JAM pertama
mengajar.
Meskipun
sudah pernah merasakan hal ini, berdiri di depan kelas menghadapi puluhan murid
yang duduk berjejer dan semua mereka menatap padaku membuat aku tetap sedikit
gentar juga. Tapi aku berhasil membangun percaya diri.
“Selamat
pagi semuanya!” suara kuberat-beratkan.
“Selamat
pagi, Pak!” nyaring mereka menjawab.
Jujur,
aku masih merasakan ada perasaan yang aneh saat murid-murid itu memanggil aku
“Pak”, Pak Guru! Sungguh, rasanya seperti ada sesuatu yang membuat geli ikut
mengalir di pembuluh darahmu. Setelah sekian lama kau terbiasa memanggil
seseorang yang berdiri di depan kelas dengan sebutan “Pak”, kini sebutan itu
kau yang sandang. Mereka kini memanggil kau dengan panggilan itu.
Luar
biasa!
Jika
diizinkan, aku lebih ingin dipanggil kakak saja. Tapi mana mungkin ada kakak
guru, bukan?
“Bapak
baru lulus kuliah ya?” seorang anak, laki-laki, lebih besar dari aku tiba-tiba
bertanya.
Kujawab
iya.
“Bapak
kuliah sastra?” kali ini perempuan, duduk paling depan.
Kuulangi
lagi jawaban iya.
“Jalan Menikung, bapak tahu novel itu?”
tanya si perempuan itu.
“Tahu.
Kenapa?”
“Pengarangnya
siapa, ya?”
Aku
benci tatapan selidik anak ini. Aku tahu benar: dia tahu. Mencoba mengetes
pengetahuanku sepertinya. Baik, kuladeni.
“Pengarang
Jalan Menikung adalah orang yang sama
dengan pengarang Sri Sumarah.”
“Salah,
Pak!
Jawabannya
Umar Kayam,” ucapnya. Tersenyum menang.
“Kamu
enggak tahu Sri Sumarah?” tanyaku.
Dia
menggeleng.
“Bawuk?”
Menggeleng
lagi.
“Seribu Kunang-kunang di Manhattan?”
Dijawabnya
lagi dengan gelengan kepala.
“Kalau
Para Priyayi?”
“Umar
Kayam.”
“Oke,
kali ini bagaimana jika kita belajar sastra saja?”
“Oke!”
koor anak-anak.
Terkesan
dadakan, padahal materi yang kusiapkan untuk saat ini memang tentang sastra.
“TENANG.
Pejamkan mata kalian. Apa yang kalian lihat di sana? Gelap, bukan?”
kuperdengarkan pada mereka Chopin, Prelude
in A-Major. “Bayangkan, ada sebatang pohon di sana. Pohon yang sangat
rindang. Sepoi angin bertiup di sana, menggoyangkan semua daun-daun di ujung
rantingnya. Dengarlah desir suara itu.”
Lagu
kuganti, Etude in A-Flat Major.
“Lalu,”
kuputar irama waltz, “ada dua anak,
laki-laki dan perempuan, berlarian riang di sana. Mereka menari-nari. Si
perempuan menari lincah sekali. Yang laki-laki tak mau kalah. Dia ikut
menggerakkan tubuhnya. Tapi ia tidak pandai menari. Gemulainya jadi terlihat
lucu. Si anak perempuan tertawa melihatnya.”
Beberapa
muridku tersenyum.
“Hari
telah sore. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Sebelum itu mereka
berjanji bahwa
esok, pada waktu
yang sama seperti waktu bertemu hari ini, mereka akan berjumpa lagi di
sini.
“Keesokannya,
tepat pukul tiga sesuai janji, mereka datang. Tapi apa yang dilihat mereka?
Pohon itu tak ada. Sambil berpegangan tangan, mereka menatap bagian pohon yang
tersisa: pokok pohon dengan patahan yang tak rata. Badai semalam rupanya
menumbangkan pohon itu.”
Aku
diam sejenak.
“Oke,
buka mata kalian!”
Serentak
mereka membuka mata.
“Sekarang,
coba buat kelanjutan kisah tadi!”
Mereka
asyik membuat lanjutan ceritanya. Ini untuk pertama kalinya aku melakukan
pembelajaran dengan cara seperti ini. Mereka tampak bersemangat membuat cerita
itu. Beberapa saling mengobrol hendak tahu cerita seperti apa yang dibuat oleh
temannya, membuat suara mendengung saling meledek, saling kagum.
“Sudah?”
tanyaku saat mayoritas mereka sudah meletakkan alat tulisnya.
“Sudah!”
jawab mereka kompak.
Kutunjuk
salah satu dari mereka untuk membacakan apa yang elah ditulisnya. Pilihanku
tepat tertuju pada anak perempuan yang bertanya tentang Umar Kayam tadi.
“Coba
bacakan, biar yang lain tahu,” pintaku.
Tanpa
keraguan sedikit pun, dia bangun dari tempat duduknya, berjalan, dan berdiri di
muka kelas.
Sambil berpegangan tangan, kedua anak itu kembali berjanji untuk menanam kembali sebuah pohon di sana. Dua puluh tahun lagi mereka akan bermain lagi di bawah pohon rindang di tempat itu. Dengan penuh semangat mereka menceritakan tentang robohnya pohon itu pada ayah-ibunya masing-masing sambil merengek agar ditanamkan kembali pohon yang baru di sana. Orang tua si perempuan pun kemudian menghubungi orang tua anak laki-laki membicarakan tentang masalah itu, yang ditanggapi dengan sangat antusias oleh orang tua anak laki-laki karena bagaimana pun anaknya juga meminta hal yang sama.
Maka jadilah, dua keluarga itu kemudian membeli pohon kecil yang kemudian ditanam di tempat itu setelah pohon tumbangnya dibereskan.
Berhari-hari, setiap hari, keduanya rutin datang untuk menyirami pohon itu. mereka jadi memiliki tempat sekaligus cara bermain yang baru, menyirami pohon kecil. Mereka amat menikmati itu.
Hingga akhirnya orang tua si laki-laki harus dipindahkan bekerja.
Dalam sebuah perpisahan haru, si perempuan mengingatkan agar anak laki-laki itu datang kembali sembilan belas tahun kemudian. Si anak laki-laki dengan mantap mengiyakan.
Dia
menarik napas sebentar, memandangi temannya, kemudian melihat aku.
“Lanjut!
Belum selesai, kan?” tanyaku.
Dan kemudian, di hari yang dijanjikan, si anak perempuan datang. Dia tidak menemukan teman masa kecilnya di tempat itu. Dari surat yang dikirim lelaki itu, ia berkata akan datang, tapi di mana?
Dia menunggu sambil melihat pohon yang dulu ditanamnya. Pohon itu kini telah menjadi sangat rimbun, sebagaimana pohon tempat dia dan temannya itu bermain dulu. Ingatan tentang itu membuatnya tersenyum, walaupun dalam hati dia gelisah menunggu temannya.
Sejak perpisahannya dulu, mereka tidak pernah lagi bertemu. Hanya tulisan yang dikirim dan diterimanya saja yang menghubungkan mereka berdua. Jarak Indonesia—Australia sulit ditempuh dengan cepat saat itu, meskipun keinginan untuk bertemu sangat menggebu.
Sementara gadis itu gelisah menunggu, dia tidak tahu bahwa sepasang mata sedang tersenyum di atas pohon itu.
“Sekian,”
kata murid perempuan
itu menutup ceritanya. Aku tersenyum sambil bertepuk tangan, memimpin
teman-temannya melakukan hal serupa.
Anak
itu tersenyum senang. Kemudian duduk kembali.
SELEPAS
kelas pertama itu, aku kembali ke ruang guru. Di sana kutemukan Pak Rahmat, si
guru tua gondrong itu sedang duduk asyik di kursinya. Dia bertanya padaku
bagaimana kelas pertamaku. Kuletakkan buku-bukuku, lalu duduk di dekatnya.
“Gimana?” tanyanya mengulang pertanyaan.
“Yah,
begitu lah, Pak,” jawabku sekenanya.
“Begitu
gimana?”
“Tadi
sih asyik-asyik aja.”
“Ah, mungkin mereka masih segan sama guru
baru.”
“Maksudnya,
Pak?”
“Liat
saja kalau mereka sudah kenal kamu nanti,” dia tertawa.
“Bapak
megang kelas itu juga?”
“Guru
kesenian di sini kan cuma saya.”
Wow¸
berarti Pak Guru Gondrong ini mengajar semua kelas!
Kami—tepatnya
hanya Pak Rahmat—bercerita tentang pengalamannya mengajar di sini. Pak tua ini
orang yang asyik juga ternyata. Dia tidak seperti guru-guru senior yang ada
dalam bayanganku yang lebih senang memberi petuah-wejangan-bermanfaat untuk
guru baru sepertiku. Pak Rahmat lebih mirip seorang teman sebaya yang lebih
banyak candanya dibanding nasihat-nasihat.
Pak
Rahmat adalah guru favoritku. Belakangan kutahu ia juga guru favorit para
siswa.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar