CERITA Rama
mengingatkan aku pada kisah seorang mahasiswa yang cinta pada teman kuliahnya.
Lelaki itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Agak klise memang, tapi
begitulah kenyataannya.
Saat
itu semester awal kuliah. Sebagaimana semestinya makhluk sosial yang hidup di
lingkungan yang baru, lelaki itu merasa sangat wajib untuk berkenalan dengan
teman-teman barunya. Meski belum semua teman sekelasnya dikenalnya, setidaknya
dia sudah mengenal wajah temannya satu persatu agar jika nanti bertemu tak lupa
saling tegur sapa.
Satu
dari temannya itu menarik perhatiannya. Seorang gadis berkacamata berpenampilan
sederhana. Mahasiswi biasa itu tampak luar biasa manisnya di mata lelaki itu.
Lelaki
itu, sama seperti Rama, adalah lelaki yang pendiam. Juga pemalu.
Waktu
terus berjalan. Semakin seringnya mereka belajar bersama di satu ruangan yang
sama, lelaki itu pun semakin mengenal teman-temannya, terutama gadis itu.
Benar-benar gadis yang menarik. Di balik kesederhanaan penampilannya—ia
membandingkan gadisnya itu dengan teman-teman lainnya yang berpenampilan trendy
dan apalah itu istilahnya—gadis itu menyimpan pesona yang mampu
meluluhlantakkan kesadarannya. Membuat lelaki itu selalu bermimpi bersama
gadisnya itu.
Tapi
hanya bermimpi, lelaki itu tak memiliki keberanian mendekati gadis itu. Entah
ia terkena sindrom apa. Tiap berdekatan dengan gadisnya itu, ia merasa
jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Sepertinya jantungnya memerlukan
kerja ekstra untuk menyuplai darah ke pusat kesadarannya agar ia tidak
terlampau jauh bermimpi. Agar ia sadar bahwa ia sedang menapakkan kaki di dunia
nyata.
Sindrom
itu juga mengakibatkan pita suaranya terkunci.
Tanpa
keberanian mendekati, lelaki itu mencintai dalam diam. Diam-diam mencintai.
TAK ada
keraguan sedikit pun bagi lelaki itu untuk terus diam-diam mencintai. Ia tidak
punya modal utama untuk mengantarkannya jadi pemenang dalam cinta: keberanian.
Ia justru berpikir mungkin itu resiko lelaki pemalu jika jatuh cinta.
Ia
senang duduk di belakang saat kuliah. Bukan karena agar jauh dari dosen. Bukan
juga mengikuti teman-temannya yang lebih suka bergerombol di belakang. Itu
hanya karena dengan duduk di belakang ia dengan bebas bisa melihat gadisnya
itu.
Bagi
ia, bahkan hanya dengan melihat punggung dan rambut gadis itu sudah memberinya
kebahagiaan.
Dan
ia terus menyimpan perasaan.
MALAM ini
terlalu gerah untuk aku berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa pun. Maka aku
keluar, membiarkan udara malam menyapa tubuhku. Angin yang berhembus
benar-benar berbeda dengan udara yang mengurungku di dalam kamar.
Bintang-bintang
menuntunku menuju warung kopi. Kupesan indomie ekstra cabai. Bau indomie di
malam cerah seperti ini, disempurnakan dengan aroma pedas cabai yang menusuk
menggelitik lidah dan gigiku untuk beraksi lebih cepat. Tanpa menunggu pagi,
mangkok itu tandas tak bersisa. Termasuk kuah-kuahnya.
Perut
sudah terpenuhi permohonannya.
Aku
pun kembali ke kamar. Ditemani lagu gubahan Mozart, kubuka sebuah buku.
Menunggu kantuk sambil membaca adalah sesuatu yang mengasyikkan. Kebetulan, aku
baru meminjam sebuah novel tentang salah satu tokoh sejarah dari Putri. Cerita
yang menarik. Inilah kekuatan sastra. Ia mampu menampung apa saja yang ada di
kehidupan bangsa yang membesarkannya. Tak terkecuali sejarah.
Aku
sedang mengelana di zaman Majapahit saat tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Sebuah panggilan. Nama pemilik buku yang
sedang kubaca tertulis di layar.
“Hallo,
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,”
jawab Putri lembut, “lagi sibuk nggak?”
lanjut dia.
“Enggak
kok,” kututup bukunya. Lantas merebahkan diri mencari posisi nyaman.
“Ada
apa, Put?” tanyaku.
“Enggak
ada apa-apa sih, cuma ingin ngobrol aja. Boleh kan?”
“Boleh banget, Put!” jawabku bersemangat,
“apalagi kalo ngobrolnya sambil tiba-tiba dateng delivery donat J-co. Beuh!” kataku yang ditanggapi dengan tawanya.
“Boleh-boleh. Nanti aku kirimin J-co,
tapi nanti yah, kalo J-conya udah tutup.”
“Put….” Suaraku datar. Dia tertawa.
“Tadi kamu masuk XI IPS 1?” tanyanya
setelah puas menertawakan candaannya sendiri.
“Iya,”
jawabku sambil pura-pura mengunyah sesuatu. Putri menanyakan aku sedang makan
apa, kujawab sedang makan J-co. Dia kembali tertawa. Jelas terdengar aku sedang
mengunyah angin.
“Aku
belum pernah ngajar kelas itu. Gimana kelas itu? Seru?” tanyanya.
“Seru.
Anak-anaknya gokil-gokil. Tadi kami
ngomongin persiapan buat praktik pementasan drama. Kelas kamu udah mulai materi
drama?”
“Aku
kan enggak megang kelas sebelas,” jawabnya.
“Oh,
iya. Lupa!” jawabku terkekeh.
“Dasar
pikun!” katanya mengejek.
“Tadi
aku minta mereka membuat sendiri naskah drama yang mau dipentaskan,” kataku
menjelaskan kelasku tadi, “Mereka ngeluh susah. Yaudah, aku kasih mereka ide.
Coba kalian ambil cerita dari mana aja, cerpen boleh, novel boleh, komik juga
boleh. Asal jangan ngambil cerita dari naskah drama juga. Aku minta mereka
membuat naskah berdasarkan cerita di sana. Mereka mau. Tadi kami ngomongin
itu.”
“Wah,
pasti seru tuh! Mereka udah netapin mau ngambil cerita dari mana?”
“Udah.
Mereka aku pecah jadi empat kelompok. Kelompok satu katanya mau buat dari
cerita Shinchan. Aku enggak sabar nunggu mereka mentasin naskahnya,” jawabku
semangat.
“Wah,
Shinchan. Aku suka baca Shinchan,” katanya terus terang.
“Aku
juga,” timpalku.
“Wah,
kita sama,” ujarnya senang. Topik perbincangan kami pun berubah menjadi saling
menertawakan adegan-adegan yang dengan jenius dibuat oleh Yoshito Usui itu.
Seru!
“Koleksi
komik aku belum lengkap, nih. Kamu punya komik-komik Shinchan?” tanya Putri.
Obrolan kami tentang Shinchan pun berlanjut.
“Punya,
tapi enggak lengkap juga. Udah pada ilang-ilangan. Kebanyakan dipinjem dan gak
ketahuan nasibnya,” jawabku.
“Boleh
aku pinjem punya kamu? Lihat-lihat dulu sih yang aku enggak punya kamu punya apa
enggak.”
“Boleh.
Tapi komik-komik aku masih ada di Bogor. Nanti deh aku bawa kalo aku pulang,”
janjiku.
“Bener,
ya?”
“Iya,”
jawabku. Ia terdengar senang di ujung telepon sana.
Kami
membicarakan banyak hal saat itu. mulai dari sekadar nostalgia masa-masa kuliah,
menertawakan tindakan konyol teman-teman kami semasa kuliah, merindukan mereka,
membicarakan wisuda, mengenak saat-saat haru itu, hingga akhirnya menceritakan
kegiatan kami selepas wisuda.
“Aku
ditawari ngajar di sekolah ini sejak ngerjain
skripsi,” katanya memulai cerita.
“Oh
ya? Wah, enak dong udah kerja sebelum lulus,” timpalku.
“Ada
enaknya ada enggaknya juga sih,” lanjutnya.
“Kenapa
emangnya?” tanyaku.
“Jadi
susah ngebagi waktu antara ngajar sama nulis skripsi. Untung penelitian aku
tentang eksperimen kelas juga, jadi sambil menyelam minum air lah,” jelasnya.
Aku
mengangguk. Suatu hal yang belakangan kusadari tak ada gunanya.
“Kamu?”
tanyanya.
Kuceritakan
apa yang sudah kuceritakan pada kalian sebelumnya.
“Wah,
enggak nyangka yah. Ternyata Pak Sulis itu paman kamu,” katanya setelah aku
selesai bercerita.
“Dan
enggak nyangka juga ternyata kita satu tempat ngajar,” jawabku sambil
tersenyum. Semoga Putri tahu aku mengatakan itu sambil tersenyum.
“Iya.
Siapa yang sangka kalau aku akan ketemu sama mahasiswa yang paling diem di
kelas kalo lagi kuliah,” jawabnya sambil tertawa renyah. Memancing aku untuk
melakukan hal serupa.
“Iya.
Siapa sangka juga aku akan ketemu sama mahasiswa paling cantik di kampus,”
kukatakan itu tanpa Putri mendengarnya. Hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.
“Iya,
siapa yang,” tiba-tiba dia berhenti bicara, “eh, sebentar ya, nanti kita lanjut
lagi ngobrolnya. Pacar aku nelpon nih,” katanya.
“Assalamualaikum,”
salamnya sambil menutup telepon. Bahkan tidak membiarkan salam balasanku
terdengar olehnya.
Hanya
handphone yang mendengar salamku.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar