Translate

Sabtu, 29 Juni 2013

KARENA AKU: IX


MALAM yang belum tinggi menggiring langkahku menuju studio Yuda. Materi untuk mengajar besok sudah kukerjakan. Masih terlalu sore juga untuk langsung tidur. Tak ada kerjaan, tak ada salahnya aku ke sana.
          Ternyata Yuda sedang melanjutkan melukis Annelis.
          “Lagi kangen lagi, nih?” tanyaku setibanya di sana.
          Dia tidak menjawab.
          Kududuk di kursi entah apa namanya itu.
          “Emang lu gak  punya kontak dia yang bisa dihubungi, Yud?”
          Yuda diam sesaat. Perlu cukup banyak waktu tampaknya bagi ia untuk menemukan jawabanku itu.
          “Beberapa hari yang lalu aku ketemu dia,” katanya datar.
          Ah! Peristiwa menyenangkan yang diucapkan dengan nada datar. Karena Yuda jelas bukan aktor yang bisa bersandiwara, jelas Annelis telah membuat lelaki ini patah hati.
          Ia mengangguk saat kutanyakan hal itu.
          Yuda pun kembali bercerita.

YUDA sedang sangat menikmati kopi yang sangat jarang dinikmatinya di sebuah pusat perbelanjaan mewah di kawasan Sudirman. Ia sedang dalam reuni teman-teman sekolahnya yang ternyata sudah sangat sukses dan hedonis. Demi keriaan berkumpul bersama, Yuda rela merogoh kantongnya sangat dalam. Agak muram Yuda saat menceritakan seberapa besar yang harus dihabiskannya demi reuni itu.
          “Gue denger lu jadi pelukis sekarang, Yud?” pertanyaan yang jelas ditujukan padanya membuat Yuda harus siap menjawabnya. Saat pertanyaan itu ditanyakan, ia sedang mengelus-elus dompetnya.
          “Iya,” kata Yuda. “Makanya jangan ngumpul di tempat kayak begini. Lu bisa bayangin kan pendapatan gue sebagai pelukis biasa?” Dialog terakhir ini hanya Yuda katakan dalam hati.
          “Laris lukisan lu, Yud?” tanya salah satu mereka.
          “Lumayan,” jawab Yuda.
          “Boleh dong Yud kamu ngelukis aku?” tanya salah satu teman perempuannya yang kontan menjadi bahan ejekan teman-temannya karena dari semua yang hadir saat itu memang hanya Yuda dan perempuan itu yang masih setia dengan kejombloannya.
          “Kalo elu gimana?” pertanyaan saling lempar itu yang kemudian membuka obrolan tentang pekerjaan masing-masing. Membuat suasana menjadi riuh oleh saling pamer keberhasilan. Yuda jadi merasa kecil karena jenis pekerjaannya tampak seperti tidak ada apa-apanya. Tapi dalam hati ia tetap bangga karena hanya dialah yang bekerja dengan “hati”. Dengan semangat dan tujuan yang tidak material semata. Ia juga satu-satunya di antara sekumpulan muda itu yang tidak memamerkan apa-apa.
          Yuda hanyut menyimak obrolan teman-temannya hingga salah satu temannya menepuk bahunya dan menuntun Yuda melihat ke suatu arah.
          “Bule itu kayaknya gue kenal, Yud?”
          Yuda membatu. Ia masih mengenal wajah bundar dengan rambut kuning keemasan itu. Sungguh suatu hal yang sama sekali tidak diduganya bahwa ia akan melihat lagi perempuan itu dalam rupa yang makin sempurna.
          “Annelis kan, Yud?” tanya temannya itu lagi.
          Yuda diam.

“DAN elu lihat Annelis jalan sama laki-laki?” tanyaku saat Yuda diam tak melanjutkan ceritanya.
          Yuda mengangguk.
          Ia mengisi paru-parunya penuh dengan oksigen, kemudian dihembuskannya jenis gas lain dengan berat.
          Ia lalu melanjutkan melukis.

KADANG cinta tak semudah mengucapkan katanya. Selalu ada tikungan yang tajam ataupun tidak tetap akan menghadang. Membuat kita perlu mengerem sejenak dan melepas tarikan gas.
          Saat itu Yuda sudah SMA. Hampir dua tahun sejak ia menyatakan cinta pada Annelis dan Annelis membalas cintanya. Kehidupan menjadi sangat membahagiakan baginya. Kapan pun, di mana pun, Yuda dan Annelis meskipun tidak bersama tapi selalu menyatu. Tak akan terlewat sedikit pun kabar Annelis yang Yuda tak tahu. Teknologi bernama telepon seluler telah memangkas jarak di antara mereka.
          “Kamu lagi apa?”
          “Udah makan belum?”
          “Kamu sehat-sehat aja, kan?”
          Ada banyak kalimat tanya yang selalu Yuda kirim untuk Annelis, membuat Ann harus memiliki banyak waktu untuk menanggapi pertanyaan kekasihnya itu.
          Awalnya Annelis senang Yuda seperhatian itu.
          Tapi manusia memang hidup untuk berubah dan terus berubah. Satu-satunya hal yang abadi selain Tuhan hanyalah perubahan itu sendiri.
          Pun demikian dengan Annelis. Semakin lama, Ann merasa terganggu dengan keposesifan kekasihnya itu. Puncaknya adalah saat Annelis bersama temannya mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. Tugas berpasangan, dan Annelis berpasangan dengan teman laki-lakinya.
          Informasi itu pun langsung diketahui oleh Yuda.
          Yuda mengenal teman laki-laki Annelis itu. Ia berteman cukup akrab dengan Annelis. Hal itu terlihat saat Annelis mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan di mana Yuda dan teman laki-laki itu diundang datang ke rumahnya.
          Yuda cemburu. Hampir tiap sepuluh menit ia mengirim SMS pada Ann.
          “AKU LAGI NGERJAIN TUGAS, YUDA!”
          Sebuah SMS dengan capslock menyala mendarat sempurna di layar handphone Yuda. Yuda tak bisa membalas pesan itu karena pesannya mengambang entah di mana. Pesannya baru terkirim malam hari.
Annelis mematikan handphonenya.

“DAN sejak saat itu hubungan kalian memburuk?” tanyaku pada Yuda setelah ia menceritakan hal tadi padaku.
          Ia menghela napas berat.
          “Katanya dia enggak suka aku terlalu posesif. Gue terlalu membatasi dia buat bergaul sama teman-teman laki-lakinya,” kata Yuda memelas.
          “Ya elu salah juga, Yud,” ucapku mencoba bijak.
          “Yang namanya cinta harusnya dilandasi rasa percaya. Kalo lu cinta sama dia dan lu tau dia cinta sama lu, harusnya lu percaya kalo dia enggak akan berpaling. Sekuat apapun cobaan, godaan, kalau emang dasarnya kalian udah saling percaya, Annelis mau kenal sama Tobey Maguire juga dia gak akan ngelupain elu.”
          “Gue takut kehilangan dia saat itu,” katanya merenung. Ia sedang mencabik-cabik sekat masa kini dan masa lalu. Membuat kejadian di masa lalu terlihat dengan jelas saat ini.
          Satu ketakutan yang justru membuat hal itu jadi nyata.

AWAN pekat bergumul di langit malam di Kuningan saat itu. Kegelapan telah sampai pada tahap sangat. Jangankan bintang, bulan yang lebih gagah pun tertelan gerombolan mendung itu.
          Rintik gerimis mulai menyapa malam di kesunyian.
          Aku telah kembali ke kamar.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar