SABTU,
aku hendak memulangkan novel tebal yang kupinjam dari Putri. Sengaja aku tak
memberi tahunya bahwa aku akan datang. Biar menjadi semacam surprise walau aku tahu dia tidak akan
terkejut.
Semoga
pacarnya tidak sedang mampir ke rumahnya.
Sengaja,
mesin vespa kumatikan. Perlahan aku mengintip ke balik gerbangnya. Yes!
Pacarnya tidak ada. Hanya ada mobil ayahnya.
Saat
mengantar Putri tempo hari, aku sudah berkenalan dengan ayahnya. Ayahnya orang
tua yang asyik. Dia tahu segala hal yang beberapa hal itu justru aku tak tahu.
Kami mengobrol banyak hal saat itu. Olahraga, politik, musik, bahkan pemikiran
filsafati. Aku tahu dari mana Putri bisa mengetahui pengetahuan apa saja:
setali tiga uang dengan ayahnya.
“Assalamualaikum,”
Ayahnya
yang menjawab salamku. Ia sedang menyirami tanaman di halaman rumahnya. rumah
ini memiliki halaman yang membuatku ingin berguling-guling di sana.
Beliau
tampak senang mengetahui kehadiranku. Ia mempersilakanku masuk.
Aku
sudah pernah masuk ke ruang tamu ini sekali. Saat pertama kali datang, aku tak
bisa menutupi kekagumanku. Keluarga ini sepertinya memiliki sense of art yang luar bisa. Dalam
sebuah etalase, berjejer koleksi keramik yang jika kukira berapa nominal harga
jika diuangkan cukup untuk menyewa kontrakanku sepuluh tahun. Di kiri kanan
etalase itu berdiri gagah ukiran kayu bermotif burung garuda. Di dindingnya,
beberapa lukisan terpampang di sudut-sudut yang tepat. Belum lagi patung
harimau yang sedang mengaum itu. Semuanya diletakkan dengan perhitungan yang
cermat. Jika kau duduk di kursi tamu membelakangi pintu, jejeran keramik itu
membuat iri siapa pun yang melihatnya. Menghadap pintu, si binatang bertaring
yang sedang menganga itu siap menyapa. Menghadap dua sisi sisanya kau akan
disuguhkan dua buah lukisan besar. Keduanya mengabadikan pemandangan alam
dengan bunga sebagai objek utamanya. Di sudut, sebuah piano hitam terlihat
kinclong. Ruang tamu yang luas ini—menurutku—akan membuat betah siapa pun yang
datang.
“Mencari
Putri?” tanyanya saat kami duduk di kursi tamu.
“Iya.
Putri ada kan, pak?”
“Ada.
Dia ada di belakang. Tapi pasti tidak ingin diganggu. Kalau kamu mau coba
ganggu masuk aja. Dia ada di halaman
belakang.”
Ada
perasaan yang entah sepadan disebut apa saat aku, lelaki yang baru dikenalnya,
yang baru bertemu sekali dengannya diizinkan masuk ke rumahnya untuk menemui
putrinya. Memang sih, tampangku tak ada tanda-tanda bahwa aku adalah maling
yang patut dicurigai. Tapi tetap saja. Ah, sudahlah! Aku senang. Meskipun
senang mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan warna hatiku.
Bukankah artinya
ayahnya menerima kehadiranku? Tersenyum aku
membayangkan itu.
Aku
sudah dizinkan untuk menemui Putri di halaman belakang. Tapi, halaman
belakangnya di mana? Gimana kalau aku
salah masuk ke kamar Putri?
Aku
pun lalu menanyakan itu.
“Pasang
saja telingamu baik-baik. Ikuti suara yang kamu dengar,” jawab ayahnya sambil
tersenyum. Kemudian pergi masuk ke luar. Melanjutkan menyiram tanaman.
Meninggalkan aku bersama si taring menganga.
Apa
maksudnya?
Baiklah,
kuturuti saja perintahnya. Kupejamkan mata sambil memfokuskan
telinga. Tipis, sayup kudengar denting piano.
Bukankah piano
ada di pojok sana? Entahlah. Kuikuti saja sumber suara itu.
HALAMAN belakang rumah
itu lebih asri dibanding halaman depan. Rumputnya terpangkas rapi. Ada pohon
mangga yang belum musimnya berbuah merimbun. Ditanam juga beberapa pohon bunga
yang bunganya masih kuncup menunggu mekar. Dari sekian banyak bunga-bunga di
sana—lagi-lagi—aku hanya mengenali si kembang sepatu.
Di
sana Putri berdiri membelakangiku. Tangan kirinya memegang palet, tangan
kanannya menggenggam kuas. Dia sebelahnya ada sebuah meja yang dipenuhi cat dan
beberapa kuas berbagai ukuran yang tersebar berantakan. Suara musik klasik
terdengar dari tape di bawah meja itu.
Kudekati dia
sambil bersejingkat, lalu berdiri di belakangnya. Dari balik bahunya, kulihat
dia sedang melukis bunga. Sama seperti yang kulakukan saat melihat Yuda melukis
Ann tempo hari, aku diam menunggu Putri berhenti menyapu kuas di kanvasnya.
Perkara berdiam diri mungkin tak ada yang lebih mahir daripada aku.
“Melukis?” waktu
yang kutunggu akhirnya datang juga.
Dia kaget,
lantas langsung mencari suara yang tiba-tiba itu. Lebih kaget lagi saat
mengetahui sumber suara itu adalah aku.
“Ngagetin aja
tiba-tiba muncul gitu? Kok kamu bisa ada di sini?” cecar dia.
“Oke, biar aku
luruskan. Pertama, aku enggak tiba-tiba nongol karena aku udah dari tadi di
sini. Kamunya aja yang enggak sadar. Ngelukisnya serius banget sih,” godaku.
“Aku teriakin
maling, nih!” ancamnya menjawab godaku. Dia memanggil ayahnya.
Aku tertawa.
“Aku udah
dizinin ayah kamu buat masuk kok. Dia sendiri yang ngasih tau kalau kamu ada di
sini,” ucapku sambil tersenyum menang.
“Kenapa sih dua
orang ini rame banget?” ayahnya tiba-tiba muncul di pintu.
“Ini, Yah. Ada
maling!” seru Putri.
Ayahnya tersenyum,
kemudian masuk lagi.
“INDAH banget. Bunga apa itu?” tanyaku sambil
melihat lukisannya yang hampir selesai.
“Kamu enggak
tahu?” Putri membalas pertanyaanku dengan pertanyaan juga .
Kujawab dengan
gelengan.
“Ini anggrek
bulan,” katanya sambil kembali menyapu kuasnya. Aku tak tahu harus berkata apa.
Nama anggrek aku pernah dengar, saat pelajaran IPA membahas simbiosis
komensalisme. Tapi anggrek bulan? Hhmmm… Puspa pesona? Hhmmm….
Akhirnya
kutanyakan itu padanya.
“Kamu enggak tahu?” Putri mengulang kalimat
itu lagi. Membuatku tak hanya bingung harus berbuat apa, tapi juga tersenyum
hambar.
“Aku harus
banyak belajar,” kataku dalam hati sambil menggeleng menjawab pertanyaan Putri.
“Ada tiga bunga
yang ditetapkan pemerintah Soeharto dulu sebagai Bunga Nasional Indonesia,”
kata Putri sambil terus melukis, “pertama melati putih, puspa bangsa. Kamu tahu
melati putih?”
Aku mengangguk.
“Melati itu bunga yang dipakai di kepala pengantin wanita pernikahan Betawi,
kan?”
Putri tersenyum.
Entah itu karena senang aku tahu atau mengejek karena aku cuma tahu sebatas
itu.
“Lalu ada Rafflesia Arnoldi. Pernah dengar nama
itu, dong?” lanjut Putri.
Mengangguk lagi.
Mantap.
“Besar. Warnanya
merah. Bau. Bunga bangkai, kan?”
“Rafflesia Arnoldi tidak sama dengan
bunga bangkai loh,” timpal Putri yang membuatku kembali diam. Baru saja mantap
menjawab, ternyata salah.
“Rafflesia Arnoldi bau, kan?” aku mencoba
membuat pembelaan.
“Emangnya yang kamu
maksud bunga bangkai itu apa?” Putri bertanya sambil memperhatikanku, tatapan
yang mengaktifkan mode salah tingkahku.
“Rafflesia Arnoldi,” jawabku. Percaya
diriku entah kemana menjawab pertanyaan itu.
Putri tersenyum.
Lagi.
“Yang
orang-orang sebut sebagai bunga bangkai itu beda. Namanya Amorphpophallus
titanium,” kata Putri, “bukan Rafflesia Arnoldi.”
Aku siap
mendengarkan lanjutannya.
“Dari
bentuknya aja mereka udah beda. Rafflesia melebar, kalau bunga bangkai
tumbuhnya ke atas.”
Ah! Aku
ingat bunga itu!
“Mahkota bunga bangkai warnanya ungu. Bentuknya mirip terompet,” lanjut
Putri.
Anggukanku hendak mengatakan padanya aku paham. Kuakui aku tak tahu
apa-apa tentang bunga.
“Kalau aku enggak salah, bunga bangkai itu adalah tumbuhan dengan bunga
majemuk terbesar di dunia.”
“Bunga majemuk?” tanya Yudha dalah hati. Aku pura-pura tahu saja.
“Tingginya bisa sampai tiga meter loh,” kata Putri.
“Tiga meter?”
Putri mengangguk.
“Tingginya bisa hampir dua kali kamu dong,” ucapku sambil terkekeh.
“Nyindir ya? Iya aku emang pendek,” Putri menaikkan bibir bawahnya,
membuat kekehanku berubah jadi senyum terpesona. Putri mengambil sesuatu dari
meja kecil di dekatnya. Hendak dia lemparkan benda itu ke arahku, tapi urung. Kutahu,
baginya cat terlalu berharga untuk
dilempar begitu saja. Cat adalah nyawanya. Dipegangnya palet, tapi batal juga
dilemparkannya. Dia telah memadupadankan warna di sana. Membuang pekerjaan yang
telah dilakukan adalah hal yang sia-sia. Lagipula di palet itu juga ada cat,
nyawa lukisannya.
Aku meledeknya. Tidak ada benda yang tidak berhubungan dengan lukis di
sekitarnya. Menyadari hal itu, aku semakin semangat mengejek Putri. Dia masih
mencari sesuatu untuk menyambitku hingga matanya tertuju pada seonggok batu di
bawah pohon mangga. Lebih gesit, aku mendahuluinya mengambil batu itu. Kami
berlomba mengambil batu itu dengan dua motif yang berbeda: yang satu untuk
menyambit, yang satu agar tidak disambit.
Tarung adu gesit itu tentu tidak seimbang. Dengan tanpa perlawanan aku
berhasil mencapainya terlebih dahulu. Kuejek Putri lagi. Yang diejek semakin
kesal. Dia ingin merebut batu itu dari tanganku. Terjadilah duel ronde kedua.
Putri berusaha merebut batu itu. Kusembunyikannya di balik badannya. Putri
tetap mencoba merebut. Tangan kirinya mengunci pergelangan tangan kananku.
Pergelangan tangan kiriku dikunci tangan kanannya. Kami berhadapan. Batu yang
diperebutkan masih nyaman di genggaman.
Wajahnya tepat berada di depan wajahku.
Hembus napasnya terasa hangat.
Kami bertatapan. Dalam. Sangat dalam.
Aku terbuai mata batari. Peluhku membanjir. Jantung serasa berlari.
Batu itu lepas dari genggaman.
ANGGREK bulan, Phalaenopsis
amabilis, si cantik berkelopak putih. Tumbuhan epifit ini
memang layak menyandang julukan puspa pesona. Bunga penuh daya tarik. Bunga
yang benar-benar memesona.
Aku memang belum pernah melihat bunga itu secara langsung. Hanya dengan
melihat gambar di kanvas Putri, aku jatuh cinta pada objek lukisan itu. Putri
menggambarnya dengan sempurna. Saat melihat lukisan itu, aku seperti berada di
sebuah hutan berangin semilir. Di sebuah pohon, sang puspa pesona menempel,
bergoyangan menyeiramakan diri dengan hembus angin. Kelopaknya yang putih
laksana kepak kupu-kupu putih yang menggemaskan.
Aku terpesona puspa pesona.
“Aku suka warna putih,” kata Putri menyadarkan lamunanku.
“Lihatlah anggrek ini,” sambung Putri.
Aku justru melihat wajahnya. Lebih indah dari anggrek, menurutku.
“Meskipun mungkin putih tidak bisa disebut warna, tapi aku suka warna
putih,” katanya, “Putih adalah awal, warna awal. Seperti kanvas ini yang
awalnya hanya berwarna putih. Lihatlah, dari sesuatu yang kosong, aku bisa
memberi warna apapun yang aku suka. Hasil akhirnya akan jadi bagus jika kita
benar menggoresnya. Sebaliknya, akan sangat kacau hasilnya jika kita salah
menyapu warna.”
“Tabula rasa?” tanyaku.
“Kamu paham filsafat?” Putri balik bertanya.
Aku kena lagi! Jawabannya sudah pasti tidak. Aku hanya pernah dengar
nama teori itu. Tahu, tapi tidak paham.
“Yah,” lanjut Putri, “kita terlahir seperti selembar kertas
putih. Ingin jadi seperti apa kita, gambarlah di atas kertas putih itu. Ingin
diwarnai apa, warnailah sesukamu. Putih adalah warna mula.”
“Yang aku tahu,
putih itu suci,” timpalku, asal.
“Dan merah
berani, aku juga tahu.” kali ini Putri.
Kami tertawa.
“AKU enggak tahu kamu
jago ngelukis.”
Matahari
menepi. Semburat lembayung menyapa kami di ufuk barat. Putri telah selesai
dengan anggrek bulannya. Kubantu dia merapikan alat lukisnya.
“Enggak
jago-jago amat, kok. Biasa aja.”
Pandai
sekali dia merendah. Apa yang dilukisnya itu tidak beda jauh kualitasnya
dibanding kualitas Yuda, mungkin lebih baik. Entahlah, terlalu subjektif jika
aku menilai mana di antara keduanya yang memiliki kemampuan lebih dengan hasil
karya yang lebih baik. Tentu aku memilih Putri.
Sambil
menenteng lukisan baru dan easel, hati-hati kuikuti Putri masuk ke rumahnya. Ia
menggiringku ke sebuah ruangan yang kukira kamarnya. Ternyata bukan. Kamar
bunga, begitu dia menamainya. Sebuah kamar yang cukup luas—empat kali kamarku
kurasa. Semacam galeri tempat dia menyimpan lukisan-lukisannya.
Sayang
sekali lukisan-lukisan ini hanya dia yang menikmati.
“Banyak
juga lukisan kamu,” ucapku sambil menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
Kutelusuri semua lukisannya. Satu persatu. Pantas dia menamakan ruangan ini
kamar bunga. Semua lukisan di sini mengabadikan bunga ke dalam kanvasnya.
Dari
sekian lukisannya, aku tertarik pada sebuah lukisan berlatar pegunungan yang
disapu cahaya matahari pagi. Di sana bunga putih kekuningan merimbun tertiup
angin. Aku serasa ditempa hangat matahari pagi sekaligus udara dingin
pengunungan berembun.
Anaphalis
Javanica, judul yang Putri berikan pada
lukisan itu.
“Tahu
ini bunga apa?” tanya Putri.
“Bunga
Anaphalis Javanica,” jawabku sambil
terkekeh. Aku tak tahu itu bunga apa.
“Edelweiss.
Bunga keabadian,” gumamnya.
Edelweiss!
Aku kenal nama itu. Aku ingat, saat SMA dulu
di pelajaran seni musik kami pernah diajarkan sebuah lagu. Judulnya adalah nama
yang Putri sebut tadi.
Aku masih hapal liriknya:
Edelweiss,
edelweiss
Every
morning you greet me
Small
and white, clean and bright
You
look happy to meet me
Blossom
of snow may you bloom and grow
Bloom
and grow forever
Edelweiss,
edelweiss
Bless
my homeland forever
“Kamu
tahu lagunya?” tanyanya berseri.
Jawabanku hanya tawa terkekeh.
Maaf, Putri. Aku hanya tahu lagunya. Itu pun karena itu adalah lagu wajib yang ditetapkan guruku untuk pengambilan nilai menyanyi. Aku tidak tahu bunganya seperti apa. Jadi bunga yang kamu lukis itu edelweiss?
“Orang-orang
menyebutnya bunga keabadian. Padahal artikel-artikel di internet menyebut
edelweiss jawa terancam punah. Bunga abadi terancam punah, aneh ya?”
“Jujur, aku tidak tahu edelweiss. Ini bunga
edelweiss?”
Putri
menatapku tajam. Mata itu mengeluarkan suara. Terbaca: “Tadi kamu nyanyi apa?”
Kukatakan
padanya tulisan yang kutulis miring di atas.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar