“KAMU percaya
gak sama ungkapan cinta tak harus saling memiliki?”
Putri
dan aku sedang dalam obrolan via telepon membicarakan persiapan pentas seni dan
persetujuan Yuda turut serta saat obrolan kami terhenti dan tiba-tiba
pertanyaan itu terlintas di benakku.
“Kamu
percaya?” balasnya menjawab tanyaku dengan tanya juga.
“Entahlah,”
jawabku. Angin bertiup menggelitik pengakuanku.
“Aku
enggak paham benar perkara cinta,” lanjutku.
“Aku
enggak percaya,” katanya.
Jeda
sejenak. Aku belum menemukan kata yang tepat untuk memulai kalimat. Putri juga
diam tak melanjutkan omongannya.
Aku
bergumam.
“Bukankah
cinta adalah sepasang?”
Aku
bergumam lagi.
“Coba
kamu bayangkan simbol apa yang akan kamu pikirkan saat kamu mendengar kata
cinta?” tanya Putri.
“Love,” jawaku singkat.
“Seperti
apa bentuknya?”
“Ya
kayak gitu,” jawabku asal.
Putri
menghela napas.
“Simbol
love memiliki dua sisi yang berbentuk
sama, kan? Keduanya saling bertemu di atas dan bawah.”
Dia
diam sejenak.
“Menurut
aku, itu menggambarkan kalo cinta ya harus saling bertemu. Bagian yang sisi
kiri harus bertemu dan memiliki sisi sebelah kanan, begitupun sebaliknya.
Saling bertemu dan saling memiliki itulah yang membuat cinta disebut cinta,”
jelasnya lancar. Membuat aku terdiam tak tahu harus berkata apa.
“Bukankah
cinta adalah saling berbalas. berbalas senyum, berbalas rindu,
berbalas kasih, berbalas cinta?”
Aku tersenyum
mengiyakan.
“Menurut kamu,
apakah cinta yang cuma sendiri mendapatkan esensinya sebagai cinta?”
“Esensi?”
“Apakah mungkin
cinta akan merelakan cinta yang dicintainya dimiliki cinta yang lain?”
tanyanya.
Aku mematung.
Teringat lelaki itu.
“Masih pantaskah
cinta seperti itu disebut cinta? Bukankah itu hanya sekadar mimpi yang justru
akan sangat menyakitkan?” tanyanya lagi.
“Bukannya cinta
itu harusnya membahagiakan?” lanjutnya bertanya.
“Iyasih,” hanya
itu yang bisa kukatakan.
“Cinta yang
seperti itu hanya harapan belaka. Cinta bukan harapan. Cinta adalah kenyataan,”
katanya.
“Kenapa cinta
yang kayak gitu hanya harapan belaka?” tanyaku tergagap.
“Tidakkah kamu
berpikir bahwa seseorang yang merelakan cintanya dimiliki cinta yang lain
adalah perbuatan yang sia-sia?”
“Maksud kamu?”
tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Iya, sia-sia.
Tidakkah orang itu tahu bahwa cinta itu adalah sepasang?”
“Lalu?” kataku.
“Kenapa cuma lalu?”
ucapnya. Ada nada sebel dari kalimatnya barusan.
“Enggak
apa-apa,” kataku terkekeh. “Lanjutin, Put.”
“Yah, tadi ‘kan
aku sudah bilang, bukankah Tuhan menciptakan cinta itu sepasang? Saling
berbalas adalah esensi dari cinta. Maksudku, jika dia mencintai cinta yang
dimiliki cinta lain, bukankah itu artinya cinta itu bukanlah pasangan cinta
yang telah Tuhan ciptakan untuknya? Bukankah ada cinta lain selain cinta yang
dicintainya itu yang mungkin saja itulah sebenarnya yang Tuhan jadikan pasangan
cintanya yang hanya separuh.”
Berbelit sekali
kalimatnya tadi.
“Menurut kamu
gimana?” tanyanya padaku.
Aku belum
menemukan jawaban.
“Yah…” kataku.
Hanya itu.
“Yah kenapa?”
cecarnya.
“Menurutku
esensi dari cinta bukanlah saling berbalas.”
“Maksud kamu?
Lalu apa?” tanya dia. Membuat aku berpikir sejenak.
“Menurutku,
esensi dari cinta adalah melihat cinta kita bahagia,” jawabku lancar.
“Jadi kamu
percaya ungkapan itu?”
Aku mematung.
Kembali teringat lelaki itu.
“Seorang temanku
pernah mengatakan ini padaku ….”
“Apa?”
“Ia juga percaya
cinta tak harus memiliki. Ia memendam perasaannya pada seorang wanita, karena
wanita itu telah memiliki kekasih. Ia mengatakan bahwa hanya dengan melihat
senyum wanita yang dicintainya itu tersungging, entah dengan dia, atau dengan
kekasihnya, atau dengan siapapun, artinya tujuan ia mencintai wanita itu
terpenuhi. Menurut ia, cinta adalah membuat cinta kita itu bahagia. Mungkin ia
percaya cinta itu akan lebih bahagia
jika bersama kekasihnya. Jadi ia merelakan, dan tak bisa melupakan.”
“Kasihan sekali.
Lalu apa dia bahagia melihat wanita yang dicintainya itu mencintai orang lain?
Pasti tersiksa bukan?”
“Yah, dia
bilang, cukup melihat cintanya itu tersenyum, entah itu saat bersama
kekasihnya, saat SMS-an dengan kekasihnya, apapun, sudah membuatnya bahagia.”
“Apa iya bisa
begitu? Dia senang hanya dengan melihat wanita itu tersenyum?”
“Iya.”
“Temanmu itu tidak realistis sekali!”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar