TERMASUK
aku, ada tiga guru bahasa Indonesia di
sekolah ini. Dia tidak ada saat pertama aku datang.
Kata
Paman guru satu ini perempuan, muda dan cantik.
Bahkan
Paman pun memuji kecantikannya.
Dan
hari ini guru itu datang.
Guru
muda, bahasa Indonesia, dan cantik. Insting jomblo
menuntutku berpenampilan terbaik: baju terbaik, celana tersetrika rapi, sepatu
tersemir sempurna, dan tak lupa parfum. Cermin mengatakan aku tampan sekali
saat itu.
AKU
sampai di sekolah pagi sekali. Hanya sepersekian menit dari satpam tua
menyebalkan itu. Sama seperti saat pertama dulu, ia menyambutku dengan mesem-mesem. Mungkin dia dan mesem-mesem sudah seperti harimau dan
taring. Kubalas lagi senyumnya dengan senyum termanis yang bisa kubuat.
Jika
di dekatnya, menu senyumku langsung otomatis menyalakan tombol on.
Ruang
guru masih sepi. Kelengangan tiada dua. Hanya ada aku, kursi dan pasangannya:
meja, tumpukan buku-buku, tugas-tugas murid, dan foto-foto dalam pigura kecil
yang terpajang di meja masing-masing: mengingatkan mereka pada keluarga,
menghadirkannya di sini, di tempat mengajar.
Aku
duduk di mejaku yang masih tersusun rapi. Memandangi sekeliling, hanyut ke masa
lalu. Ruang guru yang kosong. Tak pernah terpikir sebelumnya untuk menjadi
penghuni sepasang meja-kursi di satu-satunya ruangan yang paling malas
kusambangi di sekolah.
Masih
jam enam kurang empat belas.
Kuhampiri
dispenser. Air panas sudah tersedia. Kuseduh kopi pekat. Sekalipun Jakarta,
pagi-pagi seperti ini lumayan dingin juga.
Kopiku
mengepul, menyebar aroma khasnya ke seluruh ruangan.
Kubawa
ia keluar. Menyambangi Anto yang sedang asyik menyapu pinggir lapangan dengan headset bertengger mantap di telinganya.
“Kopi,
To!”
Basa-basi.
Kutahu ia akan menolak.
“Sudah,
Pak.”
“Udah lama kerja di sini?” tanyaku
mencoba membuka obrolan.
Anto—sekiraku—sebaya
denganku. Mungkin beda satu atau dua tahun lebih muda. Agak jengah juga aku
dipanggil “Pak” oleh dia. Menunjukkan rasa hormat? Aku tak butuh sebenarnya.
Tapi toh dia tetap saja memanggil aku “Pak” meskipun kuminta sebut saja nama.
“Udah hampir tiga tahun, Pak,” ucapnya
sambil mencopot headset-nya. Sayup
kudengar dari sana—saking kerasnya volume yang ia putar—lagu dari band yang
sedang in pada masanya. Irama melayu
yang begitu kental dengan suara berat khas vokalisnya: ST12.
“Kerasan
di sini?”
“Suasananya
lumayan, Pak. Murid-muridnya juga pada asyik,
bisa diajak becanda. Jadi enggak bosen
juga. Guru-gurunya juga baik.”
Kuseruput
kopiku. Beberapa guru sudah mulai datang. Kusapa mereka dari jauh.
“Elu lulusan sini, To?”
Anto
menggeleng.
“Bukan.
Saya cuma lulus SMP,” jawabnya.
Aku
hanya manggut-manggut.
Lapangan
sudah bersih. Anto sudah menyelesaikan sapuannya.
“Saya
ke halaman dulu ya, Pak!”
“Silakan,” sahutku. Anto kemudian pergi.
Kopiku
tinggal separuh gelas. Kutatap lapangan yang sudah bersih, kosong. Ah, apa yang
bisa aku lakukan di sini?
Maka
beranjaklah aku. Ke kantin. Berharap ada yang sudah menjual makanan, namun nihil. Semua
masih tutup.
Kulihat
pergelangan tangan kiri: masih jam enam.
Datang terlalu
pagi membosankan juga yah!
Aku
jadi ingat kebiasaan sekolahku. Dulu, setiap pagi guru-guruku—yang paling rutin
adalah wakasek, guru agama, guru BK, dan beberapa guru yang kadang mau, lebih
sering emoh—serta kadang kepsek
berdiri di gerbang depan menyambut para siswa yang datang, sambil ramah-tamah,
menggoda kami, mengecek kerapian kami: menasihati kami seandainya berantakan,
lalu meminta kami masuk ke pos satpam. Ruangan kotak sempit yang kami tak pernah
menyebutnya pos satpam, melainkan kamar ganti.
Aku
jadi rindu saat-saat seperti itu.
Maka
jadilah, dengan masih membawa kopi yang sudah tak lagi mengepul, aku berjalan
menuju gerbang. Sendirian—ditemani gelas kopi jika dihitung, berdiri aku di
sana.
Nostalgia,
hanya beda peran.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Satu
persatu siswa yang datang menyalamiku.
“Wah,
rajin juga lu dateng gini hari.”
“Saya
mah rajin, Pak. Emangnya dia nih.”
Seorang
siswa urakan menuding temannya yang berjalan di belakangnya.
“Eh,
kunyuk. Kita kan dateng barengan, gimana ceritanya elu lebih rajin?”
Aku
dan si urakan itu tertawa.
“Yaudah,
yaudah. Itu baju dirapiin dulu.”
“Yailah,
Pak. Masih pagi udah disuruh rapi aja.”
“Apa
urusannya sama masih pagi. Cepet rapiin!”
“Males
ah, Pak!”
“Nah,
nah. Ada Pak Kepsek tuh.”
Tanpa
menoleh, dua manusia ini langsung merapikan pakaiannya. Tawaku pecah melihat
mereka percaya gertakanku. Namun tawaku langsung berhenti karena ternyata
kepala sekolah benar-benar muncul.
“Assalamualaikum, Pak.”
SUDAH hampir
pukul setengah tujuh. Guru piket pasti sudah pemanasan untuk memencet bel. Dan
si bel, setelah beristirahat semalaman, pasti akan dengan senang hati
meraung-raung, meminta murid masuk dan duduk rapi di kelas, juga memaksa mereka
yang baru datang berlarian agar tak kena poin hukuman.
Aku
pun bergegas masuk. Kopiku yang tinggal setengah sudah benar-benar dingin.
Si
Satpam tua sudah mulai menggeser pagar gerbang, menyisakan sedikit ruang untuk
mereka yang terengah-engah. Kutinggalkan gerbang. Masuk.
Aku
ada kelas jam pertama.
Mana guru
perempuan itu?
“JADI bener
kamu!”
Aku
tak mampu berkata-kata. Kalimat tadi kudengar dari mulut yang suaranya sangat
kukenal. Suara yang sudah lama tak menyapa telingaku.
“Tadi
aku liat ada guru yang baru aku lihat masuk XI IPS 1. Tuh orang kayaknya aku kenal, mirip kamu dari belakang. Eh, bener!”
Aku
sama sekali tidak menyangka jika satu guru bahasa Indonesia yang Paman bilang
cantik itu adalah Putri Gayatri Rajapatni.
Pertemuan
kembali dengan Putri membuatku kembali mengenang saat-saat kuliah dulu.
Putri
tampak masih seperti dulu. Tak ada yang berubah dari penampilannya. Senyumnya
masih sama: indah. Tatap matanya masih sama: indah. Bening suaranya masih sama:
indah. Hitam rambutnya, gerak tubuhnya, gaya berjalannya, parfumnya, masih
sama: indah.
Aku
menemukannya duduk di ruang guru.
“Jadi
guru baru itu kamu!” Sungguh, suaranya masih semanja dulu.
“Hai!”
kata pertama yang—setelah kupikir-pikir—bodoh juga. Aku diam beberapa saat tak
mampu menemukan kata-kata melanjutkan hai-ku.
“Kalau
tau guru barunya kamu, harusnya aku gak sakit kemarin!”
Sakit! Aku
menemukan apa yang harus kukatakan!
“Sakit?
Kamu sakit apa?”
“Gak
apa-apa, gak sakit parah kok!” jawabnya dengan senyum yang membuatku merasa
beruntung terlahir di dunia.
Kami
pun larut dalam perbincangan yang hangat. Saking serunya sampai-sampai aku tak
menyadari kehadiran paman ruang guru.
“Lho,
kalian saling kenal?”tanyanya.
“Kami
satu kampus, Pak. Satu kelas malah,” kata Putri menjelaskan.
“Wah,
sekalian reuni dong nih,” Pak Tarigan tiba-tiba bergabung.
Jam
istirahat pertama. Ruang guru semakin ramai. Mereka ikut bergabung dengan
Paman, Pak Tarigan, Putri, dan Aku. Mengetahui Putri dan aku dulu sekelas
membuat rasa ingin tahu mereka memuncak. Mereka ingin tahu seperti apa Putri saat
kuliah dulu. Kuceritakan saja apa adanya.
SAAT
pulang, aku menawarkan diri mengantar Putri. Dia setuju.
Padahal
tidak ada hujan, tapi aku melihat ada pelangi saat Putri duduk di jok belakang
vespaku. Siapa pula yang menaruh bunga-bunga di sekitarku? Tidak ada? Mengapa
aku menghirup kesegaran bunga-bunga itu saat Putri memegang pinggangku? Aku
hapal wangi parfum Putri. Yang kubaui ini jelas bukan harum parfumnya.
Vespa
melaju. Suaranya cemprengnya terdengar seperti suara mesin Lamborghini. Dan
lihatlah! Sepertinya tadi aku memakai kemeja lusuh, mengapa pakaianku sekarang
serapi ini?
“Hei,
kita mau ke mana?”
Kembali
tercium bau polusi. Ke mana wangi bunga-bunga tadi? Suara cempreng ini? Baju
ini?
“Hei!”
“Iya?”
jawabku panik. Dunia yang tadi kulihat tiba-tiba berubah.
“Kita
mau ke mana?” tanya Putri.
“Ke
rumah kamu, lah,” kesadaranku sudah sepenuhnya kembali.
“Emang
kamu tau?”
Pertanyaannya
itu memaksaku meminggirkan si Vespa ke tepi jalan. Mengembangkan senyuman
bodoh.
“Rumah
kamu di mana, ya?”
Dipukulnya
helmku.
(bersambung)
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar