Translate

Jumat, 28 Juni 2013

KARENA AKU: VII


CERITA Rama mengingatkan aku pada kisah seorang mahasiswa yang cinta pada teman kuliahnya. Lelaki itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Agak klise memang, tapi begitulah kenyataannya.
          Saat itu semester awal kuliah. Sebagaimana semestinya makhluk sosial yang hidup di lingkungan yang baru, lelaki itu merasa sangat wajib untuk berkenalan dengan teman-teman barunya. Meski belum semua teman sekelasnya dikenalnya, setidaknya dia sudah mengenal wajah temannya satu persatu agar jika nanti bertemu tak lupa saling tegur sapa.
          Satu dari temannya itu menarik perhatiannya. Seorang gadis berkacamata berpenampilan sederhana. Mahasiswi biasa itu tampak luar biasa manisnya di mata lelaki itu.
          Lelaki itu, sama seperti Rama, adalah lelaki yang pendiam. Juga pemalu.
          Waktu terus berjalan. Semakin seringnya mereka belajar bersama di satu ruangan yang sama, lelaki itu pun semakin mengenal teman-temannya, terutama gadis itu. Benar-benar gadis yang menarik. Di balik kesederhanaan penampilannya—ia membandingkan gadisnya itu dengan teman-teman lainnya yang berpenampilan trendy dan apalah itu istilahnya—gadis itu menyimpan pesona yang mampu meluluhlantakkan kesadarannya. Membuat lelaki itu selalu bermimpi bersama gadisnya itu.
          Tapi hanya bermimpi, lelaki itu tak memiliki keberanian mendekati gadis itu. Entah ia terkena sindrom apa. Tiap berdekatan dengan gadisnya itu, ia merasa jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Sepertinya jantungnya memerlukan kerja ekstra untuk menyuplai darah ke pusat kesadarannya agar ia tidak terlampau jauh bermimpi. Agar ia sadar bahwa ia sedang menapakkan kaki di dunia nyata.
          Sindrom itu juga mengakibatkan pita suaranya terkunci.
          Tanpa keberanian mendekati, lelaki itu mencintai dalam diam. Diam-diam mencintai.

TAK ada keraguan sedikit pun bagi lelaki itu untuk terus diam-diam mencintai. Ia tidak punya modal utama untuk mengantarkannya jadi pemenang dalam cinta: keberanian. Ia justru berpikir mungkin itu resiko lelaki pemalu jika jatuh cinta.
          Ia senang duduk di belakang saat kuliah. Bukan karena agar jauh dari dosen. Bukan juga mengikuti teman-temannya yang lebih suka bergerombol di belakang. Itu hanya karena dengan duduk di belakang ia dengan bebas bisa melihat gadisnya itu.
          Bagi ia, bahkan hanya dengan melihat punggung dan rambut gadis itu sudah memberinya kebahagiaan.
Dan ia terus menyimpan perasaan.

MALAM ini terlalu gerah untuk aku berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa pun. Maka aku keluar, membiarkan udara malam menyapa tubuhku. Angin yang berhembus benar-benar berbeda dengan udara yang mengurungku di dalam kamar.
          Bintang-bintang menuntunku menuju warung kopi. Kupesan indomie ekstra cabai. Bau indomie di malam cerah seperti ini, disempurnakan dengan aroma pedas cabai yang menusuk menggelitik lidah dan gigiku untuk beraksi lebih cepat. Tanpa menunggu pagi, mangkok itu tandas tak bersisa. Termasuk kuah-kuahnya.
          Perut sudah terpenuhi permohonannya.
          Aku pun kembali ke kamar. Ditemani lagu gubahan Mozart, kubuka sebuah buku. Menunggu kantuk sambil membaca adalah sesuatu yang mengasyikkan. Kebetulan, aku baru meminjam sebuah novel tentang salah satu tokoh sejarah dari Putri. Cerita yang menarik. Inilah kekuatan sastra. Ia mampu menampung apa saja yang ada di kehidupan bangsa yang membesarkannya. Tak terkecuali sejarah.
          Aku sedang mengelana di zaman Majapahit saat tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Sebuah panggilan. Nama pemilik buku yang sedang kubaca tertulis di layar.
          “Hallo, Assalamualaikum.”
          “Waalaikumsalam,” jawab Putri lembut, “lagi sibuk nggak?” lanjut dia.
          “Enggak kok,” kututup bukunya. Lantas merebahkan diri mencari posisi nyaman.
          “Ada apa, Put?” tanyaku.
          “Enggak ada apa-apa sih, cuma ingin ngobrol aja. Boleh kan?”
          “Boleh banget, Put!” jawabku bersemangat, “apalagi kalo ngobrolnya sambil tiba-tiba dateng delivery donat J-co. Beuh!” kataku yang ditanggapi dengan tawanya.
          “Boleh-boleh. Nanti aku kirimin J-co, tapi nanti yah, kalo J-conya udah tutup.”
          “Put….” Suaraku datar. Dia tertawa.
          “Tadi kamu masuk XI IPS 1?” tanyanya setelah puas menertawakan candaannya sendiri.
          “Iya,” jawabku sambil pura-pura mengunyah sesuatu. Putri menanyakan aku sedang makan apa, kujawab sedang makan J-co. Dia kembali tertawa. Jelas terdengar aku sedang mengunyah angin.
          “Aku belum pernah ngajar kelas itu. Gimana kelas itu? Seru?” tanyanya.
          “Seru. Anak-anaknya gokil-gokil. Tadi kami ngomongin persiapan buat praktik pementasan drama. Kelas kamu udah mulai materi drama?”
          “Aku kan enggak megang kelas sebelas,” jawabnya.
          “Oh, iya. Lupa!” jawabku terkekeh.
          “Dasar pikun!” katanya mengejek.
          “Tadi aku minta mereka membuat sendiri naskah drama yang mau dipentaskan,” kataku menjelaskan kelasku tadi, “Mereka ngeluh susah. Yaudah, aku kasih mereka ide. Coba kalian ambil cerita dari mana aja, cerpen boleh, novel boleh, komik juga boleh. Asal jangan ngambil cerita dari naskah drama juga. Aku minta mereka membuat naskah berdasarkan cerita di sana. Mereka mau. Tadi kami ngomongin itu.”
          “Wah, pasti seru tuh! Mereka udah netapin mau ngambil cerita dari mana?”
          “Udah. Mereka aku pecah jadi empat kelompok. Kelompok satu katanya mau buat dari cerita Shinchan. Aku enggak sabar nunggu mereka mentasin naskahnya,” jawabku semangat.
          “Wah, Shinchan. Aku suka baca Shinchan,” katanya terus terang.
          “Aku juga,” timpalku.
          “Wah, kita sama,” ujarnya senang. Topik perbincangan kami pun berubah menjadi saling menertawakan adegan-adegan yang dengan jenius dibuat oleh Yoshito Usui itu.
          Seru!
          “Koleksi komik aku belum lengkap, nih. Kamu punya komik-komik Shinchan?” tanya Putri. Obrolan kami tentang Shinchan pun berlanjut.
          “Punya, tapi enggak lengkap juga. Udah pada ilang-ilangan. Kebanyakan dipinjem dan gak ketahuan nasibnya,” jawabku.
          “Boleh aku pinjem punya kamu? Lihat-lihat dulu sih yang aku enggak punya kamu punya apa enggak.”
          “Boleh. Tapi komik-komik aku masih ada di Bogor. Nanti deh aku bawa kalo aku pulang,” janjiku.
          “Bener, ya?”
          “Iya,” jawabku. Ia terdengar senang di ujung telepon sana.
          Kami membicarakan banyak hal saat itu. mulai dari sekadar nostalgia masa-masa kuliah, menertawakan tindakan konyol teman-teman kami semasa kuliah, merindukan mereka, membicarakan wisuda, mengenak saat-saat haru itu, hingga akhirnya menceritakan kegiatan kami selepas wisuda.
          “Aku ditawari ngajar di sekolah ini sejak ngerjain skripsi,” katanya memulai cerita.
          “Oh ya? Wah, enak dong udah kerja sebelum lulus,” timpalku.
          “Ada enaknya ada enggaknya juga sih,” lanjutnya.
          “Kenapa emangnya?” tanyaku.
          “Jadi susah ngebagi waktu antara ngajar sama nulis skripsi. Untung penelitian aku tentang eksperimen kelas juga, jadi sambil menyelam minum air lah,” jelasnya.
          Aku mengangguk. Suatu hal yang belakangan kusadari tak ada gunanya.
          “Kamu?” tanyanya.
          Kuceritakan apa yang sudah kuceritakan pada kalian sebelumnya.
          “Wah, enggak nyangka yah. Ternyata Pak Sulis itu paman kamu,” katanya setelah aku selesai bercerita.
          “Dan enggak nyangka juga ternyata kita satu tempat ngajar,” jawabku sambil tersenyum. Semoga Putri tahu aku mengatakan itu sambil tersenyum.
          “Iya. Siapa yang sangka kalau aku akan ketemu sama mahasiswa yang paling diem di kelas kalo lagi kuliah,” jawabnya sambil tertawa renyah. Memancing aku untuk melakukan hal serupa.
          “Iya. Siapa sangka juga aku akan ketemu sama mahasiswa paling cantik di kampus,” kukatakan itu tanpa Putri mendengarnya. Hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.
          “Iya, siapa yang,” tiba-tiba dia berhenti bicara, “eh, sebentar ya, nanti kita lanjut lagi ngobrolnya. Pacar aku nelpon nih,” katanya.
          “Assalamualaikum,” salamnya sambil menutup telepon. Bahkan tidak membiarkan salam balasanku terdengar olehnya.
          Hanya handphone yang mendengar salamku.  

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar