Translate

Jumat, 12 Juli 2013

KARENA AKU: XIII


TAK ada Minggu pagi yang terlewat tanpa aku main ke studio Yuda. Ubi kukus buatan nenek di pagi hari yang cerah selalu menggairahkan untuk dilewatkan. Menu sarapan wajib Yuda dan Nenek di hari minggu itu kini menjadi menu wajibku juga.
          Sudah beberapa hari aku tidak berkunjung ke sini. Persiapan dengan klub teater begitu menyita perhatian. Kami sudah menetapkan naskah apa yang akan dipentaskan: sebuah naskah yang dibuat oleh ketua teater kami. Menceritakan tentang kehidupan seekor kucing yang mengembara di sebuah kota bernama Jakarta. Latihan terus dilakukan dan dilakukan. Saat ini kami tengah fokus melatih pelafalan dan artikulasi.
          Pagi ini Yuda tampak santai. Ia tengah asyik membaca Koran pagi saat aku sampai di studionya. Sesuatu yang selalu sukses kucuri tergeletak sempurna di meja. Kopi itu terlihat sangat menggoda.
          Kududuk di seberangnya sambil mengganggunya membaca. Ia lelaki yang sangat sulit marah bahkan saat kukerjai.
          “Ganggu aja, sih!” hanya itu yang dia katakan.
          Dia melanjutkan membaca sambil menggeser cangkir kopinya, sambil melirik licik. Kemudian tersenyum.
          “Bikin sendiri sana!” katanya sambil tertawa.
          Dizinkan, aku pun ke dapurnya untuk menyeduhnya. Di sana kulihat Nenek sedang mengukus ubi.
          Yes!

LUKISAN Annelis telah selesai dirampungkan oleh Yuda. Kini lukisan itu dipajang di kamarnya, bukan di galeri.
          “Enggak akan lu jual, Yud?”
          “Enggak akan. Itu lukisan pertama yang gue lukis khusus buat gue,” kata Yuda sambil memandangi lukisannya. Seorang perempuan bermata coklat. rambutnya yang keemasan sedang dibuai oleh angin yang tak tampak. Senyuman di bibirnya tersungging abadi, dan akan terus abadi dalam kanvas itu.
          “Bagus Yud. Buat gue aja, gimana?” tanyaku menggodanya.
          “Mending kita berantem aja, yuk!” jawabnya. Kutimpali dengan tawa. Dia juga.
          Kami bersama menuju kursi entah apa. Nenek telah meneriakkan bahwa ubi telah matang.

MELIHAT begitu banyaknya lukisan yang telah dibuat oleh Yuda, membuatku memberi gagasan padanya mengapa ia tidak mengadakan pameran saja? Dia tampak dingin-dingin saja menanggapi ideku.
          “Modal dari mana, bung?” katanya.
          Pertanyaan yang membungkam kesoktahuanku.
          “Siapa tahu dengan lu buka pameran di tempat yang lebih rame daripada kampung ini lukisan lu lebih banyak yang lihat, banyak yang tertarik. Makin banyak yang tahu bakat lu. Siapa tahu aja, Yud,” kataku mencoba memancing tanggapannya.
          Ia tampak diam menimbang sesuatu.
          “Iya juga sih. Tapi tetep aja. Lu pikir buat pameran tunggal biayanya enggak besar?” katanya beralasan.
          Aku selalu tak pernah bisa lepas dari masalah satu itu. di mana saja, ke mana saja, uang selalu ada dan selalu ada. Tak heran manusia sangat ambisius mengejarnya. Aku—entah mengapa—agak sedikit acuh dengan betapa pentingnya uang, terutama saat kuliah dulu. Saat teman-temanku giat kuliah sambil nyambi mengajar di berbagai bimbel, aku lebih memilih jadi mahasiswa kuliah pulang kuliah pulang. Saat teman-temanku dengan pendapatannya sendiri telah mampu membeli gadget keluaran terbaru, aku masih setia menggunakan teknologi tua hasil tabungan uang jajan yang tidak seberapa.
          Hingga akhirnya aku lulus kuliah dan kemudian menyadari betapa pentingnya benda itu bagi kehidupan. Mungkin terpenting kedua setelah oksigen.
          Aku tak bisa memberikan solusi jika itu masalah dana. Biarlah rencana pameran tunggal itu menguap sementara ia terus melukis untuk mengembangkan karyanya.
          Hingga tiba-tiba ponselku berbunyi. Gambar surat mengedip-ngedip di layarnya.

Aku punya ide. Bagaimana kalau aku memamerkan lukisanku di pensi nanti? Menurut kamu gimana?

          Pesan tadi dari Putri.
          Sebuah lampu muncul di kepalaku. Benda itu menyala sangat terang.
          Kubalas dulu SMS Putri.

Bagus! Ide bagus.. nanti kita ttanya ke Pak Rahmat. Kalo diizinin, aku juga mau nawarin temen aku yang pelukis buat ngisi di pameran itu. gimana?

          Send.
          Ponselku bergetar lagi.

Wah, kamu punya kenalan pelukis?? Okedeh, nanti kita usulin ya. Ingetin aku..

          Kubalas lagi.

          Okesip. :)


KEESOKANNYA, aku dan Putri hadir dalam rapat acara pensi. Aku telah mengajukan usul pada Putri untuk melibatkan juga Yuda dalam pamerannya nanti. Dia dengan senang hati menerima usulku.
          Kebetulan, acara pastinya untuk acara itu—selain pementasan musik—memang belum resmi ditentukan. Acara lomba pun belum diketuk palu karena belum resmi masuk rangkaian acara.
Rapat kali ini juga ditujukan untuk membuat kepanitiaan inti. Aku ditunjuk untuk mendampingi ketua seksi sarana prasarana. Pekerjaan berat makin menanti. Putri mendapat tugas yang lebih mudah: mendampingi ketua seksi kesehatan. Sementara si Robi ditunjuk mendampingi ketua seksi dokumentasi.
          Kasihan ketua seksi dokumentasi itu.
          Ada lima guru yang ditugaskan mendampingi ketua seksi yang jumlahnya juga lima. Selain trio guru bahasa Indonesia, ada Annisa, guru rangkap matematika-fisika dan Nira, guru cantik pengajar biologi. Masing-masing mereka mendampingi seksi administrasi dan seksi acara.


PAK Rahmat telah memberikan mandatnya kepada seksi acara untuk menyusun rangkaian acara, termasuk acara apa saja yang akan dilaksanakan dalam pentas seni nanti. Saat kami menghadapnya untuk menyampaikan usul Putri, Pak Rahmat menyuruh kami langsung bicara pada Nira saja.
          Nira—sama seperti kami—belum lama bergabung menjadi guru di sekolah ini. Usianya terpaut dua tahun lebih tua dibanding usia kami. Nira adalah teman akrab Putri di sekolah ini, jadi tanpa segan Putri langsung mengajukan idenya dan tanpa ragu Nira menerimanya. Nira tahu Putri hobi melukis dan sudah sering melihat lukisan-lukisan karya temannya itu. Ia pun mengagumi kemampuan sahabatnya.
          Putri tidak akan memberatkan pekerjaan seksi yang didampingi Nira karena dia berniat turun tangan sendiri mengurus segala hal dalam pameran itu. tentu akan kupaksa juga Yuda membantu Putri. Meskipun ia belum kutanyai bersedia atau tidak ikut berpartisipasi, kuyakin Yuda mau.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar