MASIH terasa
dingin malam hujan yang membuai saat azan subuh berkumandang. Kusingkap selimut
dan bangun. Melawan gigil saat air mengenai tubuh.
Aku
butuh menghadap Tuhan.
“KAMU udah
tahu agenda sekolah bulan ini, belum?”
Aku
sedang asyik berselancar di dunia maya saat Paman datang dan menanyakan hal itu.
“Agenda
apa, Paman?” tanyaku.
Aku
tidak tahu.
“Bulan
ini ada perayaan ulang tahun sekolah. Sekolah akan ngadain pensi,” jelas Paman
singkat.
“Oh
itu. Kemarin aku denger ada murid yang ngomongin itu.”
“Iya.
Untuk kepanitiaannya OSIS dan pembinanya yang ngurus. Tapi biasanya guru-guru
muda macam kamu juga ikut turun tangan. Tadi saya ketemu Pak Rahmat, dia nanya
kamu mau nggak ikut ngebantu kepanitiaan acara pensi. Karena yakin kamu pasti
mau, saya bilang aja iya. Nanti sore sepulang sekolah OSIS ada rapat. Kamu
datang, ya!”
Paman
langsung pergi. Murid-muridnya telah menunggu di lapangan.
Seenaknya
saja Paman melibatkan aku tanpa persetujuanku. Tapi tak apa lah, pasti
menyenangkan terlibat dalam sebuah acara kesenian seperti itu. Pentas seni,
tempat di mana pelajaran eksakta merasa minder dan pergi entah ke mana.
Berganti seni, yang sehari-harinya kecil di tengah kurikulum.
Pentas seni
adalah hari di mana bakat seni siswa tumpah ruah menuntut apresiasi.
Aku
pernah naik panggung saat pentas seni dulu. Sebuah kenangan—dan kebanggaan—yang
tetap melekat hingga kini.
“Hei!”
Aku
sedang mengingat-ingat saat-saat pentas seni
SMA-ku dulu saat sapaan itu terdengar di telingaku. Nadanya kurang
bersahabat. Seandainya itu diucapkan oleh murid tentu akan kunasihati habis
bocah itu.
Ternyata
Robi. Si Guru Serba Hitam itu berdiri di depan mejaku.
“Kau
bawa ke mana Sinta kemarin?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
“Kenapa?”
tanyaku memastikan pertanyaannya.
“Kutelepon
ke rumahnya Sinta tak langsung pulang. Kemarin kulihat kau membonceng dia
pulang sekolah. Kau bawa ke mana dulu dia, hah?” tanyanya ketus.
Aku
tak suka caranya bertanya.
“Ke
rumahku,” jawabku santai.
“Apa?”
ia tampak terkejut menanggapi jawabanku. Beberapa guru menatap ke arah kami.
“Dia
ikut ke rumah saya,” kuulangi jawaban.
“Dia
ke rumah kau?”
“Di…
a… i… kut… ke… ru… mah… sa… ya….” kueja jawabanku agar ia paham.
“Ngapain
kau ajak di ke rumahmu, ha? Dasar guru mesum!”
Semua
guru memandang ke arah kami. Aku tersenyum ke arah mereka.
“Dia
ikut Pak, bukan saya ajak. Dia mau minjem buku saya. Emangnya ada apa ya, Pak?”
tanyaku lembut padanya. Dia tidak menjawab, langsung ngeloyor pergi.
“Ada
apa sih, Pak?” Madam Eli yang duduk tak begitu jauh dari mejaku bertanya
padaku.
Kujelaskan
padanya apa yang terjadi. Beberapa guru datang ikut mendengarkan.
“GIMANA,
udah nemu personil yang kurangnya?”
Aku
mengajar di kelas para lelaki yang sedang mencari personil untuk mengisi acara
pentas seni yang kutemui di kantin tempo hari. Pertanyaan itu kuutarakan
selepas jam pelajaran selesai. Melihat mereka tetap di kelas saat bel istirahat
telah bergemuruh membuatku menanyakan hal itu.
Aku
bergabung lagi bersama mereka.
“Belum
nih, Pak. Batas pendaftaran pengisi acara tinggal besok lagi. Kayaknya kami
batal ikut deh,” kata salah satu dari mereka.
“Kenapa?
Sayang banget kalian gak ikut. Ini kan acara setahun sekali.”
“Iya
sih, Pak. Tapi mau gimana lagi. Kami maunya tampil full band, tapi enggak ada drummer-nya. Bisa aja sih kami akustikan,
tapi kami maunya full band, Pak.”
“Yaudah,
ayo kita daftar. Saya jadi drummer kalian,”
usulku.
Mereka
tertawa.
“Bapak
yang jadi drummer? Bisa, Pak?”
Mereka
meremehkan aku.
“Emangnya
kalian mau mainin lagu apa sih?” tanyaku.
“Kami
berempat kebetulan suka band Jepang, pak. Terutama Laruku,” jawab mereka.
Kukeluarkan
handphoneku. Kubuka menu musik. Kuputar lagu di sana.
Daybreak’s
Bell.
BEL yang
ditunggu hampir seluruh siswa telah terdengar. Mereka pun bergegas merapikan
buku dan semua alat tulisnya. Cepat, lebih gesit dibanding saat menyiapkan buku
dan alat tulis itu saat akan memulai pembelajaran.
“Bersiap!
Memberi salam!”
“Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh.”
Mereka
pun bergantian menyalamiku dan meninggalkan kelas. Aku pun keluar.
Di
koridor, kulihat Putri baru keluar kelas juga. Kupanggil namanya.
Kami
pun berjalan bersama menuju ruang guru.
“Tadi
katanya ada masalah sama Pak Robi?” tanya dia sambil berjalan menuruni tangga.
Kelas kami ada di lantai tiga.
“Iya,
gak tau tuh tiba-tiba dia dateng terus kayak marah-marah gitu. Salah paham
kayaknya.”
“Pasti
gara-gara murid kelas XI IPS 1 ya?”
“Wah,
kamu tahu? Gosipnya cepet juga ya,” kataku.
“Gosip
apa? Gosip-gosip anak itu deket sama Robi udah sejak anak itu kelas satu. Udah
lama,” Putri tampak memperhatikan sekeliling. Ia pun lalu melanjutkan
bercerita.
“Dari
sepengamatan aku, kayaknya si Robi naksir sama murid itu. Deketnya dia sama
anak itu agak janggal,” kata Putri hati-hati.
Aku
tidak paham apa yang dimaksudnya dengan kedekatan yang janggal itu. Jadi
kutanyakan hal itu padanya.
“Ya
janggal aja,” lanjut Putri, “dilihat dari seringnya mereka berdua: di
perpustakaan berdua, di ruang guru berdua, pulang sekolah berdua. Yah, kayak
ABG-ABG yang lagi pacaran gitu deh.”
Kami
sudah sampai di ruang guru.
“Emangnya
mereka?” tanyaku disertai isyarat tangan
saling berkait.
Putri
menggeleng. Aku tidak tahu apa maksudnya. Hendak kutanyakan tapi nanti saja.
Objek yang sedang dibicarakan ada di lokasi.
RUANG aula
telah ditata menjadi tempat untuk rapat. Di meja panjang di depan telah duduk Pak
Rahmat dan ketua OSIS yang juga menjadi ketua panitia pentas seni. Beberapa
siswa anggota OSIS telah hadir termasuk Sinta. Ia tersenyum melihat
kedatanganku. Demikan juga dengan Pak Rahmat. Kehadiranku berarti akan
membantunya juga, kan?
Putri
juga terlibat dalam rapat itu. Kami memilih duduk di kursi tengah.
“Maksud
kamu ngegeleng tadi apa, Put? Kamu
enggak tahu apa jawabannya enggak?” bisikku pada Putri.
“Enggak.
Mungkin orang itu nganggepnya iya, tapi anaknya biasa-biasa aja,” jawab Putri
dengan bisikkan juga.
“Oh,
bertepuk sebelah tangan?” lanjut bisik-bisik.
“Iyah,”
jawab Putri tanpa suara. Seluruh anggota OSIS telah berkumpul, juga
beberapa guru.
RAPAT berjalan
sangat lancar. Tidak ada banyak interupsi dan pertanyaan maupun kritik yang
diutarakan peserta karena acara ini memang acara yang ruin diselenggarakan tiap
tahun. Beberapa tetek bengek semisal tema acara memang sempat menjadi kendala
karena begitu banyak yang mengajukan usul, tapi Pak Rahmat menjalankan peran
yang luar biasa dalam menyatukan perbedaan itu. Selain itu, saran bahwa jangan
hanya seni musik dengan band berbagai aliran yang ditampilkan dalam acara itu
ditanggapi serius oleh ketua OSIS. Ia setuju.
Klub
teater di mana aku ditunjuk dadakan sebagai pembinanya secara aklamasi
ditetapkan juga sebagai peserta. Aku menyetujuinya karena mustahil menolaknya.
“Bagaimana
kalau kita adakan juga semacam pameran kesenian, Pak. Kelas bapak kan pasti
menghasilkan karya-karya tuh, nah kita pamerin aja pak. Atau kita buat aja
lomba kesenian seperti melukis. Nanti pengumuman pemenangnya disampaikan pas
hari-H pentas seni,” saran Putri saat kesempatan usul dan saran dibuka oleh Pak
Rahmat.
Pak
Rahmat tampak seperti mempertimbangkan usul itu.
“Tapi
kalo begitu, berarti akan ada kepanitiaan lain dong, bu?” ketua OSIS yang sejak
tadi duduk diam di sebelah Pak Rahmat membuka pertanyaan untuk didiskusikan
kembali.
Putri
diam. Ia tampaknya setuju dengan pernyataan si ketua OSIS itu.
“Untuk
kepanitiaan mungkin tidak perlu ada kepanitiaan khusus, kecuali jika kita ingin
memberikan hadian bagi pemenangnya. Menurut kamu apakah perlu ada hadiah besar
untuk pemenangnya?” Pak Rahmat menujukan pertanyaan itu pada Putri.
“Enggak
perlu juga enggak apa-apa, pak,” jawab Putri.
“Masalahnya,
kalo misalnya tidak ada hadiah, apakah pesertanya akan rela ikut?” Robi
tiba-tiba ikut nimbrung.
“Menurut
saya,” Annisa, guru matematika merangkap Fisika mencoba menjawab pertanyaan
Robi,”semua siswa pasti senang iktu lomba ini. Kita kasih aja hadiah
sertifikat. Sertifikat enggak terlalu mahal, kan?”
Putri,
Pak Rahmat, Ketua OSIS, dan aku mengangguk. Beberapa anggota OSIS yang lain
juga.
Robi
tidak.
“Kalau
saya jadi murid, saya tidak akan ikut acara seperti itu. Untuk apa ikut lomba
kalau tidak ada hadiahnya!” kata Robi yang membuat seluruh manusia—bahkan
mungkin jin dan seluruh
makhluk halus seandainya ada—di ruangan aula tercengang dan terdiam. Suara
pertama yang kudengar setelah Si Serba Hitam itu mengatakan demikian adalah
suara Putri.
“Dia
enggak ikut pasti karena enggak bisa ngegambar,” katanya berbisik.
“Oke.
Ide Bu Putri bagus. Selama ini memang dalam pentas seni cuma seni-seni
pertunjukan aja yang tampil. Seni rupa jarang, bahkan belum pernah kita
tampilin dalam acara ini. Saya setuju, dan saya punya usul yang—setelah saya
pertimbangkan—lumayan baik. Kebetulan di kelas sepuluh dan sebelas materi di
pelajaran kesenian sedang menggambar. Mereka pasti akan antusias kalo saya
bilang lukisannya akan dipajang dan dilombakan untuk pentas seni.”
Para
peserta rapat setuju. Aku malas mengecek apakah Robi menampilkan raut wajah
setuju atau tidak.
“Masalahnya
adalah,” sambung Pak Rahmat, “siapa yang mau jadi juri lomba ini.”
Ruangan
senyap. Mereka tahu Pak Rahmat satu-satunya pengajar kesenian di sekolah ini.
“Pak
Robi aja, Pak!” saranku asal. Si pemilik nama melotot ke arahku.
Putri
menahan tertawanya.
“Menurut
saya Pak Robi punya sense of art yang
bagus,” ujarku beralasan. Si Serba Hitam itu makin melotot. Bola matanya melesat
ke angkasa.
Putri
makin mencoba menahan tertawanya.
“Siapa
menurut kalian yang bisa membantu saya menjadi juri?” tanya Pak Rahmat.
Ruangan
kembali senyap. Entah siapa yang memencet tombol mute.
“Saya
saja, Pak!” Putri tiba-tiba mengacungkan tangan setelah berhasil menguasai
dirinya dari hasrat ingin terbahak.
Pak
Rahmat tersenyum.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar