Translate

Rabu, 03 Juli 2013

KARENA AKU: X


MASIH terasa dingin malam hujan yang membuai saat azan subuh berkumandang. Kusingkap selimut dan bangun. Melawan gigil saat air mengenai tubuh.
          Aku butuh menghadap Tuhan.

          “KAMU udah tahu agenda sekolah bulan ini, belum?”
          Aku sedang asyik berselancar di dunia maya saat Paman datang dan menanyakan hal itu.
          “Agenda apa, Paman?” tanyaku.
          Aku tidak tahu.
          “Bulan ini ada perayaan ulang tahun sekolah. Sekolah akan ngadain pensi,” jelas Paman singkat.
          “Oh itu. Kemarin aku denger ada murid yang ngomongin itu.”
          “Iya. Untuk kepanitiaannya OSIS dan pembinanya yang ngurus. Tapi biasanya guru-guru muda macam kamu juga ikut turun tangan. Tadi saya ketemu Pak Rahmat, dia nanya kamu mau nggak ikut ngebantu kepanitiaan acara pensi. Karena yakin kamu pasti mau, saya bilang aja iya. Nanti sore sepulang sekolah OSIS ada rapat. Kamu datang, ya!”
          Paman langsung pergi. Murid-muridnya telah menunggu di lapangan.
          Seenaknya saja Paman melibatkan aku tanpa persetujuanku. Tapi tak apa lah, pasti menyenangkan terlibat dalam sebuah acara kesenian seperti itu. Pentas seni, tempat di mana pelajaran eksakta merasa minder dan pergi entah ke mana. Berganti seni, yang sehari-harinya kecil di tengah kurikulum. 
          Pentas seni adalah hari di mana bakat seni siswa tumpah ruah menuntut apresiasi.
          Aku pernah naik panggung saat pentas seni dulu. Sebuah kenangan—dan kebanggaan—yang tetap melekat hingga kini.
          “Hei!”
          Aku sedang mengingat-ingat saat-saat pentas seni SMA-ku dulu saat sapaan itu terdengar di telingaku. Nadanya kurang bersahabat. Seandainya itu diucapkan oleh murid tentu akan kunasihati habis bocah itu.
          Ternyata Robi. Si Guru Serba Hitam itu berdiri di depan mejaku.
          “Kau bawa ke mana Sinta kemarin?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
          “Kenapa?” tanyaku memastikan pertanyaannya.
          “Kutelepon ke rumahnya Sinta tak langsung pulang. Kemarin kulihat kau membonceng dia pulang sekolah. Kau bawa ke mana dulu dia, hah?” tanyanya ketus.
          Aku tak suka caranya bertanya.
          “Ke rumahku,” jawabku santai.
          “Apa?” ia tampak terkejut menanggapi jawabanku. Beberapa guru menatap ke arah kami.
          “Dia ikut ke rumah saya,” kuulangi jawaban.
          “Dia ke rumah kau?”
          “Di… a… i… kut… ke… ru… mah… sa… ya….” kueja jawabanku agar ia paham.
          “Ngapain kau ajak di ke rumahmu, ha? Dasar guru mesum!”
          Semua guru memandang ke arah kami. Aku tersenyum ke arah mereka.
          “Dia ikut Pak, bukan saya ajak. Dia mau minjem buku saya. Emangnya ada apa ya, Pak?” tanyaku lembut padanya. Dia tidak menjawab, langsung ngeloyor pergi.
          “Ada apa sih, Pak?” Madam Eli yang duduk tak begitu jauh dari mejaku bertanya padaku.
          Kujelaskan padanya apa yang terjadi. Beberapa guru datang ikut mendengarkan.

GIMANA, udah nemu personil yang kurangnya?”
          Aku mengajar di kelas para lelaki yang sedang mencari personil untuk mengisi acara pentas seni yang kutemui di kantin tempo hari. Pertanyaan itu kuutarakan selepas jam pelajaran selesai. Melihat mereka tetap di kelas saat bel istirahat telah bergemuruh membuatku menanyakan hal itu.
          Aku bergabung lagi bersama mereka.
          “Belum nih, Pak. Batas pendaftaran pengisi acara tinggal besok lagi. Kayaknya kami batal ikut deh,” kata salah satu dari mereka.
          “Kenapa? Sayang banget kalian gak ikut. Ini kan acara setahun sekali.”
          “Iya sih, Pak. Tapi mau gimana lagi. Kami maunya tampil full band, tapi enggak ada drummer-nya. Bisa aja sih kami akustikan, tapi kami maunya full band, Pak.”
          “Yaudah, ayo kita daftar. Saya jadi drummer kalian,” usulku.
          Mereka tertawa.
          “Bapak yang jadi drummer? Bisa, Pak?”
          Mereka meremehkan aku.
          “Emangnya kalian mau mainin lagu apa sih?” tanyaku.
          “Kami berempat kebetulan suka band Jepang, pak. Terutama Laruku,” jawab mereka.
          Kukeluarkan handphoneku. Kubuka menu musik. Kuputar lagu di sana.
          Daybreak’s Bell.

BEL yang ditunggu hampir seluruh siswa telah terdengar. Mereka pun bergegas merapikan buku dan semua alat tulisnya. Cepat, lebih gesit dibanding saat menyiapkan buku dan alat tulis itu saat akan memulai pembelajaran.
          “Bersiap! Memberi salam!”
          “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
          “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
          Mereka pun bergantian menyalamiku dan meninggalkan kelas. Aku pun keluar.
          Di koridor, kulihat Putri baru keluar kelas juga. Kupanggil namanya.
          Kami pun berjalan bersama menuju ruang guru.
          “Tadi katanya ada masalah sama Pak Robi?” tanya dia sambil berjalan menuruni tangga. Kelas kami ada di lantai tiga.
          “Iya, gak tau tuh tiba-tiba dia dateng terus kayak marah-marah gitu. Salah paham kayaknya.”
          “Pasti gara-gara murid kelas XI IPS 1 ya?”
          “Wah, kamu tahu? Gosipnya cepet juga ya,” kataku.
          “Gosip apa? Gosip-gosip anak itu deket sama Robi udah sejak anak itu kelas satu. Udah lama,” Putri tampak memperhatikan sekeliling. Ia pun lalu melanjutkan bercerita.
          “Dari sepengamatan aku, kayaknya si Robi naksir sama murid itu. Deketnya dia sama anak itu agak janggal,” kata Putri hati-hati.
          Aku tidak paham apa yang dimaksudnya dengan kedekatan yang janggal itu. Jadi kutanyakan hal itu padanya.
          “Ya janggal aja,” lanjut Putri, “dilihat dari seringnya mereka berdua: di perpustakaan berdua, di ruang guru berdua, pulang sekolah berdua. Yah, kayak ABG-ABG yang lagi pacaran gitu deh.”
          Kami sudah sampai di ruang guru.
          “Emangnya mereka?” tanyaku disertai  isyarat tangan saling berkait.
          Putri menggeleng. Aku tidak tahu apa maksudnya. Hendak kutanyakan tapi nanti saja. Objek yang sedang dibicarakan ada di lokasi.

RUANG aula telah ditata menjadi tempat untuk rapat. Di meja panjang di depan telah duduk Pak Rahmat dan ketua OSIS yang juga menjadi ketua panitia pentas seni. Beberapa siswa anggota OSIS telah hadir termasuk Sinta. Ia tersenyum melihat kedatanganku. Demikan juga dengan Pak Rahmat. Kehadiranku berarti akan membantunya juga, kan?
          Putri juga terlibat dalam rapat itu. Kami memilih duduk di kursi tengah.
          “Maksud kamu ngegeleng tadi apa, Put? Kamu enggak tahu apa jawabannya enggak?” bisikku pada Putri.
          “Enggak. Mungkin orang itu nganggepnya iya, tapi anaknya biasa-biasa aja,” jawab Putri dengan bisikkan juga.
          “Oh, bertepuk sebelah tangan?” lanjut bisik-bisik.
          “Iyah,” jawab Putri tanpa suara. Seluruh anggota OSIS telah berkumpul, juga beberapa  guru.

RAPAT berjalan sangat lancar. Tidak ada banyak interupsi dan pertanyaan maupun kritik yang diutarakan peserta karena acara ini memang acara yang ruin diselenggarakan tiap tahun. Beberapa tetek bengek semisal tema acara memang sempat menjadi kendala karena begitu banyak yang mengajukan usul, tapi Pak Rahmat menjalankan peran yang luar biasa dalam menyatukan perbedaan itu. Selain itu, saran bahwa jangan hanya seni musik dengan band berbagai aliran yang ditampilkan dalam acara itu ditanggapi serius oleh ketua OSIS.           Ia setuju.
          Klub teater di mana aku ditunjuk dadakan sebagai pembinanya secara aklamasi ditetapkan juga sebagai peserta. Aku menyetujuinya karena mustahil menolaknya.
          “Bagaimana kalau kita adakan juga semacam pameran kesenian, Pak. Kelas bapak kan pasti menghasilkan karya-karya tuh, nah kita pamerin aja pak. Atau kita buat aja lomba kesenian seperti melukis. Nanti pengumuman pemenangnya disampaikan pas hari-H pentas seni,” saran Putri saat kesempatan usul dan saran dibuka oleh Pak Rahmat.
          Pak Rahmat tampak seperti mempertimbangkan usul itu.
          “Tapi kalo begitu, berarti akan ada kepanitiaan lain dong, bu?” ketua OSIS yang sejak tadi duduk diam di sebelah Pak Rahmat membuka pertanyaan untuk didiskusikan kembali.
          Putri diam. Ia tampaknya setuju dengan pernyataan si ketua OSIS itu.
          “Untuk kepanitiaan mungkin tidak perlu ada kepanitiaan khusus, kecuali jika kita ingin memberikan hadian bagi pemenangnya. Menurut kamu apakah perlu ada hadiah besar untuk pemenangnya?” Pak Rahmat menujukan pertanyaan itu pada Putri.
          “Enggak perlu juga enggak apa-apa, pak,” jawab Putri.
          “Masalahnya, kalo misalnya tidak ada hadiah, apakah pesertanya akan rela ikut?” Robi tiba-tiba ikut nimbrung.
          “Menurut saya,” Annisa, guru matematika merangkap Fisika mencoba menjawab pertanyaan Robi,”semua siswa pasti senang iktu lomba ini. Kita kasih aja hadiah sertifikat. Sertifikat enggak terlalu mahal, kan?”
          Putri, Pak Rahmat, Ketua OSIS, dan aku mengangguk. Beberapa anggota OSIS yang lain juga.
Robi tidak.
          “Kalau saya jadi murid, saya tidak akan ikut acara seperti itu. Untuk apa ikut lomba kalau tidak ada hadiahnya!” kata Robi yang membuat seluruh manusia—bahkan mungkin jin dan seluruh makhluk halus seandainya ada—di ruangan aula tercengang dan terdiam. Suara pertama yang kudengar setelah Si Serba Hitam itu mengatakan demikian adalah suara Putri.
          “Dia enggak ikut pasti karena enggak bisa ngegambar,” katanya berbisik.
          “Oke. Ide Bu Putri bagus. Selama ini memang dalam pentas seni cuma seni-seni pertunjukan aja yang tampil. Seni rupa jarang, bahkan belum pernah kita tampilin dalam acara ini. Saya setuju, dan saya punya usul yang—setelah saya pertimbangkan—lumayan baik. Kebetulan di kelas sepuluh dan sebelas materi di pelajaran kesenian sedang menggambar. Mereka pasti akan antusias kalo saya bilang lukisannya akan dipajang dan dilombakan untuk pentas seni.”
          Para peserta rapat setuju. Aku malas mengecek apakah Robi menampilkan raut wajah setuju atau tidak.
          “Masalahnya adalah,” sambung Pak Rahmat, “siapa yang mau jadi juri lomba ini.”
          Ruangan senyap. Mereka tahu Pak Rahmat satu-satunya pengajar kesenian di sekolah ini.
          “Pak Robi aja, Pak!” saranku asal. Si pemilik nama melotot ke arahku.
          Putri menahan tertawanya.
          “Menurut saya Pak Robi punya sense of art yang bagus,” ujarku beralasan. Si Serba Hitam itu makin melotot. Bola matanya melesat ke angkasa.
          Putri makin mencoba menahan tertawanya.
          “Siapa menurut kalian yang bisa membantu saya menjadi juri?” tanya Pak Rahmat.
          Ruangan kembali senyap. Entah siapa yang memencet tombol mute.
          “Saya saja, Pak!” Putri tiba-tiba mengacungkan tangan setelah berhasil menguasai dirinya dari hasrat ingin terbahak.
          Pak Rahmat tersenyum.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar