Translate

Kamis, 27 Juni 2013

KARENA AKU: IV


MATAHARI menyebarkan kehangatan yang nyaman. Aku duduk di beranda. Memanjakan kulit keringku disapa keramahan mentari minggu pukul tujuh. Di depan gang, para ibu bercengkrama. Masing-masing mereka menggendong bayi. Bayi mungil dalam kain gendongan. Matanya yang bulat mengkristalkan kemilau bola yang bening. Tatapan mereka adalah keteduhan. Dan pipi itu, ah!
          Aku senang menggoda bayi-bayi itu. Kuletakkan jariku di telapak tangan mereka. Jari-jari mungil itu kemudian menggenggamnya. Genggaman tanpa tenaga. Genggaman menggemaskan.
          Aku melakukan hal itu lagi pagi ini.

AKU tinggal di sebuah perkampungan lumayan padat di jantung kota Jakarta. Awalnya aku tak tahu di sana ada perkampungan. Yah, Kuningan yang kutahu adalah jejeran gedung perkantoran yang tinggi menjulang.
Di sana, aku memiliki banyak kenalan baru. Salah satu yang langsung dekat denganku adalah pelukis muda yang membuka studio di dekat warteg tak jauh dari kosku. Yuda. Kuanggap dia manusia aneh: membuka studio lukis di perkampungan seperti ini. Siapa yang akan tertarik?
          Keanehannya itulah yang justru membuatku jadi mengenalnya.
          Ia tinggal bersama seorang nenek tua yang ternyata bukan neneknya. Pantas aku tak melihat kemiripan di antara mereka. Ia mengenal nenek itu begitu saja. Si nenek hidup seorang diri di Jakarta setelah suaminya meninggal. Sebenarnya ia tidak benar-benar hidup sendiri. Sejak suaminya tidak mampu lagi mencukupi kehidupannya, ia dan suaminya tinggal di rumah anak suaminya. Si anak agak setengah hati menerima kehadiran nenek itu.
          Suatu hari sang suami meninggal dan nenek yang malang benar-benar seperti hidup dalam paradoks: sepi di keramaian. Rumah yang dia tempati ramai, tapi tak satu pun ada yang mau bicara dengannya. Jangankan bicara, melihat pun sepertinya mereka enggan. Ia dianggap tidak ada di sana. Si nenek benar-benar sangat menderita. Makin lama perlakuan keluarga itu makin parah. Tidak hanya senyum, perlahan makan dan minum yang biasanya disiapkan menjadi ikut tak dirasakan nenek itu. Tak tahan, nenek pun lalu pergi dari rumah. Ia tak mau lagi menyusahkan anak tirinya.
          Saat pergi dari rumah itulah ia bertemu dengan si pelukis muda. Awalnya si pelukis muda iba melihat seorang nenek tua yang berjalan tertatih kebingungan di depan studionya. Dari perawakannya pelukis muda itu tahu bahwa nenek itu bukan pengemis–pengemis biasanya segar bugar tapi dilemas-lemaskan. Nenek itu benar-benar lemas. Ia menyilakan nenek itu masuk. Dijamunya layaknya tamu. Diberinya nenek itu makan. Nenek menceritakan apa yang dialaminya pada Yuda. Si pelukis iba dan mengizinkan nenek itu tinggal di studionya, bersamanya. Ia memang tinggal sendiri di studio itu. Diperlakukannya nenek itu layaknya ibu sendiri. Nenek pun menganggap si pelukis muda itu sebagai anak sendiri.
          Saat nenek menceritakan kisah itu padaku, aku menangis. Dalam hati aku berharap semoga anak tiri nenek itu akan diperlakukan sama saat dia tua nanti. Semoga!


LAPAR menuntunku melangkah menyambangi studio kawanku. Ia sedang mengerjakan sebuah lukisan, berdiri membelakangiku. Pelan-pelan kuhampiri ia.
          Ia sedang melukis potret wanita.
          Aku tak ingin merepotkannya seandainya kukagetkan ia. Jadi kutunggu hingga ia meletakkan kuasnya. Kutahu ia pasti akan melakukan hal itu. Keringatnya sudah sebiji jagung.
          “Pesenan?”
          Benar, ia kaget.
          “Datang diem-diem. Untung enggak gue teriakin maling.”
          “Ya elu, gue masuk enggak sadar. Untung yang masuk bukan maling.”
          Aku duduk di kursinya. Kursi yang aku sendiri tak paham layak disebut kursi atau tidak. Ini hanya potongan pohon yang diperhalus dan diratakan bagian atas dan bawahnya. Ada tiga benda seperti ini, mengelilingi meja bundar kecil. Di atas meja itu mengepul hangat asap kopi.
          Dia lalu duduk di seberangku.
          “Tumben kemari pagi-pagi,” ucapnya sambil mengambil koran pagi. Dibacanya.
          “Main aja. Enggak ada larangan cowok ganteng main ke sini pagi-pagi, kan?”
          Kuseruput kopinya pelan-pelan.
          “Itu tadi lukisan pesenan? Akhirnya ada juga yang mesen lukisan sama lu ya,” kataku sambil tertawa. Dia menatapku. Di bola matanya kulihat ia mengacungkan belati. Tapi senyumnya mengatakan sebaliknya. Ia paham aku bercanda.
          “Tapi tumben lu ngelukis manusia. Biasanya yang lu gambar kan….”
          Ia meletakkan koran paginya, menyeruput kopi, dan tak sadar kopinya berkurang. Lalu ia memandang lukisannya yang hampir selesai. Tersenyum.
          “Lagi kangen.”

SI PELUKIS sedang membuka lembar masa lalunya, mempersilakan aku membacanya.
          Wanita dalam lukisan itu adalah tokohnya. Namanya Annelis. Rambut kuning keemasan menghiasi wajahnya yang bundar. Wajahnya sangat eropa, tapi bola matanya coklat. Ann remaja memiliki sepasang bibir yang melengkungkan mahasenyum.
          Yuda muda masih di Bandung.
          Udara pagi itu membawa udara basah. Hujan siap menyapa. Yuda masih ingat betul kejadian saat itu. Ia hendak berangkat sekolah. Perlu jalan kaki setelah turun dari angkutan umum untuk sampai di sekolahnya. Lumayan jauh. Dalam perjalanan itu hujan turun. Yuda menyesal tidak mendengar peringatan ibunya. Si payung ungu dibiarkannya tergeletak di meja.
          Ia berteduh di depan warung yang belum buka.
          Satu menit.
          Dua menit.
          Lima menit.
          Tiga menit lagi bel.
          Yuda gelisah. Hari itu ulangan harian fisika. Ia sudah belajar semalaman. Ia tidak ingin perjuangannya semalam sia-sia hanya karena alam yang tak mendukung.
          Menunduk, ia menggulung celananya. Asal. Celananya tergulung setengah betis. Celana sudah siap. Ia lalu menyiapkan dirinya, menghirup oksigen dan menyimpannya di paru-paru sebanyak-banyaknya. Siap berlari.
          Tapi urung.
          Ia disapa oleh senyuman. Ann menyodorkannya payung.
          Yuda membatu. Seperti tersihir medusa.

MIRIP cerita roman, Yud!” kuacungkan jempolku ke depan mukanya. Ia tertawa.
          “Gitu deh. Deg-degan, man! Itu pertama kalinya gue liat cewek bule seumuran gue. Cakep banget!”
          “Terus gimana? Kalian kenalan?”
          “Enggak, abis ngasih payung dia langsung pergi.”
          “Ah, dodol lu!”
          Nenek datang membawa ubi kukus yang masih mengepul. Perutku berteriak histeris. Yeah! Akhirnya keluar juga yang kutunggu-tunggu!
          “Lanjut, Yud!” kucaplok ubi panas-panas.

ULANGAN fisika diadakan pada jam pertama. Yuda mencoba konsentrasi. Dibacanya soal-soal itu. Dibacanya lagi, lagi, dan lagi. Gagal. Tiap ia menyapu mata pada huruf dan angka di kertas soal itu justru juntaian rambut kuning keemasan tertiup angin hujan yang tampak. Tiap ia memejamkan mata, mencoba menghilangkan ilusinya, ia justru melihat senyuman di kelopak matanya.
          Ia kalah dalam pertarungan melawan bayang-bayang. Dilihatnya payung kuning itu. Masih basah. Ia tersenyum sendiri.
          “Lima menit lagi!” suara gurunya lantang.
          Yuda tersentak. Ia baru menyelesaikan tiga soal. Tujuh lagi. Buru-buru dikebutnya soal-soal tersisa.
Bagi dia, pemberitahuan waktu tersisa jadi semacam dopping.
          Kertas jawabannya kosong satu.

JADI  percuma dong elu belajar semaleman. Pas ulangan malah keinget si pirang,” kali ini aku yang terbahak.
          “Enggak juga kok. Gue dapet tujuh setengah waktu itu,” giliran ia yang tertawa.
          “Wih, hebat juga lu!”
          “Eh, tujuh setengah apa tujuh, ya?”
          “Ya mana gue tau.”
          “Gue lupa.”
          “Yaudah lah. Gak penting juga gue tau nilai ulangan fisika lu berapa.”
          Aku lupa apakah aku pernah tidak remedial fisika saat SMP dulu. Sepertinya tidak pernah. Cecunguk satu ini hebat juga.
          “Terus gimana?”

SEPULANG sekolah, Yuda kembali ke tempat ia bertemu Annelis. Ia tidak tahu dari mana Annelis tadi pagi muncul. Karena itu ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dilihatnya sekeliling, tak ada tanda-tanda Annelis.
          Ia ingin mengucapkan terimakasih. Dipeluknya payung itu.
          Ia tak menyangka bahwa Annelis memperhatikan setiap tindaknya.
          Hi!” suara lembut menyentuh Yuda dari belakang.
          Slow motion. Yuda menoleh. Menemukan senyum yang tadi terbayang di kelopak matanya.
          Hi!” balas Yuda. Ia sudah menyiapkan apa yang akan dikatakannya untuk gadis pirang ini jika nanti bertemu lagi. Tapi ia takut, takut jika gadis ini mengajaknya bicara dengan bahasa asing yang tidak dimengertinya.
          “This is your umbrella. Thank you very much,” kata inilah yang yang telah ia siapkan sedari tadi. Yuda gemetar menunggu balasan.
          “Sama-sama.”
          Bahasa Indonesia! Yuda berjingkrak dalam hati.

“JADI siapa sih sebenernya si Annelis ini. Gadis bule kok bisa bahasa Indonesia?”
          “Sabar atuh. Baru mulai cerita udah pengen tau siapa dia.”
          Nenek sudah ikut nimbrung mendengar FTV Yuda.

DUNIA Yuda muda seketika berubah. Ia yang biasanya hanya berkutat dengan buku sketsa, kini didominasi oleh tindakan baru: melamun.
          Saat di rumah, ia selalu ingin pergi ke sekolah. Ketika di sekolah, ia selalu mendamba pulang. Ia selalu ingin menemukan Annelis tersenyum melambaikan tangan dari beranda rumahnya.
          Bagi Yuda, saat-saat berangkat dan pulang sekolah adalah kebahagiaan yang melebihi bahagianya memakan mangga masak. Lebih manis dari teh madu kesukaannya.
          “Kamu masih belum diizinin main?” tanya Yuda suatu waktu. Ia ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama Annelis.
          “Belum. Ayah aku belum pulang. Ibu tidak mengizinkan aku main sampai ayah mengizinkan.”
          “Kalau begitu kita diam-diam saja perginya.”
          “Tidak mau, ah. Aku tidak mau pergi kalau tidak ada izin.”
          Sambil mengatakan itu, dimainkannya rambut kuningnya.
          “Ayah kamu kapan pulangnya?”
          “Aku belum tahu. Mungkin sebentar lagi, mungkin juga masih lama.”
          “Janji yah, kalau ayah kamu sudah pulang kita pergi main.”
          “Oke, janji!”
          Mereka mengaitkan kelingking tangan kanan.

TERUS akhirnya kalian main?” aku penasaran kelanjutan cerita mereka.
          “Jadi dong! Empat hari kemudian ayahnya pulang. Gue dikenalin sama ayahnya. Ibunya udah kenal gue. Dia sering ikut nimbrung kalo gue sama Annelis lagi ngobrol. Ibunya udah tahu kalo gue anak baik-baik. Jadi pas gue bilang ke ayahnya kalo gue mau ngajak Annelis main, ibunya bantu ngeyakinin ayahnya. Bapaknya kolot naudzubillah.”
          “Kenapa emangnya?”
          “Jadi gini, dulu waktu mereka sekeluarga masih tinggal di Solo, Annelis pernah ngambek enggak mau keluar rumah karena dia diejek habis-habisan sama temen-temen sekolahnya karena dia beda sendiri. You know lah apa bedanya.”
          Aku mengangguk.
          “Nah, Annelis jadi takut sendiri kalo ngeliat anak seusia dia.”
          “Kok dia enggak takut ngeliat elu. Jangan-jangan elu dianggap seumuran bapaknya.”
          “Sial!” racau Yuda.
          “Ya abisnya….” aku dan nenek puas menertawakan Yuda.
          “Lanjut!” kataku.
          “Enggak mau ah!”
          “Yah, dia ngambek.” Nenek tampak senang sekali. Dialog tadi diucapkannya dengan nada menggoda.
          “Nih, nenek suapin ubi. Lanjutin dong, Yud.” Nenek menjejalkan ubi ke mulut Yuda. Usil juga si nenek. Aku tertawa. Yuda tertawa. Nenek tertawa.
          Kami tertawa.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar