifera. Aku tidak tahu ketiga bunga itu. Hendak bertanya, tapi tampaknya dia sedang sibuk. Nanti sajalah kucari di Google.
          Acara akan dimulai pukul sembilan.

SETELAH kepala sekolah secara simbolis membuka acara, maka kesibukan beralih menjadi milik seksi acara. Timekeeper, juklak, dan segala tetek bengek khas seksi acara berseliweran ke mana-mana.
          Aku memilih menggabungkan diri dengan Yuda di tempat ia memamerkan karya. Kasihan, Putri meninggalkannya sendiri.
          “Rame juga ya acaranya,” katanya sambil memandang sekeliling sekolah.
          “Yah, namanya juga sekolah, Yud,” jawabku sekenanya.
          Kami sedang memperhatikan anak-anak yang sedang melihat-lihat karya temannya, juga karya Yuda dan Putri. Mereka kagum melihat gambar-gambar yang dipajang di sana.
          “Ini lukisan Bu Putri, Pak?” tanya seorang siswa saat aku ikut bergabung melihat apa yang sedang mereka lihat. Lukisan Anaphalis javanica.
          Kujawab dengan anggukan.
          “Wah, Bu Putri hebat ya. Cantik, pinter, jago ngelukis. Aku bisa gak ya jadi kayak Bu Putri?” tanyanya pada diri sendiri.
          Memancing senyumku.
          “Kamu tahu itu bunga apa?” tanyaku pada anak itu.
          Dia menggeleng.
          “Ini bunga edelweiss,” jelasku singkat.
          “Oh, aku tahu!” beberapa temannya ikut bergabung.
          “Itu bunga yang ada di Gunung Bromo kan, Pak?”
          Aku mengangguk sambil tersenyum lagi. Untung setelah melihat lukisan itu tempo hari aku menyempatkan diri membaca artikel tentang si Anaphalis itu.
          Sekolah mulai bising. Sebuah band sudah tampil di panggung utama. Mereka menyanyikan lagu rock barat yang aku tak tahu apa dan siapa penyanyinya.
          Aku kembali menikmati lukisan-lukisan di sini, hingga sebuah panggilan memalingkan mataku.
          “Abis ini kita tampil, Pak. Ayo siap-siap!”
          Empat remaja tanggung sudah siap dengan tampilan serba hitam. Rambut mereka sudah ditata sedemikian rupa mengikuti trend harajuku yang sudah tergerus hallyu belakangan ini.
          “Bapak enggak dandan juga?” tanya salah satu dari mereka.
          “Saya kan additional player, jadi enggak usah “nampil” banget lah. Nanti kalian kalah ganteng dari saya,” kataku sambil terkekeh.

SETELAH membawakan dua lagu, band yang memekakkan telinga itu turun panggung. Kami menunggu dipanggil. Mereka tampak mencoba menyantaikan diri dengan melakukan peregangan. Aku tertawa meledek. Memangnya mau olahraga?
          Ini kali pertama mereka tampil di depan banyak orang.
          “Oke. Berikutnya kita akan jepang-jepangan. Band ini adalah band yang paling saya mau lihat penampilannya,” kata MC membuka perkenalan kami.
          Mereka berempat makin semangat pemanasan.
          “Kenapa tuh, Jeng?” tanya MC kedua.
          Ajeng, MC pertama pun menjawab.
          “Karena salah satu personilnya, bagi kalian yang belum tahu, pasti akan kaget deh. Enggak akan nyangka kalo dia bisa nge-band juga.”
          Jelas si Ajeng sedang membicarakan aku.
          “Wah, siapa tuh, Jeng?” tanya si MC kedua, berjenis kelamin pria. Ia pura-pura. Ilham sudah tahu orang itu aku.
          “Penasaran? Langsung saja kita panggil: SKEPTIS!
          Riuh tepuk tangan saat kami menaiki panggung. Terlebih saat aku.
          “Ini dia orangnya!” kata Ajeng sambil menunjukku.
          “Hai!” sapaku pada murid-murid di bawah sana. Mereka meneriakkan namaku.
          Serasa superstar saja!
          “Boleh ngobrol-ngobrol sebentar gak nih, Pak?” tanya Ilham.
          “Boleh. Gelar konferensi pers juga boleh,” kataku asal. Ajeng dan Ilham tertawa. Beberapa murid juga. Entah guru-guru di sana tertawa atau tidak.
          “Bapak main apa di band ini?” Ajeng memulai wawancara.
          Aku memasang suara Ariel Noah.
          “Menurut kalian saya main apa?” tanyaku pada penonton.
          “Main karet, Pak!” sahut salah satu dari mereka. Yang lainnya tertawa. Aku juga.
          “Seriusan, Pak. Bapak vokalisnya?” tanya Ajeng lagi.
          “Bukan,” jawabku. Tak lama setelah kujawab pertanyaan itu, Ananta, vokalis sebenarnya, cek vokal.
          “Oke deh, kita ganti. Kenapa namanya skeptis? Emang artinya apa?” kali ini Ilham yang bertanya.
          “Arti skeptis?” tanyaku.
          Ajeng dan Ilham mengangguk.
          “Coba cari di KBBI. Kalo enggak punya, KBBI ada di perpustakaan,” jawabku.
          Tak ada alasan sendiri mengapa band darurat ini diberi nama skeptis. Saat hendak mendaftarkan diri, band ini belum mempunyai nama. Bingung memilih nama apa, aku mendadak menyebut kata skeptis. Mereka menganggap itu usulan, dan mereka menyetujuinya. “Kedengerannya keren,” kata mereka menyepakati.
          Mereka tidak tahu apa arti kata skeptis itu.
          “Baiklah, enggak ada gunanya juga kita tanya bapak satu ini,” kata Ilham pasrah. Jawaban yang membuat aku tertawa lagi.
          “Kita sambut saja, Skeptis!” ucap Ilham dan Ajeng bersamaan.
          Penonton bersorak, membuat keempat partnerku itu makin semangat. Entah ke mana grogi saat naik panggung tadi.
          “Selamat pagi, semuanya!” teriak Ananta menyapa.
          Kami akan membawakan dua lagu. Daybreak’s Bell dan Niji.
          Keduanya milik Laruku.

KAMI membawakan dua lagu itu dengan cukup baik. Skill mereka hebat ternyata! Tak perlu skill-ku untuk meng-cover-nya. Mereka cukup mumpuni bahkan saat memainkan not-not sulit di dua lagu itu. Tepuk tangah riuh bergemuruh saat kami menyelesaikan lagu kedua, membuat dada keempat rekanku itu serasa plong, juga denganku. Kami sudah melakukan sebisanya dan berhasil. Mungkin sebagian besar penonton itu tidak mengerti lagu apa yang kami mainkan—bahkan jika kau menanyakan dua lagu itu bercerita tentang apa padaku, aku tidak tahu. Sebagian sisanya bahkan mungkin baru sekali itu mendengar dua lagu itu. Tapi biarlah, setidaknya kemauan mereka mengapresiasi kami patut kami balas dengan penampilan sempurna.
          Dan kami telah melakukannya.
          Empat orang itu jejingkrakan puas begitu turun panggung. Mereka lantas memelukku. Putri, Rama, dan Sinta ikut datang ke backstage.
          “Wah, bapak metal juga yah. Ngedrumnya keren! Ajarin, dong!” seru Rama.
          “Drum mah main tinggal main aja, Ram.”
          “Tapi kan enggak gitu juga, Pak,” sangkalnya.
          “Main musik mah sama aja kayak cinta, makin sering, makin biasa, makin kuat kemampuannya,” kukedipkan mata ke arah Sinta.
          Sinta tidak mengerti mengapa aku berkedip ke arahnya. Sementara Rama mencoba menahan senyumnya. Dialogku barusan memang hanya dia yang mendengar.
          “Haus, Pak? Kayaknya semangat banget ngegebuk drumnya.”
          Putri mendekatiku sambil memberikan sebotol air. Kutegak habis air di botol itu tanpa malu. Aku tidak memedulikan keempat rekanku karena ternyata ada jatah minum dari seksi konsumsi.
          Sama-sama air mineral, tapi milikku lebih terasa nikmat.

“INI kan...” seorang siswa berdiri takjub di depan sebuah lukisan.
          Aku menghampirinya.
          “Kenapa?” tanyaku.
          “Ini lukisan siapa, Pak?”
          “Kamu lihat lelaki di sana?” kutunjuk Yuda yang sedang berbincang dengan Pak Rahmat. Dua pelaku kesenian beda tempat kerja itu sepertinya sudah mulai akrab sejak bergabung menjadi dewan juri.
          “Itu buatan orang itu?”
          Aku mengangguk.
          “Lukisan itu enggak akan dijual. Percuma kamu tertarik.”
          “Judul lukisan ini nama orang yang dilukis ini kan, Pak?”
          Yuda memang memberi judul lukisan itu Annelis. Aku mengiyakan pertanyaannya.
          “Kenapa emangnya?” tanyaku.
          Ia mengeluarkan handphone. Mengutak-atiknya, kemudian memperlihatkan kepadaku. Sebuah foto, dia bersama wanita berambut keemasan.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar