MATAHARI
pagi membentuk bayangan menghadap utara.
Aneh!
Tapi
aku tak begitu peduli. Aku lebih khawatir pada jam di dinding.
06.15!
Aku
harus ada di sekolah kurang dari
setengah tujuh, sebelum upacara dimulai.
Hanya
menghabiskan waktu dua menit untuk mandi, berpakaian—untung baju sudah
kusiapkan semalam—lalu menyisir rambut sekenanya. Buru-buru, kupacu motor Itali
tua gendut andalanku. Suara cemprengnya saat kugeber membuat beberapa orang di
jalan memerhatikanku. Mungkin mereka marah, mungkin jengkel, atau mungkin
terpukau dengan vespaku. Entahlah. Aku tak peduli.
Jarum
jam terus berputar.
SESAMPAINYA
di sekolah upacara telah dimulai. Bahkan sudah masuk doa! Seingatku doa dibaca
di bagian akhir upacara. Setelah doa, pemimpin upacara akan melapor pada
pembina upacara bahwa upacara telah selesai. Pembina upacara kemudian meninggalkan
lapangan dan barisan dibubarkan. Berarti hampir selesai. Selesai!
Si
Satpam Tua mesem-mesem saat
membukakan pagar sekolah dan kemudian menghampiriku.
“Terlambat,
Mas?” tanyanya.
Sial!
Senyum mengejeknya seakan memberitahuku kalau dia adalah orang pertama yang
sampai di sekolah, lebih dari siapa pun. Sementara aku adalah orang terakhir
yang datang.
Masa
bodoh!
Kubalas
senyumnya dengan senyum termanis yang bisa kulengkungkan.
Buru-buru
aku menyelinap di barisan guru. Beberapa dari mereka menyapa hangat dengan
senyuman yang tak dibuat-buat. Beberapa pura-pura tidak tahu, atau mungkin
benar-benar tidak tahu. Entahlah. Semoga kemungkinan terakhir yang benar.
Hanya
tidak lebih dari lima menit sejak aku berdiri, upacara selesai. Para siswa
bubar tak karuan seperti semut yang sedang mengerubungi makanan lalu kautiup.
Beberapa dari mereka langsung masuk kelas, sebagian besar menuju kantin.
Mungkin haus. Dasar lemah! Baru berdiri seperti itu saja sudah lelah. Coba
bayangkan perjuangan pahlawan dulu. Lelah kalian upacara tak ada apa-apanya!
“Ah,
tapi aku dulu seperti mereka juga ya?” batinku, lalu tertawa. Dalam hati tentu.
Mengingat
masa sekolah memang selalu membuat tersenyum!
SEKOLAH
mulai tenang tanpa kegaduhan. Jam pelajaran pertama telah dimulai. Hebat! Mungkin
guru jam pertama hari Senin adalah guru-guru yang mengerikan, yang mampu
membuat siswa-siswa di dalam kelas duduk diam mendengarkan.
Luar
biasa! Benar-benar tenang!
Aku
sedang duduk di ruang guru, sedang asyik menikmati ketenangan itu sambil
menyiapkan kelas pertamaku saat kepala sekolah tiba-tiba berdiri di depanku.
Deg! Apa mungkin kepala sekolah yang tadi sedang jadi pembina upacara dan
berdiri di atas podium jauh dari barisan guru tahu aku terlambat? Kurasa tidak.
Aku yakin Pak Kepsek tadi tak melihatku. Mungkinkah Pak Kepsek mengabsen guru
satu persatu sebelum upacara dan beliau tidak menemukanku? Mungkin saja.
Tergagap
aku menjawab salamnya.
“Sudah
siap mengajar, Pak?” tanyanya dengan suara menunjukkan wibawa. Entah apakah itu
benar-benar suaranya atau hanya dibuat-buat.
“Siap,
Pak!” jawabku dengan senyum yang mantap, menurutku.
“Semoga
sukses ya!” beliau menjabat tanganku.
SETELAH
hampir setahun menganggur pascalulus dari kampus mantan IKIP Jakarta itu,
akhirnya aku kembali ke ibukota. Awalnya enggan juga aku mengajar, meskipun
kuliah yang kuambil dan gelar yang ada di belakang namaku adalah gelar para
guru. Jujur saja, aku masih kurang percaya diri berdiri di depan kelas. Padahal
empat tahun sudah aku belajar untuk itu. Terpikir saat itu untuk mencoba
mencari pekerjaan lain di luar keilmuanku. Gagal. Sempat juga ditawari
bergabung dengan sebuah perusahaan MLM dan dengan pasrah kuikuti—daripada
menganggur. Tapi nyatanya memang aku tak pandai membual. Aku tak berhasil
menjual satu pun. Memang dulu aku kuliah bahasa, tapi aku tak pandai bicara.
Tak
pandai bicara, aku lumayan mahir menulis. Atas dasar kepercayaan diri itu aku
pun mencoba menjadi penulis. Mungkin aku berbakat menjadi wartawan atau penulis
artikel. Maka aku mencoba menulis. Tapi menganggur ternyata membuat aku
apatis terhadap lingkungan luar. Aku tidak tahu apa yang bisa kutulis!
Cerpen?
Ya, cerpen! Bukankah dulu aku juga belajar sastra, setidaknya pemahaman
dasarnya aku punya. Lalu menulislah aku. Lumayan lancar. Aku berhasil membuat
satu cerpen di hari itu. Lalu kukirim ke surat kabar harian lokal di kotaku.
Besoknya kubuat lagi. Kukirim lagi. Lumayan banyak. Aku mengagumi karya-karyaku
sendiri.
Bagus.
Sayang,
tak satu pun dimuat.
PAMANKU
mengajar di sekolah ini, guru olahraga. Dia yang memberitahu sekolahnya
kekurangan guru bahasa Indonesia dan menawariku posisi itu. Ayahku yang
mendengarnya —dengan senyum yang licik—menggoyahkan kekeraskepalaanku, dibantu
ibu dan tentunya pamanku itu.
Menyerah,
kuterima tawaran paman itu. Ayah senang sekali mendengarnya. Terlebih ibu. Kulihat matanya
berbinar-binar. Terakhir aku melihat mata ibu berbinar seperti itu saat aku
wisuda. Selama aku menganggur di rumah, mata ibu sesuram malam mendung di bulan
mati. Makin suram saat menasihatiku mencari pekerjaan.
Jadi
guru!
Paman
hanya mengangguk-angguk melihat betapa senangnya kedua orang tuaku.
Maka
aku kembali ke Jakarta, meninggalkan pinggiran kota Bogor yang sejuk dan damai
itu.
TAK
ada yang istimewa dari sekolah ini. Tampak dari luar biasa saja: sebuah
bangunan berlantai tiga dengan cat hijau tua dan muda. Tapi aku tertarik saat
masuk ke dalam. Sepertinya mereka berusaha sekali membuat lingkungan dalam sekolah
menjadi asri. Di mana ada tanah kosong, di sana mereka tanam pepohonan.
Macam-macam. Memang, tak ada pohon berkayu. Pot-pot dengan pohon-pohon yang aku
tak tahu namanya berjejer rapi, tiap satu setengah meter—tentu tidak pas benar.
Depan ruang guru lebih semarak. Kembang sepatu dan beberapa bunga lain yang
juga aku tak tahu namanya. Ah, mungkin aku harus lebih banyak membaca buku-buku
tentang alam. Semoga tidak ada murid yang bertanya tentang tetumbuhan dan
bebungaan.
Setelah
menemui kepala sekolah, ditemani paman, aku diperkenalkan di ruang guru.
Hanya ada beberapa guru yang ada di sana, atau mungkin memang hanya sebanyak
itu guru di sini. Aku belum
mencari tahu tentang itu.
Aku
harus mendatangi guru-guru di
ruangan itu satu persatu. Beberapa berdiri
dan membalas dengan hangat saat aku ulurkan tangan hendak berjabatan. Tak
sedikit juga yang hanya mendongakkan kepala, lalu memandangku dengan tatapan
yang—jujur saja—malas aku melihatnya. Demi kesan pertama, aku terus menatapnya
dengan senyum tersungging abadi di wajah.
Dengan
cepat aku menghapal nama mereka. Mudah. Beberapa memiliki keunikan tersendiri.
Pertama, Madam Eli, guru bahasa Inggris. Perawakan yang sama persis dengan guru
bahasa Inggris SMA-ku. Melihatnya aku jadi ingat remedial. Pelanggan setia!
Lalu ada guru kesenian. Aku sudah menduganya dari awal, sebelum dia mengenalkan
diri. Yah, bagaimana tidak, dia guru lelaki pertama yang kulihat berambut
panjang, dikuncir ke belakang. Kelihatannya cukup senior. Namanya Pak Rahmat.
Di sebelahnya tengah asyik dengan laptopnya,
pasti guru TIK, pikirku. Ternyata bukan. Pak Tarigan, guru olah raga. Sedang
asyik main solitaire. Lalu ada
seorang guru muda, berkerudung. Bersalaman secara Islam. Kupikir guru agama,
tapi salah lagi. Dia mengajar matematika dan fisika sekaligus. Hebat! Hampir
tepuk tangan aku mendengarnya.
Sisanya
adalah para guru yang biasa-biasa saja. Hampir semua menyenangkan. Beberapa
mendoakan agar aku sukses mengajar di sekolah ini. Tak sedikit yang memberiku
wejangan-wejangan. Lainnya mengingatkanku tentang ajaibnya murid-murid di sini.
Terakhir,
di sudut dekat jendela ada guru muda lagi, laki-laki, memakai baju hitam-hitam.
Sepertinya juga memakai pewarna hitam di bawah matanya—lagi-lagi aku tak tahu
apa namanya, alat kosmetik yang aku tahu hanya lipstick dan bedak. Kali ini aku tak akan salah menebak, buku-buku
di atas mejanya kukenal betul: Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Istilah, KBBI edisi keempat, Sastra dan Ilmu Sastra A. Teeuw, Teori Pengkajian Fiksi Burhan
Nurgiyantoro, dan beberapa buku lainnya.
Saat
aku memperkenalkan diri, dia dengan anggun menutup buku yang sedang dibacanya
sehingga terlihat jelas olehku: Rumah
Kaca, buku terakhir tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer. Ia lalu menjabat
tanganku dengan senyum menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi dengan senyumnya itu
dia bertanya apa aku sudah membaca buku yang sedang dibacanya itu. Aku ingin
tahu apa yang akan terjadi jika aku menjawab belum. Jadi kujawab itu. Dia
lantas menyarankan aku membacanya, lalu lanjut membaca dan mengacuhkan aku.
Sial. Aku jadi ingin mendiskusikan karya Shakespeare, Sartre, Kafka, Tolstoy,
Dostoevsky, Hugo, Akutagawa, Soseki dan lainnya bersamanya.
Paman
lalu mengajakku ke ruangan wakasek kurikulum. Saat aku meninggalkannya, si guru
serba hitam itu melihatku dengan ekor matanya, lalu buru-buru kembali ke
bacaannya saat aku menyadarinya.
BUNYI
bel masuk pelajaran keempat bagiku terasa seperti terlalu banyak mengonsumsi
kafein. Jantung berdetak sangat cepat. Cepat. Cepat! Untung aku dapat menguasai
diri.
Aku
jadi teringat saat PPL dulu. Di hari pertama masuk kelas, seperti saat ini
juga, aku merasakan hal yang sama. Dada berdebar luar biasa. Keringat mulai
bercucuran. Aku berdiri diam di depan kelas. Sepertinya kakiku gemetar. Kulihat
beberapa siswa tersenyum menahan tawa. Beberapa saling berbisik. Kalimat
pertama yang keluar dari mulutku adalah: “Kelas ini panas, ya?” sambil menyeka
peluh di dahi. Semuanya tertawa, termasuk guru pamongku. Bagaimana tidak, tepat
di atasku AC berhembus lumayan kencang. Memalukan!
Aku
tak mau mengulang kebodohan itu. Kusongsong kelas dengan penuh wibawa, semampu
yang aku bisa. Semua siswa memerhatikanku.
Aku
lalu memperkenalkan diri.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar