AKU sedang
duduk di ruang guru saat Sinta datang menemuiku. Melihat dia, aku jadi teringat
Rama. Teringat Rama, aku jadi ingat lelaki itu.
Sinta
datang hendak bertanya.
“Mau
nanya apa, Sin? Umar Kayam lagi?”
Sinta
terkekeh mendengar leluconku. Dia mengaku sudah mengecek di Google bahwa Para Priyayi, Jalan Menikung, Sri Sumarah,
Bawuk, dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan dikarang oleh pengarang yang
sama.
“Ini,
Pak. Tadi saya baca bukunya Pak Robi, di sana ada yang nyebut ada tokoh datar
ada tokoh bulat. Itu maksudnya apa sih, Pak?”
Kujelaskan
apa yang dia tanyakan.
“Ngerti?” tanyaku menutup penjelasan
tokoh datar tokoh bulat.
Sinta
mengangguk sambil tersenyum.
“Kenapa
kamu enggak tanya Pak Robi aja?” tanyaku.
“Pak
Robinya gak tau di mana. Yaudah tanya bapak aja. ‘Kan bapak enggak kalah pinter
dari Pak Robi. Iya kan?”
Kutanggapi
dengan senyuman.
Kami
pun terlibat dalam obrolan yang panjang. Benar yang dikatakan Rama, Sinta terlalu
cerewet untuk membiarkan lawan biacaranya jadi pendiam. Sepertinya dia
mempunyai banyak cadangan kalimat tanya, juga kalimat seru, dan kalimat berita.
“Bapak
suka baca novel juga, Pak?”
“Suka.
Kamu juga?”
“Banget,
Pak. Aku suka baca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Sekarang aku lagi baca
Rumah Kaca. Belum selesai sih. Bapak suka novel apa?”
“Apa
saja. Asal ceritanya sreg dan menarik, saya baca. Andrea Hirata, Ayu Utami,
Dee, banyak lah.”
“Wah,
bapak kayaknya punya banyak buku nih. Boleh dong saya pinjem?”
“Silakan.
Mau minjem buku apa? Selama saya punya, silakan.”
“Hmmm…
Nanti deh, Pak. Saya selesain Rumah Kaca-nya dulu. Kalo udah selesai nanti aku
pinjem punya bapak, ya.”
“Iya,”
jawabku tersenyum.
Dia
tampak senang. Sesenang itu sepertinya dia mendapat bacaan pinjaman. Kenapa dia
tidak ke perpustakaan aja, ya? Okelah. Coba kutanya.
“Perpustakaan
sekolah? Hampir semua buku cerita yang seru di sana udah aku baca semua, Pak.
Koleksi karya sastra perpus kita kan enggak banyak-banyak amat.”
Wow!
Aku sering main ke perpustakaan. Buku cerita di sana lumayan banyak dan dia
sudah membaca hampir semuanya? Hhmm.. Hebat juga.
ADA perasaan
senang tersendiri saat tahu ada muridku yang memiliki hobi membaca. Entah
mengapa. Melihat mereka begitu semangat membaca, mengalahkan dunia games,
gadget, dan hedonisnya kehidupan gaul remaja ibukota membuatku tak urung respect pada mereka. Pernah suatu ketika
aku datang ke Perpustakaan Daerah. Tempatnya tak jauh dari kosku. Di sana, aku
melihat beberapa anak kecil, masih SMP sepertinya. Mereka sibuk mendiskusikan
sesuatu yang ada dalam buku yang mereka baca. Suara mereka mendengung. Aku
senang hal itu. Senang, karena aku muak mendengar anak sekolah itu meneriakkan
“fire in the hole!”, “Double kill!”, dan sejenisnya—aku baru
tahu ternyata itu adalah kata-kata game
online, persetan!
Remaja
yang memiliki hobi membaca, terlebih jika dia menggilai membaca, terlihat
sangat manis di mataku.
Tak
terkecuali Sinta.
Suatu
hari, sepulang sekolah, Sinta memintaku untuk mengajaknya ke rumahku. Dia
ingin—katanya—melihat-lihat koleksi-koleksi bukuku. Tak bisa aku menolaknya
karena tanpa menunggu persetujuanku dia sudah duduk di jok belakang vespa.
Lagipula bukankah aku sudah mengizinkannya?
Apa
boleh buat.
Mesin
vespa kunyalakan. Suaranya menggelegar menggetarkan gedung sekolah. Asapnya
mengudara. Orang-orang memperhatikanku. persneling kunaikan, meninggalkan gigi
netral. Kabel gas kutarik. Vespaku meraung. Meninggalkan asap putih yang
kemudian menghilang di udara.
Vespa
pun melaju meninggalkan sekolah. Dari spion, kulihat Robi berdiri di gerbang
melepas kepergian kami.
AKU ingin
membantu perjuangan Rama. Mungkin ini saatnya. Aku sudah mengabari ia perihal
kedatangan Sinta ke rumahku.
Kubiarkan
gadis itu mengobrak-abrik rak bukuku, mencari-cari buku yang sekiranya menarik
minatnya. Aku tidak tahu buku apa yang dia cari karena jawaban yang
diberikannya saat aku menanyakan itu hanya buku yang bagus. Kutanya lagi buku
yang bagus menurut dia apa, dijawabnya hanya buku yang menarik. Buku yang menarik
menurut dia apa? Ah, entahlah. Biar saja dia mencari sendiri.
Kutinggalkan
dia sementara gerah memaksaku mandi.
TUBUH telah
segar. Aku telah kembali tampan. Setelah berpakaian, aku kembali menemui Sinta.
Ia telah memisahkan lebih dari empat buku. Enam setelah kuteliti.
“Banyak
buku bagusnya, Pak!” katanya sambil tersenyum. Salah satu alasan mengapa Rama
tergila-gila padanya.
“Mau
kamu pinjem semua?”
Jawabannya
dengan anggukan berbarengan dengan suara ketukan pintu. Sang tokoh pria sudah
datang.
“Sinta?”
tanyanya kaget melihat Sinta duduk di meja bacaku. Suatu hari aku akan
memaksanya untuk bergabung di ekskul teater sekolah di mana aku ditodong untuk
menjadi pembinanya. Akting kagetnya barusan lumayan juga.
“Rama?
Ngapain kamu ke sini?”
“Kebetulan
lewat. Kemarin Bapak ini bilang mau minjemin aku buku Sherlock Holmes yang A Study in Scarlet, tapi lupa melulu
bawa ke sekolah,” katanya lancar. Aku hanya terkekeh mengiyakan.
“Ih,
bapak gimana sih!” kata Sinta memasang wajah sebal tapi menggemaskan, membuat Rama
yang melihatnya tersenyum terpesona. “
“Itu
Ram, tadi aku lihat ada di sana. Sampulnya warna putih, kan?” tanya Sinta.
Rama
melirikku. Aku mengangguk. Ia mengiyakan pertanyaan Sinta. Sinta dengan senang
hati mencarikan Rama buku itu dan tak perlu waktu lama bagi dia melakukan hal
itu. Dia pun memberikan buku bersampul putih itu pada Rama.
“Kamu
suka cerita detektif, Ram?” tanya Sinta.
Rama
mengangguk agak ragu. Dibukanya buku itu. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Kamu
baca buku apa?” kali ini Rama yang bertanya.
“Ini,”
Sinta memperlihatkan cover buku yang
dibacanya.
“Wah,
bacaan kamu berat banget ya. Pengarang luar negeri kan itu, Pak?”
Aku
mengangguk mengiyakan.
“Udah
kamu baca, Sin?” lanjut Rama.
“Baru
beberapa halaman,” jawab Sinta.
Rama
mengambil sebuah kursi plastik yang tadinya kupakai untuk meletakkan helm,
memindahkan hel itu ke lantai, lalu memindahkan kursi itu ke sebelah Sinta dan
duduk di sana.
“Seru
ceritanya?” tanyanya.
“Belum
tahu, kan baru mulai baca,” jawab Sinta yang membuat Rama terkekeh. Melihat
Rama terkekeh Sinta jadi ikut tertawa. Melihat mereka aku jadi beringsut
membiarkan mereka tertawa bersama.
RAMA menjadi
makin pendiam sejak masuk SMA. Kesibukan Sinta yang aktif di OSIS membuatnya
semakin jauh dari gadisnya itu. Dulu ia tidak tertarik ikut organisasi itu
padahal banyak temannya yang bergabung. Suatu keputusan yang kemudian disesalinya.
Andai saja ia terlibat dalam arus kesibukan OSIS, mungkin ia akan lebih sering
bertemu dan berdekatan dengan Sinta.
Padahal
ia harus menunggu tiga tahun lamanya untuk kembali satu sekolah dengan Sinta.
“Aku
enggak tahu kamu suka baca juga, Ram?” tanya Sinta. Aku mendengarkan dialog itu
dari dalam kamar.
“Enggak
sesuka kamu sih, Sin. Aku suka baca kalau lagi enggak ada kerjaan aja,” jawab
Rama. Entah benar entah rekayasa.
“Emang
kerjaan kamu tiap hari apa, Ram?” tanya Sinta. Aku mencoba menahan tertawa.
“Enggak
sibuk apa-apa sih,” jawab Rama.
“Gaya
kamu, Ram. Tiap hari sibuk bengong aja begaya
kalo enggak ada kerjaan,” sindir Sinta disusul dengan tawa ringan. Rama
ikut tertawa.
Aku
juga.
Mereka
kemudian diam. Penasaran, aku keluar kamar. Ternyata mereka berdua sedang asyik
membaca.
Indahnya
pemandangan itu.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar