BENAR,
menjadi guru benar-benar menghadirkan nostalgia kegilaan remaja. Melihat mereka
berkerumun di kantin saat istirahat mengingatkan aku pada aktivitas serupa.
Tanpa sadar aku bergabung dengan mereka.
“Lagi
bingung nih, Pak. Sebentar lagi pensi, kami mau tampil tapi kekurangan orang,”
kata salah satu dari siswa yang duduk di sebelahku.
Pensi
diadakan bulan ini, memperingati hari lahir sekolah.
“Carilah.
Apa susahnya nyari personel?”
“Susah
nyari yang ber-skill dan sehati, Pak,”
keluh mereka.
“Ah,
gaya kalian. Kayak kalian ber-skill
aja.”
“Eits,
jangan salah,” ucap salah satu dari mereka.
“Jangan
salah apa?” potongku.
“Kami
emang enggak ber-skill, Pak. Makanya
nyari yang ber-skill supaya unskill
kami ke-cover.”
Mereka
tertawa. Aku juga.
Tertawa
bersama benar-benar menyenangkan.
“Emangnya
kalian mau perform apa sih?” tanyaku
melanjutkan pembicaraan.
“Band,
Pak. Tampang ganteng kayak kami kan enggak ada tampang seni lain selain band.
Iya gak?”
“Enggak
ah,” jawab temannya. “Emang iya, Crut?”
“Enggak
juga. Muka lu cocok jadi penari.”
“Penari
topeng!”
“Muka
lu tuh, pas buat seni ukiran.”
Menertawakan
teman memang menyenangkan. Ups!
“Muka
lu tuh, persis kecrekan tutup botol!”
“Ah,
bas betot!”
“Harmonika
jigongan!”
“Eh
eh ada Silvi.”
“Hai
Silvi!”
Perkara
Silvi mereka kompak.
TADI pagi
aku melakukan lagi, berdiri di gerbang menyapa yang datang. Kali ini tidak
sendiri. Putri datang pagi. Dia menemaniku.
Aku
ditemani Putri.
Aku
ditemani Putri!
“Aku
enggak pernah kepikiran, hal sederhana gini seru juga yah,” katanya sambil
sibuk meladeni siswa yang menyalaminya.
“Iya,
kita bisa tahu mana murid yang dateng pagi, mana yang dateng mepet-mepet. Mana
yang dateng rapi, mana yang kusut. Kayak ini nih contohnya.”
Seorang
siswa berbadan besar, gemuk hitam, dengan baju dimasukkan sekenanya menjadi
sasaran tunjukku.
“Saya
kenapa, Pak?” tanyanya bingung karena mendadak aku menjadikannya contoh.
Mungkin dia mengira aku menjadikannya contoh evolusi bekantan yang terpapar matahari.
“Itu
baju rapiin!”
“Emang
begini belum rapi, Pak?” ia mencoba memasukkan lagi bajunya yang keluar.
Seadanya. Hasilnya jauh dari rapi.
“Eh,
yang bener dong. Ganteng-ganteng masa berantakan sih,” Putri turun tangan.
“Iya,
Bu. Siap,” dia langsung memasukkan bajunya dengan benar. Bahkan langsung ngaca di Avanza-nya kepsek.
“Heh,
dasar! Bu Putri yang bilang aja langsung nurut, saya yang nyuruh begitu.”
“Ya
beda lah, Pak. Bapak jelek, Bu Putri cantik.”
“Lalu?”
tanyaku. Belum menemukan apa korelasi antara jelek cantik dan menuruti perintah
merapikan baju.
“Ya
enggak apa-apa sih, Pak. Cuma mau ngasih tahu kalo Bu Putri cantik, Bapak
jelek. Saya pikir tadi di sini ada syuting beauty
and the beast.”
Sompret!
ENTAH apa
sebabnya, tiap aku masuk kelas ini mereka selalu sangat senang. Mungkin karena
kesan pembelajaran pertamaku di kelas ini berkenan bagi mereka, atau mungkin
gaya mengajarku sesuai dengan yang mereka mau, atau mungkin juga senang karena
tidak harus serius dan dapat bercanda saat kelasku. Entahlah. Selama mereka
dapat menyerap materi yang aku sampaikan, kelakuan ajaib mereka di kelas
kuanggap sebagai pewarna menyenangkan dalam pembelajaranku.
Kelakuan
kelas ini memang benar-benar ajaib. Tapi tidak kusangkal juga, mereka cukup
cerdas untuk ukuran kelas seribut itu. Hampir semua pertanyaan yang kuberikan
untuk sekadar mengetahui pemahaman mereka tidak pernah sepi dari jawaban benar.
Seberapa
ajaib kelas ini? Coba saja kau masuk ke sini. Kelas yang tak pernah tenang
kecuali saat ujian ini benar-benar dihuni oleh siswa yang luar biasa. Andai
saja mereka tidak bisa menjawab soal-soal yang kuberikan, aku tidak akan
ragu-ragu untuk membentak mereka satu persatu dan mengibarkan mereka di ujung
paling tinggi tiang bendera di lapangan dan kemudian memanggil siswa
sebanyak-banyaknya untuk menonton sambil bertepuk tangan, bukan hormat
sebagaimana layaknya pada bendera.
Ada
satu siswa yang hobi nyeletuk. Apa saja yang dikatakan tak pernah tidak selalu
disambut oleh celetukan teman lainnya. Tak jarang olehku juga. Ada juga bocah
lelaki besar dekil yang hobi menggoda teman perempuannya. Yang diganggu
bukannya rela-rela saja diganggu, tapi karena perawakan anak itu yang
mengerikan membuat perempuan-perempuan itu maklumi saja keadaannya—bocah itu
jomblo memprihatinkan.
Di
antara mereka, ada satu yang dengan tenang mendengarkan segala apa yang
kukatakan. Kadangkala disertai senyuman. Tampaknya dia sangat tertarik dengan
semua materi yang kami bahas.
Dia
adalah anak yang menanyakan Umar Kayam, yang cerita yang dibuatnya tempo hari
membuat aku hapal betul pada wajah dan namanya. Mungkin karena kegagalannya
mengerjaiku dulu ia jadi begitu tenang memperhatikan, atau mungkin karena
memang menganggap pembelajaran bahasa Indonesia begitu penting. Biarlah aku
tidak perlu tahu. Yang penting anak ini memiliki alasan yang membuatnya lebih
mudah memahami apa yang kusampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar