Translate

Kamis, 27 Juni 2013

KARENA AKU: VI


RAMA sedang duduk menghampa di taman pinggir lapangan sambil menatap gerbang yang penuh siswa lalu lalang. Tangannya menopang dagunya. Tadi aku juga mengajar di kelasnya. Selama pelajaran tadi pun kulihat ia tidak konsentrasi pada materi yang kusampaikan. Beberapa kali kupergoki ia melamun. Kadang menyoret-nyoret sesuatu di bukunya padahal aku sedang tidak memberikan catatan. Ada apa dengan cowok satu ini?
          Kuhampiri ia.
          “Kenapa, Ram?” tanyaku
          “Eh, Bapak. Enggak apa-apa, Pak!”
          Ha! Tak akan pernah tak ada alasan seseorang, apalagi laki-laki muda jika ia duduk bengong dengan wajah semuram itu.
          Ia tampak salah tingkah.
          “Cinta ya, Ram?” pertanyaan tebakanku ternyata membuat wajahnya bersemu.
          Aku iri dengan gejolak remaja mereka.
          Penuh romansa!
          “Gak baik bocah macam elu galau, Ram!”
          “Siapa juga yang galau. Bapak sok tau nih!”
          “Sinta, kan?” kutodong ia dengan tatapan selidik. Wajahnya makin memerah.
          Aku tertawa sambil mengacak-acak rambutnya. Tanpa ia menjawab tebakanku pasti benar. Yang ia lihat di pintu gerbang memang Sinta. Tidak salah lagi! Kebetulan macam apa yang mempertemukan dua nama epos Ramayana ini?
          “Sinta saya kayaknya kepincut sama Rahwana, Pak.”
          “Apa?” kagetlah aku mendengar apa yang Rama katakan tadi.
          Rama menembus kabut menembus dunia wiracarita. Ia mengajakku serta. Kami berada di antara pepohonan lebat yang tak membiarkan sinar matahari langsung menyapa tanah. Hanya sebagian kecil dari mereka yang berhasil menyusup di antara ranting-ranting dan daun-daun. Di kejauhan semak-semak bergemerisik. Seekor kijang muncul dari semak itu.
          Ia tampak gagah dengan busur dan anak panah tersampir di pinggangnya. Aku menjelma jadi Laksmana, menemani perjalanannya. Tapi ini bukan lakon Ramayana. Dewi Sinta tidak diculik oleh Rahwana. Sinta justru datang sendiri mendekati Rahwana. Kijang yang muncul tadi bukan jelmaan Rahwana. Sang Dasamuka tak perlu menyamar agar Sinta tertarik mendekatinya. Sinta pun tak kubatasi geraknya dalam sebuah lingkaran dan aku tidak juga terkena tipu muslihat Rahwana yang memaksaku harus meninggalkan Sinta seorang diri. Tidak! Ini sama sekali bukan Ramayana. Sinta sendiri yang menghampiri raksasa berpakaian serba hitam itu. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang sangat mesra, menyulut api cemburu Sang Rama.
          Rama memasang anak panah pada busurnya. Panah itu kemudian terentang. Aku yakin, begitu anak panah itu meluncur membelah udara, angin lesus dengan raungan yang menggila pasti akan tercipta. Rama telah membidik sasarannya. Panah dengan kekuatan mengerikan itu pasti akan menancap sempurna di dada Rahwana.
          Rama menarik napas. Perlahan ia hembuskan karbondioksidanya dan bwussshhh! Lesatan anak panahnya benar-benar mengeluarkan angin lesus. Sedemikian dahsyatnya kekuatan luncuran anak panah itu hingga membuat Sang Rama tersadar dan kembali ke taman pinggir lapangan.

DI gerbang sana, Sinta sedang asyik bercakap-cakap dengan si guru serbahitam. Di tangannya tergenggam sebuah buku. Beberapa kali Sinta membuka dan membaca buku itu di depan si serbahitam.
          “Itu Rahwananya, Ram?” tanyaku. Kutunjuk si serbahitam dengan ujung bibir.
          Rama mengangguk. Anggukan yang lantas mengundang gelak tawaku.
          “Kenapa ketawa, Pak?”
          “Si item itu ngerebut Sinta dari elu?”
          “Enggak bisa dibilang ngerebut juga sih, Pak.”
          “Lah tadi katanya?”
          “Jadi gini pak….”


HARI itu Senin, upacara bendera sedang dilaksanakan di lapangan. Para siswa berbaris dengan seragam putih-putih. Teratur. Dari kelas satu ke kelas enam. Dari anak terpendek ke yang paling tinggi. Beberapa siswa dengan antusias mengikuti jalannya upacara. Beberapa lainnya diam-diam saling berbisik dengan teman sebelahnya. Banyak yang berdiri tenang, lebih banyak lagi yang berdiri gelisah. Doyong kiri doyong kanan.
          Rama kecil memerhatikan hal itu dari ruang guru, ditemani ibunya. Ini adalah hari pertamanya belajar di sekolah.
          Rama kecil tergagap saat diminta oleh gurunya memperkenalkan diri.
          “Na.. nama aku Rama. A.. aku pin..dahan.. dari Semarang.”
          Rama yang saat itu masih kelas 2 memperkenalkan diri sambil menatap lantai. Entah yang diajak bicara teman-temannya atau lantai. Atau mungkin lantai itu dianggapnya teman. Entahlah.
          “Iya anak-anak. Mulai hari ini Rama akan belajar bersama kita. Nanti kalian berteman yang baik ya!” lembut mengalun suara guru baru Rama yang dijawab koor oleh murid-murid.  Rama mengangkat kepala. Matanya menyapu semua teman sekelasnya dengan tatapan malu-malu. Hanya ada satu kursi yang tidak diduduki murid. Tepat di sebelahnya duduk seorang anak perempuan yang terus tersenyum pada Rama. Kau pasti tahu siapa dia.
          “Ayo Rama, itu ada kursi kosong di sebelah Sinta. Kamu duduk di belakang tidak apa-apa ya?”
Rama mengangguk, lalu duduk di tempat yang dimaksud.
          “Hai, aku Sinta.”
          “Aku Rama.”

“WOW, sejak saat itu elu suka sama Sinta, Ram?”
          “Enggak saat itu juga sih. Seiring jalannya waktu kayaknya saya kok nyaman banget sama dia. Apapun yang kami lakukan, selama kami bareng, adalah kesenangan buat saya. Enggak ada dia, saya kayak jalan dengan satu kaki. Kayak terbang dengan satu sayap. Enggak bisa apa-apa, Pak.”
          Nice quote from Rama!
          “Kenapa elu enggak bilang aja Ram kalo emang suka?”
          Rama tampak berpikir keras menjawab pertanyaanku. Aku rasa dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja perlu pengungkapan dengan kata yang tepat. Seseorang yang dengan tulus memendam perasaannya tidak akan tidak memiliki sebuah alasan untuk terus menyimpan perasaannya. Semelankolis apa pun jawaban Rama, aku sudah siap menunggu.
          “Karena cinta saya bertepuk sebelah tangan. Malah mungkin seperempat tangan.”
          Ada getar pada tubuhku saat Rama mengatakan itu.
          “Udah pernah ngungkapin, Ram?”
          “Belum, pak,” jawabnya, “tapi tanda-tanda ke sana emang jelas enggak ada.”
          “Tanda-tanda apa maksudnya?” tanyaku menyelidik.
          “Tanda kalau dia suka sama saya, Pak. Suka sih mungkin, tapi cuma sebatas teman. Udah, gak lebih.”
          “Tapi temenan juga udah nyaman kan, Ram?” tanyaku mencoba menghiburnya.
          “Iya sih. Tapi kan tetep aja,” katanya datar.
          “Tetep aja gimana?”
          “Yah, tetep aja beda, Pak.”
          “Menurut lu Ram,” aku mencoba menyusun kata yang baik sejenak. Menyusun kata-kata untuk menghibur sekaligus memotivasi bukan pekerjaan yang mudah, “sama gak sih cinta sama nafsu itu?”
Rama diam. Aku juga diam. Jangan-jangan pertanyaanku belum layak diutarakan pada anak sekolah semisal Rama.
          Rama masih saja diam. Sepertinya perkiraanku benar.
          “Yaudah, Ram. Akan ada saatnya, nanti. Sekarang lu jangan galau-galau gak jelas gini. Emangnya kalau elu galau, bengong-bengong gak karuan begitu, Sinta bakal cinta sama elu? Kalo gue jadi Sinta mah gak akan, Ram! Kalo elu begini terus, elu bukannya akan disuka, dicinta, tapi dikasihanin. ‘Jadi Rama galau gara-gara gue?’ kalo sampai Sinta mikir kayak gitu kemungkinannya cuma dua: dia kasihan atau dia justru ninggalin elu. Selama ini kalian berteman akrab, kan? Coba bayangin misalnya elu di posisi Sinta sekarang, Elu ngelihat Sinta sedih gara-gara elu. Apa yang elu rasain?”
          Rama menimbang-nimbang sesuatu sambil bergumam.
          “Pasti saya ngerasa salah, Pak,” jawabnya cukup lama.
          “Nah!” seruku, “terus apa yang akan lu lakuin?”
          Rama membayangkan hal itu lagi.
          “Saya akan ngerasa serba salah banget. Akan bingung banget harus ngapain. Dan saya akan minta maaf,” jawabnya sambil menerawang entah ke mana.
          “Emangnya elu salah? Kenapa harus minta maaf?”
          Pertanyaanku sepertinya membuat Rama semakin berpikir dan berpikir.
          “Ya karena saya udah buat dia sedih, Pak,” katanya tanpa nada.
          “Kesalahan apa yang membuat dia sedih, Ram?”
          Sepertinya Rama memang hobi bergumam saat berpikir atau membayangkan sesuatu.
          “Mungkin salahnya karena saya enggak ngebales cinta dia,”
          “Apa itu kesalahan, Ram?”
          Ia menggeleng.
          “Lu pasti akan berusaha gimana caranya supaya sahabat lu itu enggak sedih ngegalau lagi kan?”
Dijawabnya dengan anggukan.
          “Berarti elu akan mencintai dia. Padahal awalnya biasa aja.”
          Ia diam.
          “Elu terpaksa mencintai dia?”
          Tidak ada jawaban. Kutepuk bahunya.
          “Gak usah ngegalau. Yang perlu lu lakuin sekarang adalah act! Buat dia kagum sama lu. Buat dia tertarik sama lu bukan karena enggak mau liat lu sedih, tapi karena sesuatu dalam tanda petik,” kataku mencoba memberi saran.
          “Buat dia terkesan sama lu.”

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar