Translate

Rabu, 26 Juni 2013

KARENA AKU: I


MATAHARI pagi membentuk bayangan menghadap utara.
          Aneh!
          Tapi aku tak begitu peduli. Aku lebih khawatir pada jam di dinding.
          06.15!
          Aku harus ada di sekolah  kurang dari setengah tujuh, sebelum upacara dimulai.
          Hanya menghabiskan waktu dua menit untuk mandi, berpakaian—untung baju sudah kusiapkan semalam—lalu menyisir rambut sekenanya. Buru-buru, kupacu motor Itali tua gendut andalanku. Suara cemprengnya saat kugeber membuat beberapa orang di jalan memerhatikanku. Mungkin mereka marah, mungkin jengkel, atau mungkin terpukau dengan vespaku. Entahlah. Aku tak peduli.
          Jarum jam terus berputar.

SESAMPAINYA di sekolah upacara telah dimulai. Bahkan sudah masuk doa! Seingatku doa dibaca di bagian akhir upacara. Setelah doa, pemimpin upacara akan melapor pada pembina upacara bahwa upacara telah selesai. Pembina upacara kemudian meninggalkan lapangan dan barisan dibubarkan. Berarti hampir selesai. Selesai!
          Si Satpam Tua mesem-mesem saat membukakan pagar sekolah dan kemudian menghampiriku.
          “Terlambat, Mas?” tanyanya.
          Sial! Senyum mengejeknya seakan memberitahuku kalau dia adalah orang pertama yang sampai di sekolah, lebih dari siapa pun. Sementara aku adalah orang terakhir yang datang.
          Masa bodoh!
          Kubalas senyumnya dengan senyum termanis yang bisa kulengkungkan.
          Buru-buru aku menyelinap di barisan guru. Beberapa dari mereka menyapa hangat dengan senyuman yang tak dibuat-buat. Beberapa pura-pura tidak tahu, atau mungkin benar-benar tidak tahu. Entahlah.                     Semoga kemungkinan terakhir yang benar.
          Hanya tidak lebih dari lima menit sejak aku berdiri, upacara selesai. Para siswa bubar tak karuan seperti semut yang sedang mengerubungi makanan lalu kautiup. Beberapa dari mereka langsung masuk kelas, sebagian besar menuju kantin. Mungkin haus. Dasar lemah! Baru berdiri seperti itu saja sudah lelah. Coba bayangkan perjuangan pahlawan dulu. Lelah kalian upacara tak ada apa-apanya!
          “Ah, tapi aku dulu seperti mereka juga ya?” batinku, lalu tertawa. Dalam hati tentu.
          Mengingat masa sekolah memang selalu membuat tersenyum!

SEKOLAH mulai tenang tanpa kegaduhan. Jam pelajaran pertama telah dimulai. Hebat! Mungkin guru jam pertama hari Senin adalah guru-guru yang mengerikan, yang mampu membuat siswa-siswa di dalam kelas duduk diam mendengarkan.
          Luar biasa! Benar-benar tenang!
          Aku sedang duduk di ruang guru, sedang asyik menikmati ketenangan itu sambil menyiapkan kelas pertamaku saat kepala sekolah tiba-tiba berdiri di depanku. Deg! Apa mungkin kepala sekolah yang tadi sedang jadi pembina upacara dan berdiri di atas podium jauh dari barisan guru tahu aku terlambat? Kurasa tidak. Aku yakin Pak Kepsek tadi tak melihatku. Mungkinkah Pak Kepsek mengabsen guru satu persatu sebelum upacara dan beliau tidak menemukanku? Mungkin saja.
          Tergagap aku menjawab salamnya.
          “Sudah siap mengajar, Pak?” tanyanya dengan suara menunjukkan wibawa. Entah apakah itu benar-benar suaranya atau hanya dibuat-buat.
          “Siap, Pak!” jawabku dengan senyum yang mantap, menurutku.
          “Semoga sukses ya!” beliau menjabat tanganku.

SETELAH hampir setahun menganggur pascalulus dari kampus mantan IKIP Jakarta itu, akhirnya aku kembali ke ibukota. Awalnya enggan juga aku mengajar, meskipun kuliah yang kuambil dan gelar yang ada di belakang namaku adalah gelar para guru. Jujur saja, aku masih kurang percaya diri berdiri di depan kelas. Padahal empat tahun sudah aku belajar untuk itu. Terpikir saat itu untuk mencoba mencari pekerjaan lain di luar keilmuanku. Gagal. Sempat juga ditawari bergabung dengan sebuah perusahaan MLM dan dengan pasrah kuikuti—daripada menganggur. Tapi nyatanya memang aku tak pandai membual. Aku tak berhasil menjual satu pun. Memang dulu aku kuliah bahasa, tapi aku tak pandai bicara.
          Tak pandai bicara, aku lumayan mahir menulis. Atas dasar kepercayaan diri itu aku pun mencoba menjadi penulis. Mungkin aku berbakat menjadi wartawan atau penulis artikel. Maka aku mencoba menulis. Tapi menganggur ternyata membuat aku apatis terhadap lingkungan luar. Aku tidak tahu apa yang bisa kutulis!
          Cerpen? Ya, cerpen! Bukankah dulu aku juga belajar sastra, setidaknya pemahaman dasarnya aku punya. Lalu menulislah aku. Lumayan lancar. Aku berhasil membuat satu cerpen di hari itu. Lalu kukirim ke surat kabar harian lokal di kotaku. Besoknya kubuat lagi. Kukirim lagi. Lumayan banyak. Aku mengagumi karya-karyaku sendiri.
          Bagus.
          Sayang, tak satu pun dimuat.

PAMANKU mengajar di sekolah ini, guru olahraga. Dia yang memberitahu sekolahnya kekurangan guru bahasa Indonesia dan menawariku posisi itu. Ayahku yang mendengarnya —dengan senyum yang licik—menggoyahkan kekeraskepalaanku, dibantu ibu dan tentunya pamanku itu.
          Menyerah, kuterima tawaran paman itu. Ayah senang sekali mendengarnya. Terlebih ibu. Kulihat matanya berbinar-binar. Terakhir aku melihat mata ibu berbinar seperti itu saat aku wisuda. Selama aku menganggur di rumah, mata ibu sesuram malam mendung di bulan mati. Makin suram saat menasihatiku mencari pekerjaan.
          Jadi guru!
          Paman hanya mengangguk-angguk melihat betapa senangnya kedua orang tuaku.
          Maka aku kembali ke Jakarta, meninggalkan pinggiran kota Bogor yang sejuk dan damai itu.

TAK ada yang istimewa dari sekolah ini. Tampak dari luar biasa saja: sebuah bangunan berlantai tiga dengan cat hijau tua dan muda. Tapi aku tertarik saat masuk ke dalam. Sepertinya mereka berusaha sekali membuat lingkungan dalam sekolah menjadi asri. Di mana ada tanah kosong, di sana mereka tanam pepohonan. Macam-macam. Memang, tak ada pohon berkayu. Pot-pot dengan pohon-pohon yang aku tak tahu namanya berjejer rapi, tiap satu setengah meter—tentu tidak pas benar. Depan ruang guru lebih semarak. Kembang sepatu dan beberapa bunga lain yang juga aku tak tahu namanya. Ah, mungkin aku harus lebih banyak membaca buku-buku tentang alam. Semoga tidak ada murid yang bertanya tentang tetumbuhan dan bebungaan.
          Setelah menemui kepala sekolah, ditemani paman, aku diperkenalkan di ruang guru. Hanya ada beberapa guru yang ada di sana, atau mungkin memang hanya sebanyak itu guru di sini. Aku belum mencari tahu tentang itu.
          Aku harus mendatangi guru-guru di ruangan itu satu persatu. Beberapa berdiri dan membalas dengan hangat saat aku ulurkan tangan hendak berjabatan. Tak sedikit juga yang hanya mendongakkan kepala, lalu memandangku dengan tatapan yang—jujur saja—malas aku melihatnya. Demi kesan pertama, aku terus menatapnya dengan senyum tersungging abadi di wajah.
          Dengan cepat aku menghapal nama mereka. Mudah. Beberapa memiliki keunikan tersendiri. Pertama, Madam Eli, guru bahasa Inggris. Perawakan yang sama persis dengan guru bahasa Inggris SMA-ku. Melihatnya aku jadi ingat remedial. Pelanggan setia! Lalu ada guru kesenian. Aku sudah menduganya dari awal, sebelum dia mengenalkan diri. Yah, bagaimana tidak, dia guru lelaki pertama yang kulihat berambut panjang, dikuncir ke belakang. Kelihatannya cukup senior. Namanya Pak Rahmat. Di sebelahnya tengah asyik dengan laptopnya, pasti guru TIK, pikirku. Ternyata bukan. Pak Tarigan, guru olah raga. Sedang asyik main solitaire. Lalu ada seorang guru muda, berkerudung. Bersalaman secara Islam. Kupikir guru agama, tapi salah lagi. Dia mengajar matematika dan fisika sekaligus. Hebat! Hampir tepuk tangan aku mendengarnya.
          Sisanya adalah para guru yang biasa-biasa saja. Hampir semua menyenangkan. Beberapa mendoakan agar aku sukses mengajar di sekolah ini. Tak sedikit yang memberiku wejangan-wejangan. Lainnya mengingatkanku tentang ajaibnya murid-murid di sini.
          Terakhir, di sudut dekat jendela ada guru muda lagi, laki-laki, memakai baju hitam-hitam. Sepertinya juga memakai pewarna hitam di bawah matanya—lagi-lagi aku tak tahu apa namanya, alat kosmetik yang aku tahu hanya lipstick dan bedak. Kali ini aku tak akan salah menebak, buku-buku di atas mejanya kukenal betul: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Istilah, KBBI edisi keempat, Sastra dan Ilmu Sastra A. Teeuw, Teori Pengkajian Fiksi Burhan Nurgiyantoro, dan beberapa buku lainnya.
Saat aku memperkenalkan diri, dia dengan anggun menutup buku yang sedang dibacanya sehingga terlihat jelas olehku: Rumah Kaca, buku terakhir tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer. Ia lalu menjabat tanganku dengan senyum menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi dengan senyumnya itu dia bertanya apa aku sudah membaca buku yang sedang dibacanya itu. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika aku menjawab belum. Jadi kujawab itu. Dia lantas menyarankan aku membacanya, lalu lanjut membaca dan mengacuhkan aku. Sial. Aku jadi ingin mendiskusikan karya Shakespeare, Sartre, Kafka, Tolstoy, Dostoevsky, Hugo, Akutagawa, Soseki dan lainnya bersamanya.
          Paman lalu mengajakku ke ruangan wakasek kurikulum. Saat aku meninggalkannya, si guru serba hitam itu melihatku dengan ekor matanya, lalu buru-buru kembali ke bacaannya saat aku menyadarinya.

BUNYI bel masuk pelajaran keempat bagiku terasa seperti terlalu banyak mengonsumsi kafein. Jantung berdetak sangat cepat. Cepat. Cepat! Untung aku dapat menguasai diri.
Aku jadi teringat saat PPL dulu. Di hari pertama masuk kelas, seperti saat ini juga, aku merasakan hal yang sama. Dada berdebar luar biasa. Keringat mulai bercucuran. Aku berdiri diam di depan kelas. Sepertinya kakiku gemetar. Kulihat beberapa siswa tersenyum menahan tawa. Beberapa saling berbisik. Kalimat pertama yang keluar dari mulutku adalah: “Kelas ini panas, ya?” sambil menyeka peluh di dahi. Semuanya tertawa, termasuk guru pamongku. Bagaimana tidak, tepat di atasku AC berhembus lumayan kencang.           Memalukan!
          Aku tak mau mengulang kebodohan itu. Kusongsong kelas dengan penuh wibawa, semampu yang aku bisa. Semua siswa memerhatikanku.
          Aku lalu memperkenalkan diri.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar