Translate

Rabu, 26 Juni 2013

KARENA AKU: II


JAM pertama mengajar.
          Meskipun sudah pernah merasakan hal ini, berdiri di depan kelas menghadapi puluhan murid yang duduk berjejer dan semua mereka menatap padaku membuat aku tetap sedikit gentar juga. Tapi aku berhasil membangun percaya diri.
          “Selamat pagi semuanya!” suara kuberat-beratkan.
          “Selamat pagi, Pak!” nyaring mereka menjawab.
          Jujur, aku masih merasakan ada perasaan yang aneh saat murid-murid itu memanggil aku “Pak”, Pak Guru! Sungguh, rasanya seperti ada sesuatu yang membuat geli ikut mengalir di pembuluh darahmu. Setelah sekian lama kau terbiasa memanggil seseorang yang berdiri di depan kelas dengan sebutan “Pak”, kini sebutan itu kau yang sandang. Mereka kini memanggil kau dengan panggilan itu.
          Luar biasa!
          Jika diizinkan, aku lebih ingin dipanggil kakak saja. Tapi mana mungkin ada kakak guru, bukan?
          “Bapak baru lulus kuliah ya?” seorang anak, laki-laki, lebih besar dari aku tiba-tiba bertanya.
          Kujawab iya.
          “Bapak kuliah sastra?” kali ini perempuan, duduk paling depan.
          Kuulangi lagi jawaban iya.
          Jalan Menikung, bapak tahu novel itu?” tanya si perempuan itu.
          “Tahu. Kenapa?”
          “Pengarangnya siapa, ya?”
          Aku benci tatapan selidik anak ini. Aku tahu benar: dia tahu. Mencoba mengetes pengetahuanku sepertinya. Baik, kuladeni.
          “Pengarang Jalan Menikung adalah orang yang sama dengan pengarang Sri Sumarah.”
          “Salah, Pak! Jawabannya Umar Kayam,” ucapnya. Tersenyum menang.
          “Kamu enggak tahu Sri Sumarah?” tanyaku.
          Dia menggeleng.
          Bawuk?”
          Menggeleng lagi.
          Seribu Kunang-kunang di Manhattan?”
          Dijawabnya lagi dengan gelengan kepala.
          “Kalau Para Priyayi?”
          “Umar Kayam.”
          “Oke, kali ini bagaimana jika kita belajar sastra saja?”
          “Oke!” koor anak-anak.
          Terkesan dadakan, padahal materi yang kusiapkan untuk saat ini memang tentang sastra.

“TENANG. Pejamkan mata kalian. Apa yang kalian lihat di sana? Gelap, bukan?” kuperdengarkan pada mereka Chopin, Prelude in A-Major. “Bayangkan, ada sebatang pohon di sana. Pohon yang sangat rindang. Sepoi angin bertiup di sana, menggoyangkan semua daun-daun di ujung rantingnya. Dengarlah desir suara itu.”
          Lagu kuganti, Etude in A-Flat Major.
          “Lalu,” kuputar irama waltz, “ada dua anak, laki-laki dan perempuan, berlarian riang di sana. Mereka menari-nari. Si perempuan menari lincah sekali. Yang laki-laki tak mau kalah. Dia ikut menggerakkan tubuhnya. Tapi ia tidak pandai menari. Gemulainya jadi terlihat lucu. Si anak perempuan tertawa melihatnya.”
Beberapa muridku tersenyum.
          “Hari telah sore. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Sebelum itu mereka berjanji bahwa esok, pada waktu yang sama seperti waktu bertemu hari ini, mereka akan berjumpa lagi di sini.
          “Keesokannya, tepat pukul tiga sesuai janji, mereka datang. Tapi apa yang dilihat mereka? Pohon itu tak ada. Sambil berpegangan tangan, mereka menatap bagian pohon yang tersisa: pokok pohon dengan patahan yang tak rata. Badai semalam rupanya menumbangkan pohon itu.”
          Aku diam sejenak.
          “Oke, buka mata kalian!”
          Serentak mereka membuka mata.
          “Sekarang, coba buat kelanjutan kisah tadi!”
          Mereka asyik membuat lanjutan ceritanya. Ini untuk pertama kalinya aku melakukan pembelajaran dengan cara seperti ini. Mereka tampak bersemangat membuat cerita itu. Beberapa saling mengobrol hendak tahu cerita seperti apa yang dibuat oleh temannya, membuat suara mendengung saling meledek, saling kagum.
          “Sudah?” tanyaku saat mayoritas mereka sudah meletakkan alat tulisnya.
          “Sudah!” jawab mereka kompak.
          Kutunjuk salah satu dari mereka untuk membacakan apa yang elah ditulisnya. Pilihanku tepat tertuju pada anak perempuan yang bertanya tentang Umar Kayam tadi.
          “Coba bacakan, biar yang lain tahu,” pintaku.
Tanpa keraguan sedikit pun, dia bangun dari tempat duduknya, berjalan, dan berdiri di muka kelas.

          Sambil berpegangan tangan, kedua anak itu kembali berjanji untuk menanam kembali sebuah pohon di sana. Dua puluh tahun lagi mereka akan bermain lagi di bawah pohon rindang di tempat itu. Dengan penuh semangat mereka menceritakan tentang robohnya pohon itu pada ayah-ibunya masing-masing sambil merengek agar ditanamkan kembali pohon yang baru di sana. Orang tua si perempuan pun kemudian menghubungi orang tua anak laki-laki membicarakan tentang masalah itu, yang ditanggapi dengan sangat antusias oleh orang tua anak laki-laki karena bagaimana pun anaknya juga meminta hal yang sama.
          Maka jadilah, dua keluarga itu kemudian membeli pohon kecil yang kemudian ditanam di tempat itu setelah pohon tumbangnya dibereskan.
          Berhari-hari, setiap hari, keduanya rutin datang untuk menyirami pohon itu. mereka jadi memiliki tempat sekaligus cara bermain yang baru, menyirami pohon kecil. Mereka amat menikmati itu.
          Hingga akhirnya orang tua si laki-laki harus dipindahkan bekerja.
          Dalam sebuah perpisahan haru, si perempuan mengingatkan agar anak laki-laki itu datang kembali sembilan belas tahun kemudian. Si anak laki-laki dengan mantap mengiyakan.

          Dia menarik napas sebentar, memandangi temannya, kemudian melihat aku.
          “Lanjut! Belum selesai, kan?” tanyaku.

          Dan kemudian, di hari yang dijanjikan, si anak perempuan datang. Dia tidak menemukan teman masa kecilnya di tempat itu. Dari surat yang dikirim lelaki itu, ia berkata akan datang, tapi di mana?
          Dia menunggu sambil melihat pohon yang dulu ditanamnya. Pohon itu kini telah menjadi sangat rimbun, sebagaimana pohon tempat dia dan temannya itu bermain dulu. Ingatan tentang itu membuatnya tersenyum, walaupun dalam hati dia gelisah menunggu temannya.
          Sejak perpisahannya dulu, mereka tidak pernah lagi bertemu. Hanya tulisan yang dikirim dan diterimanya saja yang menghubungkan mereka berdua. Jarak Indonesia—Australia sulit ditempuh dengan cepat saat itu, meskipun keinginan untuk bertemu sangat menggebu.
          Sementara gadis itu gelisah menunggu, dia tidak tahu bahwa sepasang mata sedang tersenyum di atas pohon itu.

          “Sekian,” kata murid perempuan itu menutup ceritanya. Aku tersenyum sambil bertepuk tangan, memimpin teman-temannya melakukan hal serupa.
          Anak itu tersenyum senang. Kemudian duduk kembali.    

SELEPAS kelas pertama itu, aku kembali ke ruang guru. Di sana kutemukan Pak Rahmat, si guru tua gondrong itu sedang duduk asyik di kursinya. Dia bertanya padaku bagaimana kelas pertamaku. Kuletakkan buku-bukuku, lalu duduk di dekatnya.
          Gimana?” tanyanya mengulang pertanyaan.
          “Yah, begitu lah, Pak,” jawabku sekenanya.
          “Begitu gimana?”
          “Tadi sih asyik-asyik aja.”
          Ah, mungkin mereka masih segan sama guru baru.”
          “Maksudnya, Pak?”
          “Liat saja kalau mereka sudah kenal kamu nanti,” dia tertawa.
          “Bapak megang kelas itu juga?”
          “Guru kesenian di sini kan cuma saya.”
          Wow¸ berarti Pak Guru Gondrong ini mengajar semua kelas!
          Kami—tepatnya hanya Pak Rahmat—bercerita tentang pengalamannya mengajar di sini. Pak tua ini orang yang asyik juga ternyata. Dia tidak seperti guru-guru senior yang ada dalam bayanganku yang lebih senang memberi petuah-wejangan-bermanfaat untuk guru baru sepertiku. Pak Rahmat lebih mirip seorang teman sebaya yang lebih banyak candanya dibanding nasihat-nasihat.
          Pak Rahmat adalah guru favoritku. Belakangan kutahu ia juga guru favorit para siswa.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar