Translate

Rabu, 26 Juni 2013

KARENA AKU: III


TERMASUK aku, ada tiga guru bahasa Indonesia di sekolah ini. Dia tidak ada saat pertama aku datang.
          Kata Paman guru satu ini perempuan, muda dan cantik.
          Bahkan Paman pun memuji kecantikannya.
          Dan hari ini guru itu datang.
          Guru muda, bahasa Indonesia, dan cantik. Insting jomblo menuntutku berpenampilan terbaik: baju terbaik, celana tersetrika rapi, sepatu tersemir sempurna, dan tak lupa parfum. Cermin mengatakan aku tampan sekali saat itu.

AKU sampai di sekolah pagi sekali. Hanya sepersekian menit dari satpam tua menyebalkan itu. Sama seperti saat pertama dulu, ia menyambutku dengan mesem-mesem. Mungkin dia dan mesem-mesem sudah seperti harimau dan taring. Kubalas lagi senyumnya dengan senyum termanis yang bisa kubuat.
          Jika di dekatnya, menu senyumku langsung otomatis menyalakan tombol on.
          Ruang guru masih sepi. Kelengangan tiada dua. Hanya ada aku, kursi dan pasangannya: meja, tumpukan buku-buku, tugas-tugas murid, dan foto-foto dalam pigura kecil yang terpajang di meja masing-masing: mengingatkan mereka pada keluarga, menghadirkannya di sini, di tempat mengajar.
          Aku duduk di mejaku yang masih tersusun rapi. Memandangi sekeliling, hanyut ke masa lalu. Ruang guru yang kosong. Tak pernah terpikir sebelumnya untuk menjadi penghuni sepasang meja-kursi di satu-satunya ruangan yang paling malas kusambangi di sekolah.
          Masih jam enam kurang empat belas.
          Kuhampiri dispenser. Air panas sudah tersedia. Kuseduh kopi pekat. Sekalipun Jakarta, pagi-pagi seperti ini lumayan dingin juga.
          Kopiku mengepul, menyebar aroma khasnya ke seluruh ruangan.
          Kubawa ia keluar. Menyambangi Anto yang sedang asyik menyapu pinggir lapangan dengan headset bertengger mantap di telinganya.
          “Kopi, To!”
          Basa-basi. Kutahu ia akan menolak.
          “Sudah, Pak.”
          Udah lama kerja di sini?” tanyaku mencoba membuka obrolan.
Anto—sekiraku—sebaya denganku. Mungkin beda satu atau dua tahun lebih muda. Agak jengah juga aku dipanggil “Pak” oleh dia. Menunjukkan rasa hormat? Aku tak butuh sebenarnya. Tapi toh dia tetap saja memanggil aku “Pak” meskipun kuminta sebut saja nama.
          Udah hampir tiga tahun, Pak,” ucapnya sambil mencopot headset-nya. Sayup kudengar dari sana—saking kerasnya volume yang ia putar—lagu dari band yang sedang in pada masanya. Irama melayu yang begitu kental dengan suara berat khas vokalisnya: ST12.
          “Kerasan di sini?”
          “Suasananya lumayan, Pak. Murid-muridnya juga pada asyik, bisa diajak becanda. Jadi enggak bosen juga. Guru-gurunya juga baik.”
          Kuseruput kopiku. Beberapa guru sudah mulai datang. Kusapa mereka dari jauh.
          Elu lulusan sini, To?”
          Anto menggeleng.
          “Bukan. Saya cuma lulus SMP,” jawabnya.
          Aku hanya manggut-manggut.
          Lapangan sudah bersih. Anto sudah menyelesaikan sapuannya.
          “Saya ke halaman dulu ya, Pak!”
          “Silakan, sahutku. Anto kemudian pergi.
          Kopiku tinggal separuh gelas. Kutatap lapangan yang sudah bersih, kosong. Ah, apa yang bisa aku lakukan di sini?
          Maka beranjaklah aku. Ke kantin. Berharap ada yang sudah menjual makanan, namun nihil. Semua masih tutup.
          Kulihat pergelangan tangan kiri: masih jam enam.
          Datang terlalu pagi membosankan juga yah!
          Aku jadi ingat kebiasaan sekolahku. Dulu, setiap pagi guru-guruku—yang paling rutin adalah wakasek, guru agama, guru BK, dan beberapa guru yang kadang mau, lebih sering emoh—serta kadang kepsek berdiri di gerbang depan menyambut para siswa yang datang, sambil ramah-tamah, menggoda kami, mengecek kerapian kami: menasihati kami seandainya berantakan, lalu meminta kami masuk ke pos satpam. Ruangan kotak sempit yang kami tak pernah menyebutnya pos satpam, melainkan kamar ganti.
          Aku jadi rindu saat-saat seperti itu.
          Maka jadilah, dengan masih membawa kopi yang sudah tak lagi mengepul, aku berjalan menuju gerbang. Sendirian—ditemani gelas kopi jika dihitung, berdiri aku di sana.
          Nostalgia, hanya beda peran.
          Assalamualaikum.”
          Waalaikumsalam.”
          Satu persatu siswa yang datang menyalamiku.
          “Wah, rajin juga lu dateng gini hari.”
          “Saya mah rajin, Pak. Emangnya dia nih.”
          Seorang siswa urakan menuding temannya yang berjalan di belakangnya.
          “Eh, kunyuk. Kita kan dateng barengan, gimana ceritanya elu lebih rajin?”
          Aku dan si urakan itu tertawa.
          “Yaudah, yaudah. Itu baju dirapiin dulu.”
          “Yailah, Pak. Masih pagi udah disuruh rapi aja.”
          “Apa urusannya sama masih pagi. Cepet rapiin!”
          “Males ah, Pak!”
          “Nah, nah. Ada Pak Kepsek tuh.”
          Tanpa menoleh, dua manusia ini langsung merapikan pakaiannya. Tawaku pecah melihat mereka percaya gertakanku. Namun tawaku langsung berhenti karena ternyata kepala sekolah benar-benar muncul.
          Assalamualaikum, Pak.”

SUDAH hampir pukul setengah tujuh. Guru piket pasti sudah pemanasan untuk memencet bel. Dan si bel, setelah beristirahat semalaman, pasti akan dengan senang hati meraung-raung, meminta murid masuk dan duduk rapi di kelas, juga memaksa mereka yang baru datang berlarian agar tak kena poin hukuman.
          Aku pun bergegas masuk. Kopiku yang tinggal setengah sudah benar-benar dingin.
          Si Satpam tua sudah mulai menggeser pagar gerbang, menyisakan sedikit ruang untuk mereka yang terengah-engah. Kutinggalkan gerbang. Masuk.
          Aku ada kelas jam pertama.
          Mana guru perempuan itu?

“JADI bener kamu!”
          Aku tak mampu berkata-kata. Kalimat tadi kudengar dari mulut yang suaranya sangat kukenal. Suara yang sudah lama tak menyapa telingaku.
          “Tadi aku liat ada guru yang baru aku lihat masuk XI IPS 1. Tuh orang kayaknya aku kenal, mirip kamu dari belakang. Eh, bener!”
          Aku sama sekali tidak menyangka jika satu guru bahasa Indonesia yang Paman bilang cantik itu adalah Putri Gayatri Rajapatni.
          Pertemuan kembali dengan Putri membuatku kembali mengenang saat-saat kuliah dulu.
Putri tampak masih seperti dulu. Tak ada yang berubah dari penampilannya. Senyumnya masih sama: indah. Tatap matanya masih sama: indah. Bening suaranya masih sama: indah. Hitam rambutnya, gerak tubuhnya, gaya berjalannya, parfumnya, masih sama: indah.
          Aku menemukannya duduk di ruang guru.
          “Jadi guru baru itu kamu!” Sungguh, suaranya masih semanja dulu.
          “Hai!” kata pertama yang—setelah kupikir-pikir—bodoh juga. Aku diam beberapa saat tak mampu menemukan kata-kata melanjutkan hai-ku.
          “Kalau tau guru barunya kamu, harusnya aku gak sakit kemarin!”
          Sakit! Aku menemukan apa yang harus kukatakan!
          “Sakit? Kamu sakit apa?”
          “Gak apa-apa, gak sakit parah kok!” jawabnya dengan senyum yang membuatku merasa beruntung terlahir di dunia.
          Kami pun larut dalam perbincangan yang hangat. Saking serunya sampai-sampai aku tak menyadari kehadiran paman ruang guru.
          “Lho, kalian saling kenal?”tanyanya.
          “Kami satu kampus, Pak. Satu kelas malah,” kata Putri menjelaskan.
          “Wah, sekalian reuni dong nih,” Pak Tarigan tiba-tiba bergabung.
          Jam istirahat pertama. Ruang guru semakin ramai. Mereka ikut bergabung dengan Paman, Pak Tarigan, Putri, dan Aku. Mengetahui Putri dan aku dulu sekelas membuat rasa ingin tahu mereka memuncak. Mereka ingin tahu seperti apa Putri saat kuliah dulu. Kuceritakan saja apa adanya.

SAAT pulang, aku menawarkan diri mengantar Putri. Dia setuju.
          Padahal tidak ada hujan, tapi aku melihat ada pelangi saat Putri duduk di jok belakang vespaku. Siapa pula yang menaruh bunga-bunga di sekitarku? Tidak ada? Mengapa aku menghirup kesegaran bunga-bunga itu saat Putri memegang pinggangku? Aku hapal wangi parfum Putri. Yang kubaui ini jelas bukan harum parfumnya.
          Vespa melaju. Suaranya cemprengnya terdengar seperti suara mesin Lamborghini. Dan lihatlah! Sepertinya tadi aku memakai kemeja lusuh, mengapa pakaianku sekarang serapi ini?
          “Hei, kita mau ke mana?”
          Kembali tercium bau polusi. Ke mana wangi bunga-bunga tadi? Suara cempreng ini? Baju ini?
          “Hei!”
          “Iya?” jawabku panik. Dunia yang tadi kulihat tiba-tiba berubah.
          “Kita mau ke mana?” tanya Putri.
          “Ke rumah kamu, lah,” kesadaranku sudah sepenuhnya kembali.
          “Emang kamu tau?”
          Pertanyaannya itu memaksaku meminggirkan si Vespa ke tepi jalan. Mengembangkan senyuman bodoh.
          “Rumah kamu di mana, ya?”
          Dipukulnya helmku.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar