TERJADI sedikit keributan di pintu gerbang saat pengumuman
lomba melukis diumumkan. Aku sedang menunggu hasilnya. Tiga dewan juri berdiri
di atas panggung. Jelas Yuda menjadi pusat perhatian karena ada orang asing di
antara dua guru paling famous di sekolah.
Siapa lelaki cungkring itu?
Tidak ada yang mengetahui adanya
seseorang yang ingin masuk ke dalam sekolah, namun dihalang oleh Pak Tua
mesem-mesem.
“Ini acara intern sekolah. Orang luar tidak
dizinkan masuk,” teriak Pak Tua itu menjelaskan, mencoba mengimbangi keriuhan
dari dalam sekolah.
Orang itu mencoba menjelaskan sesuatu.
“Siapa namanya? biar saya panggilkan.”
Si Mesem-mesem masih ngotot tidak mengizinkan.
Kuhampiri mereka.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada satpam itu.
“Ini, Pak. Ada yang mau masuk ke dalam. Sudah
saya beritahu sekolah sedang ada acara, tapi dia tetap ngotot.”
Seorang wanita berkacamata berdiri di sisi luar
pagar. Ia mengenakan hoodie berwarna hitam dengan tudung menutupi sebagian
kepalanya.
“Biar saya yang urus,” kataku pada Pak Tua
Mesem-mesem. Ia lalu pergi.
“Boleh saya masuk?” tanyanya. Pantas suaranya
saat bicara dengan Pak Tua Mesem-mesem tadi tak terdengar olehku padahal suara
satpam itu terdengar sangat jelas. Dia memiliki suara yang tak kalah lembut
dengan suara Putri.
Tanpa menjawab kubukakan pintu gerbang.
“Kenalkan,” aku memperkenalkan diri sambil
mengulurkan tangan. Ia menerima jabat tanganku.
“Kamu Annelis, kan?”
Dia tampak terkejut.
“Tahu dari mana?” tanyanya.
Tak perlu kujelaskan sekarang. Kutemani dia ke
dalam.
KACAMATA dan hoodie rupanya membuat Yuda tidak menyadari
kehadiran Annelis.
Yuda sedang duduk di sebuah kursi di dekat
pameran lukisan.
“Gue ngelewatin pengumumannya, Yud. Siapa tadi
yang menang? Lukisan yang itu, bukan?”
Aku menunjuk ke arah sebuah gambar buatan
siswa. Aku memang tertarik dengan lukisan itu: sebatang pohon yang tumbuh lebat
di tengah padang yang gersang. Seperti ada sesuatu yang berdesir di dadaku saat
melihat gambar itu. Entahlah.
Yuda mengikuti arah telunjukku, kemudian
mengangguk. Tatapannya tidak segera kembali padaku. Ia terhenti sebentar pada seorang
perempuan berhoodie hitam. Perempuan itu sedang melihat lukisan yang
menggambarkan seorang perempuan.
Yuda kembali padaku.
Ia tak tahu siapa perempuan itu.
“Emangnya lu ke mana tadi? Pemenangnya kan
Putri umumin lewat mikrofon.”
Aku berkilah, dan ia percaya.
“Tadi gue kebelet pup.”
Putri datang membawa sepiring gorengan.
Kuletakkan piring gorengan itu di meja dekat kursi Yuda, kemudian menarik
tangan Putri. Meninggalkan Yuda sendiri.
Biar saja pertemuan dua insan itu terjadi
alami.
YUDA tampak mulai terusik dengan kehadiran perempuan
itu. Perempuan yang tidak kelihatan wajahnya itu tidak bergeser sedikit pun
dari depan lukisan berjudul Annelis. Sebagai si empunya lukisan, Yuda pun
menghampiri perempuan itu, layaknya seorang kurator yang hendak menjelaskan
perihal lukisan yang sedang dipamerkan saat seseorang tampak tertarik pada
lukisan itu.
Ia berdiri di belakangnya.
Aku—juga Putri—ingin mendengar apa yang mereka
bicarakan. Kami mendekat sampai suara mereka terdengar.
“Kenapa dik dengan lukisan itu?” tanya Yuda.
Aku dan Putri tersenyum. Yuda menganggap
Annelis siswa sekolah ini rupanya.
“Bagus, Kak.”
Jawaban Annelis pun membuat kami tersenyum.
“Kakak yang melukis?” tanya Annelis tanpa
menoleh.
Yuda mengiyakan pertanyaan itu.
“Annelis,” kata Annelis membaca judul lukisan
itu. Membaca namanya.
“Indah ya namanya,” kata Yuda tersenyum.
“Seindah lukisannya,” sambung Annelis.
Mereka diam sejenak. Annelis tidak juga
membalikkan badan. Yuda juga tidak berpindah posisi.
“Lukisan akan semakin indah jika dilukis
dengan jiwa,” tiba-tiba saja Yuda mengatakan hal itu.
“Maksud kakak?”
Annelis membalikkan badannya. Tapi Yuda
menatap ke arah lain.
Yuda tampak sedang berpikir keras, mencoba
berfilosofi. Tampangnya lucu saat berpikir seperti itu.
“Hmmm,” Yuda bingung.
“Maksud kakak kalo misalnya kita melukis
sepenuh hati, hasilnya akan luar biasa. Gitu?” tanya Annelis.
“Iya, seperti itu. Jika kita mencurahkan
segala perasaan kita saat melakukan sesuatu, memfokuskan perasaan dan bertindak
dengan penuh perasaan, tiap apa pun yang kita lakukan, yang kita kerjakan,
pasti akan menghasilkan sesuatu yang mengesankan.”
“Iya, aku setuju,” sahut Annelis.
“Kakak melukis gambar ini dengan penuh
perasaan?” lanjut Annelis.
Yuda tersenyum. Ia masih memandang ke arah
lain.
“Sangat,” katanya.
“Ini pacar kakak?” tanya Annelis lagi.
Yuda berjalan maju ke arah matanya menerawang.
Ia tampak enggan bercerita. Pelukis itu diam.
“Kasih tak sampai,” ucap Yuda bergetar.
Aku tak bisa melihat ekspresi Annelis saat
Yuda mengatakan hal itu. entah apa yang berkecamuk dalam perasaannya mendengar
Yuda mengatakan hal itu. Sebuah pengakuan yang diucapkan dalam nada muram, dengan
punggung yang bicara.
“Apa lukisan ini dijual?”
“Tidak,” jawab Yuda cepat.
“Berapa pun akan aku bayar.”
Yuda tampak tidak senang. Ia membalikkan
badannya. Memandang ke arah Annelis.
“Saya tidak akan jual lukisan ini sekalipun
ada yang ngasih saya cek kosong,” katanya tegas.
“Kenapa?”
“Tidak perlu kamu tahu alasannya. Saya tidak
akan jual lukisan ini pada siapapun. Sekaya apapun ayah kamu. Tidak akan!” kata
Yuda tegas.
“Sekalipun aku yang beli?”
Annelis melepas tudung hoodie dan kacamatanya.
Model dalam lukisan seakan meloncat ke luar.
Yuda membatu.
AKU dan Putri menjadi saksi pertemuan kembali dua insan itu. Di antara riuh
musik dan dengung suara siswa di mana-mana, jelas Yuda hanya mendengar detak
jantungnya. Dunia baginya serasa sepi, tak ada suara sekalipun di panggung
tengah menampilkan band yang memainkan musik cadas entah apa. Terlihat jelas
dari matanya.
Sementara Annelis, tak kusangkal keindahan
yang digambar Yuda dalam lukisan itu. Mahasenyum. Kupahami mengapa Yuda tak
pernah bosan memandangi lengkung sempurna di wajah itu.
Jika dalam lukisan buatan manusia saja senyum
itu sudah sedemikian menakjubkan, senyum nyata yang diciptakan Tuhan saat
Annelis memandang Yuda yang terdiam melihat dirinya adalah maha menakjubkan.
Kulihat perempuan yang berdiri di sebelahku.
Dia tengah menikmati detik-detik pertemuan teman barunya itu. Sudah kuceritakan
sekilas padanya kisah yang terjalin di antara dua makhluk Tuhan yang tengah
bertatapan itu. .
Putri tersenyum.
Aku melihat dua keindahan di waktu yang berdekatan.
BEBERAPA waktu yang lalu. Seorang siswa yang berdiri takjub
di depan lukisan berjudul Annelis mengatakan padaku bahwa dia mengenal model
dalam lukisan itu. Fotonya dengan seorang perempuan berambut keemasan yang
ditunjukkannya padaku membuatku yakin bahwa Annelis yang dikenal Yuda adalah
Annelis yang sama dengan Tante Annelisnya anak itu.
“Kenapa Tante Annelis bisa jadi model orang
itu, Pak?” tanya anak itu padaku.
Aku bingung harus menjawab apa.
“Tante Annelis cantik banget di lukisan ini,”
katanya.
Dia tidak menuntutku menjawab pertanyaannya.
“Kapan terakhir kamu ketemu tante kamu?”
Anak itu menatapku. Kemudian memasang wajah
mencoba mengingat.
“Hmmm, kapan ya. Belum lama ini Tante Annelis
datang ke rumah aku. Dia baru datang dari Leiden,” kata anak itu.
“Sendirian?” tanyaku.
“Maksud Bapak?”
Matahari mulai menguasai siang. Dengan gagah
ia memancarkan cahaya kuning yang menyilaukan. Lapangan begitu terik. Pasti
panas sekali berdiri di tengah-tengah sana sambil berdesakan. Tapi tampaknya
hal itu tidak mengurangi minat para siswa untuk mengapresiasi penampilan
temannya. Mereka tetap asyik bersorak menyaksikan temannya beraksi di panggung.
Sementara aku coba menyusun kata untuk
menjawab pertanyaan keponakan Annelis ini. Hendak mengatakan sejujurnya, tapi
sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
“Kamu punya nomor telepon tante kamu?” tanyaku
lagi pada anak itu.
Dia mengangguk.
“Kira-kira tante kamu mau gak kalo diminta
datang ke sini?”
“Supaya dia lihat lukisan ini ya, Pak?”
Kuacungkan jempolku.
Dia mengangguk. Lantas menelpon tantenya.
“SAMPERIN yuk, Put!”
“Jangan dulu,” kata Putri setengah berbisik.
Ia menarik tanganku.
Yuda dan Annelis belum mulai berbicara sejak
Annelis memperlihatkan dirinya.
“Tunggu sampai kekakuan di antara mereka cair
dulu,” lanjut Putri.
Aku menurut. Kutunggu hingga saat yang Putri
maksud tiba. Kembali kuberdiri di sebelah Putri.
Tangannya masih memegang tanganku.
CUKUP lama waktu yang digunakan Yuda untuk hanya diam.
Entah apa yang dirasakannya saat mengetahui perempuan yang berdiri di depannya
adalah Annelis. Aku tak bisa membaca gerak tubuhnya. Ambigu.
Annelis kembali melihat lukisan yang
mengabadikan dirinya.
“Aku jadi ingat sketsa yang kamu buat dulu,”
kata Annelis.
Sudah kuduga. Yang akan memulai pembicaraan
lebih dahulu adalah Annelis.
“Kamu minjem buku catetan aku. Begitu
dipulangin, ada gambar perempuan di halaman paling belakang,” lanjut Annelis.
Yuda tersenyum.
“Kamu bilang gambar aku jelek, kan? Dan kamu
marah karena aku nyoret-nyoret buku kamu.”
Akhirnya Yuda bersuara.
Annelis juga tersenyum.
“Ternyata kamu masih suka ngelukis. Lukisan
kamu makin bagus. Aku kelihatan jadi cantik gini di lukisan kamu,” kata Annelis
sambil melirik ke arah Yuda.
Yang dilirik diam.
“Gimana tawaran aku tadi. Boleh aku beli
lukisan ini?”
Annelis menatap Yuda dengan lembut.
“Maaf, Ann. Lukisan itu aku buat bukan untuk
dijual,” kata Yuda lemah.
“Tapi kamu melukis aku tanpa izin, dipamerin
pula di sekolah kayak gini.”
Yuda kikuk. Perkataan Annelis tadi benar
adanya.
“Maaf, Ann. Aku lagi kangen kamu saat ngelukis
itu, makanya aku…”
Yuda kehilangan kata untuk melanjutkan
kalimatnya.
“Makasih ya, Yud!” kata Annelis dalam senyum.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar