Translate

Senin, 22 Juli 2013

KARENA AKU: XIV


“KAMU percaya gak sama ungkapan cinta tak harus saling memiliki?”
          Putri dan aku sedang dalam obrolan via telepon membicarakan persiapan pentas seni dan persetujuan Yuda turut serta saat obrolan kami terhenti dan tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di benakku.
          “Kamu percaya?” balasnya menjawab tanyaku dengan tanya juga.
          “Entahlah,” jawabku. Angin bertiup menggelitik pengakuanku.
          “Aku enggak paham benar perkara cinta,” lanjutku.
          “Aku enggak percaya,” katanya.
          Jeda sejenak. Aku belum menemukan kata yang tepat untuk memulai kalimat. Putri juga diam tak melanjutkan omongannya.
          Aku bergumam.
          “Bukankah cinta adalah sepasang?”
          Aku bergumam lagi.
          “Coba kamu bayangkan simbol apa yang akan kamu pikirkan saat kamu mendengar kata cinta?” tanya Putri.
          Love,” jawaku singkat.
          “Seperti apa bentuknya?”
          “Ya kayak gitu,” jawabku asal.
          Putri menghela napas.
          “Simbol love memiliki dua sisi yang berbentuk sama, kan? Keduanya saling bertemu di atas dan bawah.”
          Dia diam sejenak.
          “Menurut aku, itu menggambarkan kalo cinta ya harus saling bertemu. Bagian yang sisi kiri harus bertemu dan memiliki sisi sebelah kanan, begitupun sebaliknya. Saling bertemu dan saling memiliki itulah yang membuat cinta disebut cinta,” jelasnya lancar. Membuat aku terdiam tak tahu harus berkata apa.
          “Bukankah cinta adalah saling berbalas. berbalas senyum, berbalas rindu, berbalas kasih, berbalas cinta?”
          Aku tersenyum mengiyakan.
          “Menurut kamu, apakah cinta yang cuma sendiri mendapatkan esensinya sebagai cinta?”
          “Esensi?”
          “Apakah mungkin cinta akan merelakan cinta yang dicintainya dimiliki cinta yang lain?” tanyanya.
          Aku mematung. Teringat lelaki itu.
          “Masih pantaskah cinta seperti itu disebut cinta? Bukankah itu hanya sekadar mimpi yang justru akan sangat menyakitkan?” tanyanya lagi.
          “Bukannya cinta itu harusnya membahagiakan?” lanjutnya bertanya.
          “Iyasih,” hanya itu yang bisa kukatakan.
          “Cinta yang seperti itu hanya harapan belaka. Cinta bukan harapan. Cinta adalah kenyataan,” katanya.
          “Kenapa cinta yang kayak gitu hanya harapan belaka?” tanyaku tergagap.
          “Tidakkah kamu berpikir bahwa seseorang yang merelakan cintanya dimiliki cinta yang lain adalah perbuatan yang sia-sia?”
          “Maksud kamu?” tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
          “Iya, sia-sia. Tidakkah orang itu tahu bahwa cinta itu adalah sepasang?”
          “Lalu?” kataku.
          “Kenapa cuma lalu?” ucapnya. Ada nada sebel dari kalimatnya barusan.
          “Enggak apa-apa,” kataku terkekeh. “Lanjutin, Put.”
          “Yah, tadi ‘kan aku sudah bilang, bukankah Tuhan menciptakan cinta itu sepasang? Saling berbalas adalah esensi dari cinta. Maksudku, jika dia mencintai cinta yang dimiliki cinta lain, bukankah itu artinya cinta itu bukanlah pasangan cinta yang telah Tuhan ciptakan untuknya? Bukankah ada cinta lain selain cinta yang dicintainya itu yang mungkin saja itulah sebenarnya yang Tuhan jadikan pasangan cintanya yang hanya separuh.”
          Berbelit sekali kalimatnya tadi.
          “Menurut kamu gimana?” tanyanya padaku.
          Aku belum menemukan jawaban.
          “Yah…” kataku. Hanya itu.
          “Yah kenapa?” cecarnya.
          “Menurutku esensi dari cinta bukanlah saling berbalas.”
          “Maksud kamu? Lalu apa?” tanya dia. Membuat aku berpikir sejenak.
          “Menurutku, esensi dari cinta adalah melihat cinta kita bahagia,” jawabku lancar.
          “Jadi kamu percaya ungkapan itu?”
          Aku mematung. Kembali teringat lelaki itu.
          “Seorang temanku pernah mengatakan ini padaku ….”
          “Apa?”
          “Ia juga percaya cinta tak harus memiliki. Ia memendam perasaannya pada seorang wanita, karena wanita itu telah memiliki kekasih. Ia mengatakan bahwa hanya dengan melihat senyum wanita yang dicintainya itu tersungging, entah dengan dia, atau dengan kekasihnya, atau dengan siapapun, artinya tujuan ia mencintai wanita itu terpenuhi. Menurut ia, cinta adalah membuat cinta kita itu bahagia. Mungkin ia percaya cinta itu akan lebih bahagia  jika bersama kekasihnya. Jadi ia merelakan, dan tak bisa melupakan.”
          “Kasihan sekali. Lalu apa dia bahagia melihat wanita yang dicintainya itu mencintai orang lain? Pasti tersiksa bukan?”
          “Yah, dia bilang, cukup melihat cintanya itu tersenyum, entah itu saat bersama kekasihnya, saat SMS-an dengan kekasihnya, apapun, sudah membuatnya bahagia.”
          “Apa iya bisa begitu? Dia senang hanya dengan melihat wanita itu tersenyum?”
          “Iya.”
          “Temanmu itu tidak realistis sekali!”

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar