MATAHARI menyebarkan
kehangatan yang nyaman. Aku duduk di beranda. Memanjakan kulit keringku disapa
keramahan mentari minggu pukul tujuh. Di depan gang, para ibu bercengkrama.
Masing-masing mereka menggendong bayi. Bayi mungil dalam kain gendongan.
Matanya yang bulat mengkristalkan kemilau bola yang bening. Tatapan mereka
adalah keteduhan. Dan pipi itu, ah!
Aku senang
menggoda bayi-bayi itu. Kuletakkan jariku di telapak tangan mereka. Jari-jari
mungil itu kemudian menggenggamnya. Genggaman tanpa tenaga. Genggaman
menggemaskan.
Aku melakukan
hal itu lagi pagi ini.
AKU
tinggal di sebuah perkampungan lumayan padat di jantung kota Jakarta. Awalnya
aku tak tahu di sana ada perkampungan. Yah, Kuningan yang kutahu adalah jejeran
gedung perkantoran yang tinggi menjulang.
Di
sana, aku memiliki banyak kenalan baru. Salah satu yang langsung dekat denganku
adalah pelukis muda yang membuka studio di dekat warteg tak jauh dari kosku.
Yuda. Kuanggap dia manusia aneh: membuka studio lukis di perkampungan seperti
ini. Siapa yang akan tertarik?
Keanehannya
itulah yang justru membuatku jadi mengenalnya.
Ia
tinggal bersama seorang nenek tua yang ternyata bukan neneknya. Pantas aku tak
melihat kemiripan di antara mereka. Ia mengenal nenek itu begitu saja. Si nenek
hidup seorang diri di Jakarta setelah suaminya meninggal. Sebenarnya ia tidak
benar-benar hidup sendiri. Sejak suaminya tidak mampu lagi mencukupi
kehidupannya, ia dan suaminya tinggal di rumah anak suaminya. Si anak agak
setengah hati menerima kehadiran nenek itu.
Suatu
hari sang suami meninggal dan nenek yang malang benar-benar seperti hidup dalam
paradoks: sepi di keramaian. Rumah yang dia tempati ramai, tapi tak satu pun
ada yang mau bicara dengannya. Jangankan bicara, melihat pun sepertinya mereka
enggan. Ia dianggap tidak ada di sana. Si nenek benar-benar sangat menderita.
Makin lama perlakuan keluarga itu makin parah. Tidak hanya senyum, perlahan
makan dan minum yang biasanya disiapkan menjadi ikut tak dirasakan nenek itu.
Tak tahan, nenek pun lalu pergi dari rumah. Ia tak mau lagi menyusahkan anak
tirinya.
Saat
pergi dari rumah itulah ia bertemu dengan si pelukis muda. Awalnya si pelukis
muda iba melihat seorang nenek tua yang berjalan tertatih kebingungan di depan
studionya. Dari perawakannya pelukis muda itu tahu bahwa nenek itu bukan
pengemis–pengemis biasanya segar bugar tapi dilemas-lemaskan. Nenek itu
benar-benar lemas. Ia menyilakan nenek itu masuk. Dijamunya layaknya tamu.
Diberinya nenek itu makan. Nenek menceritakan apa yang dialaminya pada Yuda. Si
pelukis iba dan mengizinkan nenek itu tinggal di studionya, bersamanya. Ia
memang tinggal sendiri di studio itu. Diperlakukannya nenek itu layaknya ibu
sendiri. Nenek pun menganggap si pelukis muda itu sebagai anak sendiri.
Saat
nenek menceritakan kisah itu padaku, aku menangis. Dalam hati aku berharap
semoga anak tiri nenek itu akan diperlakukan sama saat dia tua nanti. Semoga!
LAPAR menuntunku
melangkah menyambangi studio kawanku. Ia sedang mengerjakan sebuah lukisan,
berdiri membelakangiku. Pelan-pelan kuhampiri ia.
Ia sedang
melukis potret wanita.
Aku tak ingin
merepotkannya seandainya kukagetkan ia. Jadi kutunggu hingga ia meletakkan
kuasnya. Kutahu ia pasti akan melakukan hal itu. Keringatnya sudah sebiji
jagung.
“Pesenan?”
Benar, ia kaget.
“Datang diem-diem. Untung enggak gue teriakin
maling.”
“Ya elu, gue
masuk enggak sadar. Untung yang masuk
bukan maling.”
Aku duduk di
kursinya. Kursi yang aku sendiri tak paham layak disebut kursi atau tidak. Ini
hanya potongan pohon yang diperhalus dan diratakan bagian atas dan bawahnya.
Ada tiga benda seperti ini, mengelilingi meja bundar kecil. Di atas meja itu
mengepul hangat asap kopi.
Dia lalu duduk
di seberangku.
“Tumben kemari
pagi-pagi,” ucapnya sambil mengambil koran pagi. Dibacanya.
“Main aja.
Enggak ada larangan cowok ganteng main ke sini pagi-pagi, kan?”
Kuseruput
kopinya pelan-pelan.
“Itu tadi
lukisan pesenan? Akhirnya ada juga yang mesen lukisan sama lu ya,” kataku sambil tertawa. Dia menatapku. Di bola matanya
kulihat ia mengacungkan belati. Tapi senyumnya mengatakan sebaliknya. Ia paham
aku bercanda.
“Tapi tumben lu ngelukis manusia. Biasanya yang lu gambar kan….”
Ia meletakkan
koran paginya, menyeruput kopi, dan tak sadar kopinya berkurang. Lalu ia
memandang lukisannya yang hampir selesai. Tersenyum.
“Lagi kangen.”
SI PELUKIS sedang membuka
lembar masa lalunya, mempersilakan aku membacanya.
Wanita dalam
lukisan itu adalah tokohnya. Namanya Annelis. Rambut kuning keemasan menghiasi
wajahnya yang bundar. Wajahnya sangat eropa, tapi bola matanya coklat. Ann
remaja memiliki sepasang bibir yang melengkungkan mahasenyum.
Yuda muda masih
di Bandung.
Udara pagi itu membawa
udara basah. Hujan siap menyapa. Yuda masih ingat betul kejadian saat itu. Ia
hendak berangkat sekolah. Perlu jalan kaki setelah turun dari angkutan umum
untuk sampai di sekolahnya. Lumayan jauh. Dalam perjalanan itu hujan turun.
Yuda menyesal tidak mendengar peringatan ibunya. Si payung ungu dibiarkannya
tergeletak di meja.
Ia berteduh di
depan warung yang belum buka.
Satu menit.
Dua menit.
Lima menit.
Tiga menit lagi
bel.
Yuda gelisah.
Hari itu ulangan harian fisika. Ia sudah belajar semalaman. Ia tidak ingin
perjuangannya semalam sia-sia hanya karena alam yang tak mendukung.
Menunduk, ia
menggulung celananya. Asal. Celananya tergulung setengah betis. Celana sudah
siap. Ia lalu menyiapkan dirinya, menghirup oksigen dan menyimpannya di
paru-paru sebanyak-banyaknya. Siap berlari.
Tapi urung.
Ia disapa oleh
senyuman. Ann menyodorkannya payung.
Yuda membatu.
Seperti tersihir medusa.
“MIRIP cerita roman, Yud!” kuacungkan
jempolku ke depan mukanya. Ia tertawa.
“Gitu deh.
Deg-degan, man! Itu pertama kalinya
gue liat cewek bule seumuran gue. Cakep banget!”
“Terus gimana?
Kalian kenalan?”
“Enggak, abis
ngasih payung dia langsung pergi.”
“Ah, dodol lu!”
Nenek datang
membawa ubi kukus yang masih mengepul. Perutku berteriak histeris. Yeah! Akhirnya
keluar juga yang kutunggu-tunggu!
“Lanjut, Yud!”
kucaplok ubi panas-panas.
ULANGAN fisika diadakan
pada jam pertama. Yuda mencoba konsentrasi. Dibacanya soal-soal itu. Dibacanya
lagi, lagi, dan lagi. Gagal. Tiap ia menyapu mata pada huruf dan angka di
kertas soal itu justru juntaian rambut kuning keemasan tertiup angin hujan yang
tampak. Tiap ia memejamkan mata, mencoba menghilangkan ilusinya, ia justru
melihat senyuman di kelopak matanya.
Ia kalah dalam
pertarungan melawan bayang-bayang. Dilihatnya payung kuning itu. Masih basah.
Ia tersenyum sendiri.
“Lima menit
lagi!” suara gurunya lantang.
Yuda tersentak.
Ia baru menyelesaikan tiga soal. Tujuh lagi. Buru-buru dikebutnya soal-soal
tersisa.
Bagi dia,
pemberitahuan waktu tersisa jadi semacam dopping.
Kertas
jawabannya kosong satu.
“JADI percuma dong elu belajar semaleman. Pas ulangan
malah keinget si pirang,” kali ini aku yang terbahak.
“Enggak juga
kok. Gue dapet tujuh setengah waktu itu,” giliran ia yang tertawa.
“Wih, hebat juga
lu!”
“Eh, tujuh
setengah apa tujuh, ya?”
“Ya mana gue
tau.”
“Gue lupa.”
“Yaudah lah. Gak
penting juga gue tau nilai ulangan fisika lu berapa.”
Aku lupa apakah
aku pernah tidak remedial fisika saat SMP dulu. Sepertinya tidak pernah.
Cecunguk satu ini hebat juga.
“Terus gimana?”
SEPULANG sekolah, Yuda
kembali ke tempat ia bertemu Annelis. Ia tidak tahu dari mana Annelis tadi pagi
muncul. Karena itu ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dilihatnya sekeliling,
tak ada tanda-tanda Annelis.
Ia ingin
mengucapkan terimakasih. Dipeluknya payung itu.
Ia tak menyangka
bahwa Annelis memperhatikan setiap tindaknya.
“Hi!” suara lembut menyentuh Yuda dari
belakang.
Slow motion. Yuda menoleh.
Menemukan senyum yang tadi terbayang di kelopak matanya.
“Hi!” balas Yuda. Ia sudah menyiapkan apa
yang akan dikatakannya untuk gadis pirang ini jika nanti bertemu lagi. Tapi ia
takut, takut jika gadis ini mengajaknya bicara dengan bahasa asing yang tidak
dimengertinya.
“This is your umbrella. Thank you very
much,” kata
inilah yang yang telah ia siapkan sedari tadi. Yuda gemetar menunggu balasan.
“Sama-sama.”
Bahasa
Indonesia! Yuda berjingkrak dalam hati.
“JADI siapa sih
sebenernya si Annelis ini. Gadis bule kok bisa bahasa Indonesia?”
“Sabar atuh. Baru mulai cerita udah pengen tau
siapa dia.”
Nenek sudah ikut
nimbrung mendengar FTV Yuda.
DUNIA Yuda muda
seketika berubah. Ia yang biasanya hanya berkutat dengan buku sketsa, kini
didominasi oleh tindakan baru: melamun.
Saat di rumah,
ia selalu ingin pergi ke sekolah. Ketika di sekolah, ia selalu mendamba pulang.
Ia selalu ingin menemukan Annelis tersenyum melambaikan tangan dari beranda
rumahnya.
Bagi Yuda,
saat-saat berangkat dan pulang sekolah adalah kebahagiaan yang melebihi
bahagianya memakan mangga masak. Lebih manis dari teh madu kesukaannya.
“Kamu masih
belum diizinin main?” tanya Yuda suatu waktu. Ia ingin lebih lama menghabiskan
waktu bersama Annelis.
“Belum. Ayah aku
belum pulang. Ibu tidak mengizinkan aku main sampai ayah mengizinkan.”
“Kalau begitu
kita diam-diam saja perginya.”
“Tidak mau, ah.
Aku tidak mau pergi kalau tidak ada izin.”
Sambil
mengatakan itu, dimainkannya rambut kuningnya.
“Ayah kamu kapan
pulangnya?”
“Aku belum tahu.
Mungkin sebentar lagi, mungkin juga masih lama.”
“Janji yah,
kalau ayah kamu sudah pulang kita pergi main.”
“Oke, janji!”
Mereka
mengaitkan kelingking tangan kanan.
“TERUS akhirnya kalian main?” aku
penasaran kelanjutan cerita mereka.
“Jadi dong!
Empat hari kemudian ayahnya pulang. Gue dikenalin
sama ayahnya. Ibunya udah kenal gue. Dia sering ikut nimbrung kalo gue sama Annelis lagi ngobrol. Ibunya
udah tahu kalo gue anak baik-baik. Jadi pas gue bilang ke ayahnya kalo gue mau
ngajak Annelis main, ibunya bantu ngeyakinin ayahnya. Bapaknya kolot naudzubillah.”
“Kenapa
emangnya?”
“Jadi gini, dulu
waktu mereka sekeluarga masih tinggal di Solo, Annelis pernah ngambek enggak mau keluar rumah karena
dia diejek habis-habisan sama temen-temen sekolahnya karena dia beda sendiri. You know lah apa bedanya.”
Aku mengangguk.
“Nah, Annelis
jadi takut sendiri kalo ngeliat anak seusia dia.”
“Kok dia enggak
takut ngeliat elu. Jangan-jangan elu dianggap seumuran bapaknya.”
“Sial!” racau
Yuda.
“Ya abisnya….” aku
dan nenek puas menertawakan Yuda.
“Lanjut!”
kataku.
“Enggak mau ah!”
“Yah, dia
ngambek.” Nenek tampak senang sekali. Dialog tadi diucapkannya dengan nada
menggoda.
“Nih, nenek
suapin ubi. Lanjutin dong, Yud.” Nenek menjejalkan ubi ke mulut Yuda. Usil juga
si nenek. Aku tertawa. Yuda tertawa. Nenek tertawa.
Kami tertawa.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar