Translate

Kamis, 27 Juni 2013

KARENA AKU: V


BENAR, menjadi guru benar-benar menghadirkan nostalgia kegilaan remaja. Melihat mereka berkerumun di kantin saat istirahat mengingatkan aku pada aktivitas serupa. Tanpa sadar aku bergabung dengan mereka.
          “Lagi bingung nih, Pak. Sebentar lagi pensi, kami mau tampil tapi kekurangan orang,” kata salah satu dari siswa yang duduk di sebelahku.
          Pensi diadakan bulan ini, memperingati hari lahir sekolah.
          “Carilah. Apa susahnya nyari personel?”
          “Susah nyari yang ber-skill dan sehati, Pak,” keluh mereka.
          “Ah, gaya kalian. Kayak kalian ber-skill aja.”
          “Eits, jangan salah,” ucap salah satu dari mereka.
          “Jangan salah apa?” potongku.
          “Kami emang enggak ber-skill, Pak. Makanya nyari yang ber-skill supaya unskill kami ke-cover.”
          Mereka tertawa. Aku juga.
          Tertawa bersama benar-benar menyenangkan.
          “Emangnya kalian mau perform apa sih?” tanyaku melanjutkan pembicaraan.
          “Band, Pak. Tampang ganteng kayak kami kan enggak ada tampang seni lain selain band. Iya gak?”
          “Enggak ah,” jawab temannya. “Emang iya, Crut?”
          “Enggak juga. Muka lu cocok jadi penari.”
          “Penari topeng!”
          “Muka lu tuh, pas buat seni ukiran.”
          Menertawakan teman memang menyenangkan. Ups!
          “Muka lu tuh, persis kecrekan tutup botol!”
          “Ah, bas betot!”
          “Harmonika jigongan!”
          “Eh eh ada Silvi.”
          “Hai Silvi!”
          Perkara Silvi mereka kompak.

TADI pagi aku melakukan lagi, berdiri di gerbang menyapa yang datang. Kali ini tidak sendiri. Putri datang pagi. Dia menemaniku.
          Aku ditemani Putri.
          Aku ditemani Putri!
          “Aku enggak pernah kepikiran, hal sederhana gini seru juga yah,” katanya sambil sibuk meladeni siswa yang menyalaminya.
          “Iya, kita bisa tahu mana murid yang dateng pagi, mana yang dateng mepet-mepet. Mana yang dateng rapi, mana yang kusut. Kayak ini nih contohnya.”
          Seorang siswa berbadan besar, gemuk hitam, dengan baju dimasukkan sekenanya menjadi sasaran tunjukku.
          “Saya kenapa, Pak?” tanyanya bingung karena mendadak aku menjadikannya contoh. Mungkin dia mengira aku menjadikannya contoh evolusi bekantan yang terpapar matahari.
          “Itu baju rapiin!”
          “Emang begini belum rapi, Pak?” ia mencoba memasukkan lagi bajunya yang keluar. Seadanya. Hasilnya jauh dari rapi.
          “Eh, yang bener dong. Ganteng-ganteng masa berantakan sih,” Putri turun tangan.
          “Iya, Bu. Siap,” dia langsung memasukkan bajunya dengan benar. Bahkan langsung ngaca di Avanza-nya kepsek.
          “Heh, dasar! Bu Putri yang bilang aja langsung nurut, saya yang nyuruh begitu.”
          “Ya beda lah, Pak. Bapak jelek, Bu Putri cantik.”
          “Lalu?” tanyaku. Belum menemukan apa korelasi antara jelek cantik dan menuruti perintah merapikan baju.
          “Ya enggak apa-apa sih, Pak. Cuma mau ngasih tahu kalo Bu Putri cantik, Bapak jelek. Saya pikir tadi di sini ada syuting beauty and the beast.”
          Sompret!

ENTAH apa sebabnya, tiap aku masuk kelas ini mereka selalu sangat senang. Mungkin karena kesan pembelajaran pertamaku di kelas ini berkenan bagi mereka, atau mungkin gaya mengajarku sesuai dengan yang mereka mau, atau mungkin juga senang karena tidak harus serius dan dapat bercanda saat kelasku. Entahlah. Selama mereka dapat menyerap materi yang aku sampaikan, kelakuan ajaib mereka di kelas kuanggap sebagai pewarna menyenangkan dalam pembelajaranku.
          Kelakuan kelas ini memang benar-benar ajaib. Tapi tidak kusangkal juga, mereka cukup cerdas untuk ukuran kelas seribut itu. Hampir semua pertanyaan yang kuberikan untuk sekadar mengetahui pemahaman mereka tidak pernah sepi dari jawaban benar.
          Seberapa ajaib kelas ini? Coba saja kau masuk ke sini. Kelas yang tak pernah tenang kecuali saat ujian ini benar-benar dihuni oleh siswa yang luar biasa. Andai saja mereka tidak bisa menjawab soal-soal yang kuberikan, aku tidak akan ragu-ragu untuk membentak mereka satu persatu dan mengibarkan mereka di ujung paling tinggi tiang bendera di lapangan dan kemudian memanggil siswa sebanyak-banyaknya untuk menonton sambil bertepuk tangan, bukan hormat sebagaimana layaknya pada bendera.
          Ada satu siswa yang hobi nyeletuk. Apa saja yang dikatakan tak pernah tidak selalu disambut oleh celetukan teman lainnya. Tak jarang olehku juga. Ada juga bocah lelaki besar dekil yang hobi menggoda teman perempuannya. Yang diganggu bukannya rela-rela saja diganggu, tapi karena perawakan anak itu yang mengerikan membuat perempuan-perempuan itu maklumi saja keadaannya—bocah itu jomblo memprihatinkan.
          Di antara mereka, ada satu yang dengan tenang mendengarkan segala apa yang kukatakan. Kadangkala disertai senyuman. Tampaknya dia sangat tertarik dengan semua materi yang kami bahas.
Dia adalah anak yang menanyakan Umar Kayam, yang cerita yang dibuatnya tempo hari membuat aku hapal betul pada wajah dan namanya. Mungkin karena kegagalannya mengerjaiku dulu ia jadi begitu tenang memperhatikan, atau mungkin karena memang menganggap pembelajaran bahasa Indonesia begitu penting. Biarlah aku tidak perlu tahu. Yang penting anak ini memiliki alasan yang membuatnya lebih mudah memahami apa yang kusampaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar