Translate

Sabtu, 29 Juni 2013

KARENA AKU: VIII


AKU sedang duduk di ruang guru saat Sinta datang menemuiku. Melihat dia, aku jadi teringat Rama. Teringat Rama, aku jadi ingat lelaki itu.
          Sinta datang hendak bertanya.
          “Mau nanya apa, Sin? Umar Kayam lagi?”
          Sinta terkekeh mendengar leluconku. Dia mengaku sudah mengecek di Google bahwa Para Priyayi, Jalan Menikung, Sri Sumarah, Bawuk, dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan dikarang oleh pengarang yang sama.
          “Ini, Pak. Tadi saya baca bukunya Pak Robi, di sana ada yang nyebut ada tokoh datar ada tokoh bulat. Itu maksudnya apa sih, Pak?”
          Kujelaskan apa yang dia tanyakan.
          Ngerti?” tanyaku menutup penjelasan tokoh datar tokoh bulat.
          Sinta mengangguk sambil tersenyum.
          “Kenapa kamu enggak tanya Pak Robi aja?” tanyaku.
          “Pak Robinya gak tau di mana. Yaudah tanya bapak aja. ‘Kan bapak enggak kalah pinter dari Pak Robi. Iya kan?”
          Kutanggapi dengan senyuman.
          Kami pun terlibat dalam obrolan yang panjang. Benar yang dikatakan Rama, Sinta terlalu cerewet untuk membiarkan lawan biacaranya jadi pendiam. Sepertinya dia mempunyai banyak cadangan kalimat tanya, juga kalimat seru, dan kalimat berita.
          “Bapak suka baca novel juga, Pak?”
          “Suka. Kamu juga?”
          “Banget, Pak. Aku suka baca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Sekarang aku lagi baca Rumah Kaca. Belum selesai sih. Bapak suka novel apa?”
          “Apa saja. Asal ceritanya sreg dan menarik, saya baca. Andrea Hirata, Ayu Utami, Dee, banyak lah.”
          “Wah, bapak kayaknya punya banyak buku nih. Boleh dong saya pinjem?”
          “Silakan. Mau minjem buku apa? Selama saya punya, silakan.”
          “Hmmm… Nanti deh, Pak. Saya selesain Rumah Kaca-nya dulu. Kalo udah selesai nanti aku pinjem punya bapak, ya.”
          “Iya,” jawabku tersenyum.
          Dia tampak senang. Sesenang itu sepertinya dia mendapat bacaan pinjaman. Kenapa dia tidak ke perpustakaan aja, ya? Okelah. Coba kutanya.
          “Perpustakaan sekolah? Hampir semua buku cerita yang seru di sana udah aku baca semua, Pak. Koleksi karya sastra perpus kita kan enggak banyak-banyak amat.”
          Wow! Aku sering main ke perpustakaan. Buku cerita di sana lumayan banyak dan dia sudah membaca hampir semuanya? Hhmm.. Hebat juga. 

ADA perasaan senang tersendiri saat tahu ada muridku yang memiliki hobi membaca. Entah mengapa. Melihat mereka begitu semangat membaca, mengalahkan dunia games, gadget, dan hedonisnya kehidupan gaul remaja ibukota membuatku tak urung respect pada mereka. Pernah suatu ketika aku datang ke Perpustakaan Daerah. Tempatnya tak jauh dari kosku. Di sana, aku melihat beberapa anak kecil, masih SMP sepertinya. Mereka sibuk mendiskusikan sesuatu yang ada dalam buku yang mereka baca. Suara mereka mendengung. Aku senang hal itu. Senang, karena aku muak mendengar anak sekolah itu meneriakkan “fire in the hole!”, “Double kill!”, dan sejenisnya—aku baru tahu ternyata itu adalah kata-kata game online, persetan!
          Remaja yang memiliki hobi membaca, terlebih jika dia menggilai membaca, terlihat sangat manis di mataku.
          Tak terkecuali Sinta.
          Suatu hari, sepulang sekolah, Sinta memintaku untuk mengajaknya ke rumahku. Dia ingin—katanya—melihat-lihat koleksi-koleksi bukuku. Tak bisa aku menolaknya karena tanpa menunggu persetujuanku dia sudah duduk di jok belakang vespa. Lagipula bukankah aku sudah mengizinkannya?
          Apa boleh buat.
          Mesin vespa kunyalakan. Suaranya menggelegar menggetarkan gedung sekolah. Asapnya mengudara. Orang-orang memperhatikanku. persneling kunaikan, meninggalkan gigi netral. Kabel gas kutarik. Vespaku meraung. Meninggalkan asap putih yang kemudian menghilang di udara.
          Vespa pun melaju meninggalkan sekolah. Dari spion, kulihat Robi berdiri di gerbang melepas kepergian kami.

AKU ingin membantu perjuangan Rama. Mungkin ini saatnya. Aku sudah mengabari ia perihal kedatangan Sinta ke rumahku.
          Kubiarkan gadis itu mengobrak-abrik rak bukuku, mencari-cari buku yang sekiranya menarik minatnya. Aku tidak tahu buku apa yang dia cari karena jawaban yang diberikannya saat aku menanyakan itu hanya buku yang bagus. Kutanya lagi buku yang bagus menurut dia apa, dijawabnya hanya buku yang menarik. Buku yang menarik menurut dia apa? Ah, entahlah. Biar saja dia mencari sendiri.
          Kutinggalkan dia sementara gerah memaksaku mandi.

TUBUH telah segar. Aku telah kembali tampan. Setelah berpakaian, aku kembali menemui Sinta. Ia telah memisahkan lebih dari empat buku. Enam setelah kuteliti.
          “Banyak buku bagusnya, Pak!” katanya sambil tersenyum. Salah satu alasan mengapa Rama tergila-gila padanya.
          “Mau kamu pinjem semua?”
          Jawabannya dengan anggukan berbarengan dengan suara ketukan pintu. Sang tokoh pria sudah datang.
          “Sinta?” tanyanya kaget melihat Sinta duduk di meja bacaku. Suatu hari aku akan memaksanya untuk bergabung di ekskul teater sekolah di mana aku ditodong untuk menjadi pembinanya. Akting kagetnya barusan lumayan juga.
          “Rama? Ngapain kamu ke sini?”
          “Kebetulan lewat. Kemarin Bapak ini bilang mau minjemin aku buku Sherlock Holmes yang A Study in Scarlet, tapi lupa melulu bawa ke sekolah,” katanya lancar. Aku hanya terkekeh mengiyakan.
          “Ih, bapak gimana sih!” kata Sinta memasang wajah sebal tapi menggemaskan, membuat Rama yang melihatnya tersenyum terpesona. “
          “Itu Ram, tadi aku lihat ada di sana. Sampulnya warna putih, kan?” tanya Sinta.
Rama melirikku. Aku mengangguk. Ia mengiyakan pertanyaan Sinta. Sinta dengan senang hati mencarikan Rama buku itu dan tak perlu waktu lama bagi dia melakukan hal itu. Dia pun memberikan buku bersampul putih itu pada Rama.
          “Kamu suka cerita detektif, Ram?” tanya Sinta.
          Rama mengangguk agak ragu. Dibukanya buku itu. Entah apa yang ada di pikirannya.
          “Kamu baca buku apa?” kali ini Rama yang bertanya.
          “Ini,” Sinta memperlihatkan cover buku yang dibacanya.
          “Wah, bacaan kamu berat banget ya. Pengarang luar negeri kan itu, Pak?”
          Aku mengangguk mengiyakan.
          “Udah kamu baca, Sin?” lanjut Rama.
          “Baru beberapa halaman,” jawab Sinta.
          Rama mengambil sebuah kursi plastik yang tadinya kupakai untuk meletakkan helm, memindahkan hel itu ke lantai, lalu memindahkan kursi itu ke sebelah Sinta dan duduk di sana.
          “Seru ceritanya?” tanyanya.
          “Belum tahu, kan baru mulai baca,” jawab Sinta yang membuat Rama terkekeh. Melihat Rama terkekeh Sinta jadi ikut tertawa. Melihat mereka aku jadi beringsut membiarkan mereka tertawa bersama.

RAMA menjadi makin pendiam sejak masuk SMA. Kesibukan Sinta yang aktif di OSIS membuatnya semakin jauh dari gadisnya itu. Dulu ia tidak tertarik ikut organisasi itu padahal banyak temannya yang bergabung. Suatu keputusan yang kemudian disesalinya. Andai saja ia terlibat dalam arus kesibukan OSIS, mungkin ia akan lebih sering bertemu dan berdekatan dengan Sinta.
          Padahal ia harus menunggu tiga tahun lamanya untuk kembali satu sekolah dengan Sinta.
          “Aku enggak tahu kamu suka baca juga, Ram?” tanya Sinta. Aku mendengarkan dialog itu dari dalam kamar.
          “Enggak sesuka kamu sih, Sin. Aku suka baca kalau lagi enggak ada kerjaan aja,” jawab Rama. Entah benar entah rekayasa.
          “Emang kerjaan kamu tiap hari apa, Ram?” tanya Sinta. Aku mencoba menahan tertawa.
          “Enggak sibuk apa-apa sih,” jawab Rama.
          “Gaya kamu, Ram. Tiap hari sibuk bengong aja begaya kalo enggak ada kerjaan,” sindir Sinta disusul dengan tawa ringan. Rama ikut tertawa.
          Aku juga.
          Mereka kemudian diam. Penasaran, aku keluar kamar. Ternyata mereka berdua sedang asyik membaca.
          Indahnya pemandangan itu.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar