Translate

Jumat, 12 Juli 2013

KARENA AKU: XII

SABTU, aku hendak memulangkan novel tebal yang kupinjam dari Putri. Sengaja aku tak memberi tahunya bahwa aku akan datang. Biar menjadi semacam surprise walau aku tahu dia tidak akan terkejut.
          Semoga pacarnya tidak sedang mampir ke rumahnya.
          Sengaja, mesin vespa kumatikan. Perlahan aku mengintip ke balik gerbangnya. Yes! Pacarnya tidak ada. Hanya ada mobil ayahnya.
          Saat mengantar Putri tempo hari, aku sudah berkenalan dengan ayahnya. Ayahnya orang tua yang asyik. Dia tahu segala hal yang beberapa hal itu justru aku tak tahu. Kami mengobrol banyak hal saat itu. Olahraga, politik, musik, bahkan pemikiran filsafati. Aku tahu dari mana Putri bisa mengetahui pengetahuan apa saja: setali tiga uang dengan ayahnya.
          Assalamualaikum,
          Ayahnya yang menjawab salamku. Ia sedang menyirami tanaman di halaman rumahnya. rumah ini memiliki halaman yang membuatku ingin berguling-guling di sana.
          Beliau tampak senang mengetahui kehadiranku. Ia mempersilakanku masuk.
          Aku sudah pernah masuk ke ruang tamu ini sekali. Saat pertama kali datang, aku tak bisa menutupi kekagumanku. Keluarga ini sepertinya memiliki sense of art yang luar bisa. Dalam sebuah etalase, berjejer koleksi keramik yang jika kukira berapa nominal harga jika diuangkan cukup untuk menyewa kontrakanku sepuluh tahun. Di kiri kanan etalase itu berdiri gagah ukiran kayu bermotif burung garuda. Di dindingnya, beberapa lukisan terpampang di sudut-sudut yang tepat. Belum lagi patung harimau yang sedang mengaum itu. Semuanya diletakkan dengan perhitungan yang cermat. Jika kau duduk di kursi tamu membelakangi pintu, jejeran keramik itu membuat iri siapa pun yang melihatnya. Menghadap pintu, si binatang bertaring yang sedang menganga itu siap menyapa. Menghadap dua sisi sisanya kau akan disuguhkan dua buah lukisan besar. Keduanya mengabadikan pemandangan alam dengan bunga sebagai objek utamanya. Di sudut, sebuah piano hitam terlihat kinclong. Ruang tamu yang luas ini—menurutku—akan membuat betah siapa pun yang datang.
          “Mencari Putri?” tanyanya saat kami duduk di kursi tamu.
          “Iya. Putri ada kan, pak?”
          “Ada. Dia ada di belakang. Tapi pasti tidak ingin diganggu. Kalau kamu mau coba ganggu masuk aja. Dia ada di halaman belakang.”
          Ada perasaan yang entah sepadan disebut apa saat aku, lelaki yang baru dikenalnya, yang baru bertemu sekali dengannya diizinkan masuk ke rumahnya untuk menemui putrinya. Memang sih, tampangku tak ada tanda-tanda bahwa aku adalah maling yang patut dicurigai. Tapi tetap saja. Ah, sudahlah! Aku senang. Meskipun senang mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan warna hatiku.
          Bukankah artinya ayahnya menerima kehadiranku? Tersenyum aku membayangkan itu.
Aku sudah dizinkan untuk menemui Putri di halaman belakang. Tapi, halaman belakangnya di mana? Gimana kalau aku salah masuk ke kamar Putri?
          Aku pun lalu menanyakan itu.
          “Pasang saja telingamu baik-baik. Ikuti suara yang kamu dengar,” jawab ayahnya sambil tersenyum. Kemudian pergi masuk ke luar. Melanjutkan menyiram tanaman. Meninggalkan aku bersama si taring menganga.
          Apa maksudnya?
          Baiklah, kuturuti saja perintahnya. Kupejamkan mata sambil memfokuskan telinga. Tipis, sayup kudengar denting piano.
          Bukankah piano ada di pojok sana? Entahlah. Kuikuti saja sumber suara itu.

HALAMAN belakang rumah itu lebih asri dibanding halaman depan. Rumputnya terpangkas rapi. Ada pohon mangga yang belum musimnya berbuah merimbun. Ditanam juga beberapa pohon bunga yang bunganya masih kuncup menunggu mekar. Dari sekian banyak bunga-bunga di sana—lagi-lagi—aku hanya mengenali si kembang sepatu.
          Di sana Putri berdiri membelakangiku. Tangan kirinya memegang palet, tangan kanannya menggenggam kuas. Dia sebelahnya ada sebuah meja yang dipenuhi cat dan beberapa kuas berbagai ukuran yang tersebar berantakan. Suara musik klasik terdengar dari tape di bawah meja itu.
          Kudekati dia sambil bersejingkat, lalu berdiri di belakangnya. Dari balik bahunya, kulihat dia sedang melukis bunga. Sama seperti yang kulakukan saat melihat Yuda melukis Ann tempo hari, aku diam menunggu Putri berhenti menyapu kuas di kanvasnya. Perkara berdiam diri mungkin tak ada yang lebih mahir daripada aku.
          “Melukis?” waktu yang kutunggu akhirnya datang juga.
          Dia kaget, lantas langsung mencari suara yang tiba-tiba itu. Lebih kaget lagi saat mengetahui sumber suara itu adalah aku.
          “Ngagetin aja tiba-tiba muncul gitu? Kok kamu bisa ada di sini?” cecar dia.
          “Oke, biar aku luruskan. Pertama, aku enggak tiba-tiba nongol karena aku udah dari tadi di sini. Kamunya aja yang enggak sadar. Ngelukisnya serius banget sih,” godaku.
          “Aku teriakin maling, nih!” ancamnya menjawab godaku. Dia memanggil ayahnya.
          Aku tertawa.
          “Aku udah dizinin ayah kamu buat masuk kok. Dia sendiri yang ngasih tau kalau kamu ada di sini,” ucapku sambil tersenyum menang.
          “Kenapa sih dua orang ini rame banget?” ayahnya tiba-tiba muncul di pintu.
          “Ini, Yah. Ada maling!” seru Putri.
          Ayahnya tersenyum, kemudian masuk lagi.

“INDAH banget. Bunga apa itu?” tanyaku sambil melihat lukisannya yang hampir selesai.
          “Kamu enggak tahu?” Putri membalas pertanyaanku dengan pertanyaan juga          .
          Kujawab dengan gelengan.
          “Ini anggrek bulan,” katanya sambil kembali menyapu kuasnya. Aku tak tahu harus berkata apa. Nama anggrek aku pernah dengar, saat pelajaran IPA membahas simbiosis komensalisme. Tapi anggrek bulan? Hhmmm… Puspa pesona? Hhmmm….
          Akhirnya kutanyakan itu padanya.
          “Kamu enggak tahu?” Putri mengulang kalimat itu lagi. Membuatku tak hanya bingung harus berbuat apa, tapi juga tersenyum hambar.
          “Aku harus banyak belajar,” kataku dalam hati sambil menggeleng menjawab pertanyaan Putri.
          “Ada tiga bunga yang ditetapkan pemerintah Soeharto dulu sebagai Bunga Nasional Indonesia,” kata Putri sambil terus melukis, “pertama melati putih, puspa bangsa. Kamu tahu melati putih?”
          Aku mengangguk. “Melati itu bunga yang dipakai di kepala pengantin wanita pernikahan Betawi, kan?”
          Putri tersenyum. Entah itu karena senang aku tahu atau mengejek karena aku cuma tahu sebatas itu.
          “Lalu ada Rafflesia Arnoldi. Pernah dengar nama itu, dong?” lanjut Putri.
          Mengangguk lagi. Mantap.
          “Besar. Warnanya merah. Bau. Bunga bangkai, kan?”
          Rafflesia Arnoldi tidak sama dengan bunga bangkai loh,” timpal Putri yang membuatku kembali diam. Baru saja mantap menjawab, ternyata salah.
          Rafflesia Arnoldi bau, kan?” aku mencoba membuat pembelaan.
          “Emangnya yang kamu maksud bunga bangkai itu apa?” Putri bertanya sambil memperhatikanku, tatapan yang mengaktifkan mode salah tingkahku.
          Rafflesia Arnoldi,” jawabku. Percaya diriku entah kemana menjawab pertanyaan itu.
Putri tersenyum. Lagi.
          “Yang orang-orang sebut sebagai bunga bangkai itu beda. Namanya Amorphpophallus titanium,”  kata Putri, “bukan Rafflesia Arnoldi.”
          Aku siap mendengarkan lanjutannya.
          “Dari bentuknya aja mereka udah beda. Rafflesia melebar, kalau bunga bangkai tumbuhnya ke atas.”
          Ah! Aku ingat bunga itu!
          “Mahkota bunga bangkai warnanya ungu. Bentuknya mirip terompet,” lanjut Putri.
          Anggukanku hendak mengatakan padanya aku paham. Kuakui aku tak tahu apa-apa tentang bunga.
          “Kalau aku enggak salah, bunga bangkai itu adalah tumbuhan dengan bunga majemuk terbesar di dunia.”
          “Bunga majemuk?” tanya Yudha dalah hati. Aku pura-pura tahu saja.
          “Tingginya bisa sampai tiga meter loh,” kata Putri.
          “Tiga meter?”
          Putri mengangguk.
          “Tingginya bisa hampir dua kali kamu dong,” ucapku sambil terkekeh.
          “Nyindir ya? Iya aku emang pendek,” Putri menaikkan bibir bawahnya, membuat kekehanku berubah jadi senyum terpesona. Putri mengambil sesuatu dari meja kecil di dekatnya. Hendak dia lemparkan benda itu ke arahku, tapi urung. Kutahu, baginya  cat terlalu berharga untuk dilempar begitu saja. Cat adalah nyawanya. Dipegangnya palet, tapi batal juga dilemparkannya. Dia telah memadupadankan warna di sana. Membuang pekerjaan yang telah dilakukan adalah hal yang sia-sia. Lagipula di palet itu juga ada cat, nyawa lukisannya.
          Aku meledeknya. Tidak ada benda yang tidak berhubungan dengan lukis di sekitarnya. Menyadari hal itu, aku semakin semangat mengejek Putri. Dia masih mencari sesuatu untuk menyambitku hingga matanya tertuju pada seonggok batu di bawah pohon mangga. Lebih gesit, aku mendahuluinya mengambil batu itu. Kami berlomba mengambil batu itu dengan dua motif yang berbeda: yang satu untuk menyambit, yang satu agar tidak disambit.
          Tarung adu gesit itu tentu tidak seimbang. Dengan tanpa perlawanan aku berhasil mencapainya terlebih dahulu. Kuejek Putri lagi. Yang diejek semakin kesal. Dia ingin merebut batu itu dari tanganku. Terjadilah duel ronde kedua. Putri berusaha merebut batu itu. Kusembunyikannya di balik badannya. Putri tetap mencoba merebut. Tangan kirinya mengunci pergelangan tangan kananku. Pergelangan tangan kiriku dikunci tangan kanannya. Kami berhadapan. Batu yang diperebutkan masih nyaman di genggaman.
          Wajahnya tepat berada di depan wajahku.
          Hembus napasnya terasa hangat.
          Kami bertatapan. Dalam. Sangat dalam.
          Aku terbuai mata batari. Peluhku membanjir. Jantung serasa berlari.
          Batu itu lepas dari genggaman.

ANGGREK bulan, Phalaenopsis amabilis, si cantik berkelopak putih. Tumbuhan epifit ini memang layak menyandang julukan puspa pesona. Bunga penuh daya tarik. Bunga yang benar-benar memesona.
          Aku memang belum pernah melihat bunga itu secara langsung. Hanya dengan melihat gambar di kanvas Putri, aku jatuh cinta pada objek lukisan itu. Putri menggambarnya dengan sempurna. Saat melihat lukisan itu, aku seperti berada di sebuah hutan berangin semilir. Di sebuah pohon, sang puspa pesona menempel, bergoyangan menyeiramakan diri dengan hembus angin. Kelopaknya yang putih laksana kepak kupu-kupu putih yang menggemaskan.
          Aku terpesona puspa pesona.
          “Aku suka warna putih,” kata Putri menyadarkan lamunanku.
          “Lihatlah anggrek ini,” sambung Putri.
          Aku justru melihat wajahnya. Lebih indah dari anggrek, menurutku.
          “Meskipun mungkin putih tidak bisa disebut warna, tapi aku suka warna putih,” katanya, “Putih adalah awal, warna awal. Seperti kanvas ini yang awalnya hanya berwarna putih. Lihatlah, dari sesuatu yang kosong, aku bisa memberi warna apapun yang aku suka. Hasil akhirnya akan jadi bagus jika kita benar menggoresnya. Sebaliknya, akan sangat kacau hasilnya jika kita salah menyapu warna.”
          “Tabula rasa?” tanyaku.
          “Kamu paham filsafat?” Putri balik bertanya.
          Aku kena lagi! Jawabannya sudah pasti tidak. Aku hanya pernah dengar nama teori itu. Tahu, tapi tidak paham.
          “Yah,” lanjut Putri, “kita terlahir seperti selembar kertas putih. Ingin jadi seperti apa kita, gambarlah di atas kertas putih itu. Ingin diwarnai apa, warnailah sesukamu. Putih adalah warna mula.”
          “Yang aku tahu, putih itu suci,” timpalku, asal.
          “Dan merah berani, aku juga tahu.” kali ini Putri.
          Kami tertawa.

“AKU enggak tahu kamu jago ngelukis.”
          Matahari menepi. Semburat lembayung menyapa kami di ufuk barat. Putri telah selesai dengan anggrek bulannya. Kubantu dia merapikan alat lukisnya.
          “Enggak jago-jago amat, kok. Biasa aja.”
          Pandai sekali dia merendah. Apa yang dilukisnya itu tidak beda jauh kualitasnya dibanding kualitas Yuda, mungkin lebih baik. Entahlah, terlalu subjektif jika aku menilai mana di antara keduanya yang memiliki kemampuan lebih dengan hasil karya yang lebih baik. Tentu aku memilih Putri.
          Sambil menenteng lukisan baru dan easel, hati-hati kuikuti Putri masuk ke rumahnya. Ia menggiringku ke sebuah ruangan yang kukira kamarnya. Ternyata bukan. Kamar bunga, begitu dia menamainya. Sebuah kamar yang cukup luas—empat kali kamarku kurasa. Semacam galeri tempat dia menyimpan lukisan-lukisannya.
          Sayang sekali lukisan-lukisan ini hanya dia yang menikmati.
          “Banyak juga lukisan kamu,” ucapku sambil menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
          Kutelusuri semua lukisannya. Satu persatu. Pantas dia menamakan ruangan ini kamar bunga. Semua lukisan di sini mengabadikan bunga ke dalam kanvasnya.
          Dari sekian lukisannya, aku tertarik pada sebuah lukisan berlatar pegunungan yang disapu cahaya matahari pagi. Di sana bunga putih kekuningan merimbun tertiup angin. Aku serasa ditempa hangat matahari pagi sekaligus udara dingin pengunungan berembun.
          Anaphalis Javanica, judul yang Putri berikan pada lukisan itu.
          “Tahu ini bunga apa?” tanya Putri.
          “Bunga Anaphalis Javanica,” jawabku sambil terkekeh. Aku tak tahu itu bunga apa.
          “Edelweiss. Bunga keabadian,” gumamnya.
          Edelweiss! Aku kenal nama itu. Aku ingat, saat SMA dulu di pelajaran seni musik kami pernah diajarkan sebuah lagu. Judulnya adalah nama yang Putri sebut tadi.
          Aku masih hapal liriknya:

Edelweiss, edelweiss
Every morning you greet me
Small and white, clean and bright
You look happy to meet me
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever
Edelweiss, edelweiss
Bless my homeland forever

          “Kamu tahu lagunya?” tanyanya berseri.  Jawabanku hanya tawa terkekeh.
Maaf, Putri. Aku hanya tahu lagunya. Itu pun karena itu adalah lagu wajib yang ditetapkan guruku untuk pengambilan nilai menyanyi. Aku tidak tahu bunganya seperti apa. Jadi bunga yang kamu lukis itu edelweiss?
          “Orang-orang menyebutnya bunga keabadian. Padahal artikel-artikel di internet menyebut edelweiss jawa terancam punah. Bunga abadi terancam punah, aneh ya?”
          “Jujur, aku tidak tahu edelweiss. Ini bunga edelweiss?”
          Putri menatapku tajam. Mata itu mengeluarkan suara. Terbaca: “Tadi kamu nyanyi apa?”
          Kukatakan padanya tulisan yang kutulis miring di atas.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar