RAMA sedang
duduk menghampa di taman pinggir lapangan sambil menatap gerbang yang penuh siswa
lalu lalang. Tangannya menopang dagunya. Tadi aku juga mengajar di kelasnya. Selama
pelajaran tadi pun kulihat ia tidak konsentrasi pada materi yang kusampaikan.
Beberapa kali kupergoki ia melamun. Kadang menyoret-nyoret sesuatu di bukunya
padahal aku sedang tidak memberikan catatan. Ada apa dengan cowok satu ini?
Kuhampiri
ia.
“Kenapa,
Ram?” tanyaku
“Eh,
Bapak. Enggak apa-apa, Pak!”
Ha!
Tak akan pernah tak ada alasan seseorang, apalagi laki-laki muda jika ia duduk bengong dengan wajah semuram itu.
Ia
tampak salah tingkah.
“Cinta
ya, Ram?” pertanyaan tebakanku ternyata membuat wajahnya bersemu.
Aku
iri dengan gejolak remaja mereka.
Penuh
romansa!
“Gak
baik bocah macam elu galau, Ram!”
“Siapa
juga yang galau. Bapak sok tau nih!”
“Sinta,
kan?” kutodong ia dengan tatapan selidik. Wajahnya makin memerah.
Aku
tertawa sambil mengacak-acak rambutnya. Tanpa ia menjawab tebakanku pasti
benar. Yang ia lihat di pintu gerbang memang Sinta. Tidak salah lagi! Kebetulan
macam apa yang mempertemukan dua nama epos Ramayana ini?
“Sinta
saya kayaknya kepincut sama Rahwana, Pak.”
“Apa?”
kagetlah aku mendengar apa yang Rama katakan tadi.
Rama
menembus kabut menembus dunia wiracarita. Ia mengajakku serta. Kami berada di
antara pepohonan lebat yang tak membiarkan sinar matahari langsung menyapa
tanah. Hanya sebagian kecil dari mereka yang berhasil menyusup di antara
ranting-ranting dan daun-daun. Di kejauhan semak-semak bergemerisik. Seekor
kijang muncul dari semak itu.
Ia
tampak gagah dengan busur dan anak panah tersampir di pinggangnya. Aku menjelma
jadi Laksmana, menemani perjalanannya. Tapi ini bukan lakon Ramayana. Dewi
Sinta tidak diculik oleh Rahwana. Sinta justru datang sendiri mendekati
Rahwana. Kijang yang muncul tadi bukan jelmaan Rahwana. Sang Dasamuka tak perlu
menyamar agar Sinta tertarik mendekatinya. Sinta pun tak kubatasi geraknya
dalam sebuah lingkaran dan aku tidak juga terkena tipu muslihat Rahwana yang
memaksaku harus meninggalkan Sinta seorang diri. Tidak! Ini sama sekali bukan
Ramayana. Sinta sendiri yang menghampiri raksasa berpakaian serba hitam itu. Mereka
terlibat dalam pembicaraan yang sangat mesra, menyulut api cemburu Sang Rama.
Rama
memasang anak panah pada busurnya. Panah itu kemudian terentang. Aku yakin,
begitu anak panah itu meluncur membelah udara, angin lesus dengan raungan yang
menggila pasti akan tercipta. Rama telah membidik sasarannya. Panah dengan
kekuatan mengerikan itu pasti akan menancap sempurna di dada Rahwana.
Rama
menarik napas. Perlahan ia hembuskan karbondioksidanya dan bwussshhh! Lesatan
anak panahnya benar-benar mengeluarkan angin lesus. Sedemikian dahsyatnya
kekuatan luncuran anak panah itu hingga membuat Sang Rama tersadar dan kembali
ke taman pinggir lapangan.
DI gerbang
sana, Sinta sedang asyik bercakap-cakap dengan si guru serbahitam. Di tangannya
tergenggam sebuah buku. Beberapa kali Sinta membuka dan membaca buku itu di
depan si serbahitam.
“Itu
Rahwananya, Ram?” tanyaku. Kutunjuk si serbahitam dengan ujung bibir.
Rama
mengangguk. Anggukan yang lantas mengundang gelak tawaku.
“Kenapa
ketawa, Pak?”
“Si
item itu ngerebut Sinta dari elu?”
“Enggak
bisa dibilang ngerebut juga sih, Pak.”
“Lah
tadi katanya?”
“Jadi
gini pak….”
HARI itu
Senin, upacara bendera sedang dilaksanakan di lapangan. Para siswa berbaris
dengan seragam putih-putih. Teratur. Dari kelas satu ke kelas enam. Dari anak
terpendek ke yang paling tinggi. Beberapa siswa dengan antusias mengikuti
jalannya upacara. Beberapa lainnya diam-diam saling berbisik dengan teman
sebelahnya. Banyak yang berdiri tenang, lebih banyak lagi yang berdiri gelisah.
Doyong kiri doyong kanan.
Rama
kecil memerhatikan hal itu dari ruang guru, ditemani ibunya. Ini adalah hari
pertamanya belajar di sekolah.
Rama kecil tergagap saat diminta oleh
gurunya memperkenalkan diri.
“Na..
nama aku Rama. A.. aku pin..dahan.. dari Semarang.”
Rama
yang saat itu masih kelas 2 memperkenalkan diri sambil menatap lantai. Entah
yang diajak bicara teman-temannya atau lantai. Atau mungkin lantai itu dianggapnya
teman. Entahlah.
“Iya
anak-anak. Mulai hari ini Rama akan belajar bersama kita. Nanti kalian berteman
yang baik ya!” lembut mengalun suara guru baru Rama yang dijawab koor oleh
murid-murid. Rama mengangkat kepala.
Matanya menyapu semua teman sekelasnya dengan tatapan malu-malu. Hanya ada satu
kursi yang tidak diduduki murid. Tepat di sebelahnya duduk seorang anak
perempuan yang terus tersenyum pada Rama. Kau pasti tahu siapa dia.
“Ayo
Rama, itu ada kursi kosong di sebelah Sinta. Kamu duduk di belakang tidak
apa-apa ya?”
Rama
mengangguk, lalu duduk di tempat yang dimaksud.
“Hai,
aku Sinta.”
“Aku
Rama.”
“WOW,
sejak saat itu elu suka sama Sinta, Ram?”
“Enggak
saat itu juga sih. Seiring jalannya waktu kayaknya saya kok nyaman banget sama
dia. Apapun yang kami lakukan, selama kami bareng, adalah kesenangan buat saya.
Enggak ada dia, saya kayak jalan dengan satu kaki. Kayak terbang dengan satu
sayap. Enggak bisa apa-apa, Pak.”
Nice quote
from Rama!
“Kenapa
elu enggak bilang aja Ram kalo emang suka?”
Rama
tampak berpikir keras menjawab pertanyaanku. Aku rasa dia sudah tahu
jawabannya. Hanya saja perlu pengungkapan dengan kata yang tepat. Seseorang
yang dengan tulus memendam perasaannya tidak akan tidak memiliki sebuah alasan
untuk terus menyimpan perasaannya. Semelankolis apa pun jawaban Rama, aku sudah
siap menunggu.
“Karena
cinta saya bertepuk sebelah tangan. Malah mungkin seperempat tangan.”
Ada
getar pada tubuhku saat Rama mengatakan itu.
“Udah
pernah ngungkapin, Ram?”
“Belum,
pak,” jawabnya, “tapi tanda-tanda ke sana emang jelas enggak ada.”
“Tanda-tanda
apa maksudnya?” tanyaku menyelidik.
“Tanda
kalau dia suka sama saya, Pak. Suka sih mungkin, tapi cuma sebatas teman. Udah,
gak lebih.”
“Tapi
temenan juga udah nyaman kan, Ram?” tanyaku mencoba menghiburnya.
“Iya
sih. Tapi kan tetep aja,” katanya datar.
“Tetep
aja gimana?”
“Yah,
tetep aja beda, Pak.”
“Menurut
lu Ram,” aku mencoba menyusun kata yang baik sejenak. Menyusun kata-kata untuk
menghibur sekaligus memotivasi bukan pekerjaan yang mudah, “sama gak sih cinta
sama nafsu itu?”
Rama
diam. Aku juga diam. Jangan-jangan pertanyaanku belum layak diutarakan pada
anak sekolah semisal Rama.
Rama
masih saja diam. Sepertinya perkiraanku benar.
“Yaudah,
Ram. Akan ada saatnya, nanti. Sekarang lu jangan galau-galau gak jelas gini.
Emangnya kalau elu galau, bengong-bengong gak karuan begitu, Sinta bakal cinta
sama elu? Kalo gue jadi Sinta mah gak akan, Ram! Kalo elu begini terus, elu
bukannya akan disuka, dicinta, tapi dikasihanin. ‘Jadi Rama galau gara-gara
gue?’ kalo sampai Sinta mikir kayak gitu kemungkinannya cuma dua: dia kasihan
atau dia justru ninggalin elu. Selama ini kalian berteman akrab, kan? Coba
bayangin misalnya elu di posisi Sinta sekarang, Elu ngelihat Sinta sedih
gara-gara elu. Apa yang elu rasain?”
Rama
menimbang-nimbang sesuatu sambil bergumam.
“Pasti
saya ngerasa salah, Pak,” jawabnya cukup lama.
“Nah!”
seruku, “terus apa yang akan lu lakuin?”
Rama
membayangkan hal itu lagi.
“Saya
akan ngerasa serba salah banget. Akan bingung banget harus ngapain. Dan saya
akan minta maaf,” jawabnya sambil menerawang entah ke mana.
“Emangnya
elu salah? Kenapa harus minta maaf?”
Pertanyaanku
sepertinya membuat Rama semakin berpikir dan berpikir.
“Ya
karena saya udah buat dia sedih, Pak,” katanya tanpa nada.
“Kesalahan
apa yang membuat dia sedih, Ram?”
Sepertinya
Rama memang hobi bergumam saat berpikir atau membayangkan sesuatu.
“Mungkin
salahnya karena saya enggak ngebales cinta dia,”
“Apa
itu kesalahan, Ram?”
Ia
menggeleng.
“Lu
pasti akan berusaha gimana caranya supaya sahabat lu itu enggak sedih ngegalau
lagi kan?”
Dijawabnya
dengan anggukan.
“Berarti
elu akan mencintai dia. Padahal awalnya biasa aja.”
Ia
diam.
“Elu
terpaksa mencintai dia?”
Tidak
ada jawaban. Kutepuk bahunya.
“Gak
usah ngegalau. Yang perlu lu lakuin sekarang adalah act! Buat dia kagum sama lu. Buat dia tertarik sama lu bukan karena
enggak mau liat lu sedih, tapi karena sesuatu dalam tanda petik,” kataku
mencoba memberi saran.
“Buat
dia terkesan sama lu.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar