TAK ada
Minggu pagi yang terlewat tanpa aku main ke studio Yuda. Ubi kukus buatan nenek
di pagi hari yang cerah selalu menggairahkan untuk dilewatkan. Menu sarapan
wajib Yuda dan Nenek di hari minggu itu kini menjadi menu wajibku juga.
Sudah
beberapa hari aku tidak berkunjung ke sini. Persiapan dengan klub teater begitu
menyita perhatian. Kami sudah menetapkan naskah apa yang akan dipentaskan:
sebuah naskah yang dibuat oleh ketua teater kami. Menceritakan tentang
kehidupan seekor kucing yang mengembara di sebuah kota bernama Jakarta. Latihan
terus dilakukan dan dilakukan. Saat ini kami tengah fokus melatih pelafalan dan
artikulasi.
Pagi
ini Yuda tampak santai. Ia tengah asyik membaca Koran pagi saat aku sampai di
studionya. Sesuatu yang selalu sukses kucuri tergeletak sempurna di meja. Kopi
itu terlihat sangat menggoda.
Kududuk
di seberangnya sambil mengganggunya membaca. Ia lelaki yang sangat sulit marah
bahkan saat kukerjai.
“Ganggu
aja, sih!” hanya itu yang dia katakan.
Dia
melanjutkan membaca sambil menggeser cangkir kopinya, sambil melirik licik.
Kemudian tersenyum.
“Bikin
sendiri sana!” katanya sambil tertawa.
Dizinkan,
aku pun ke dapurnya untuk menyeduhnya. Di sana kulihat Nenek sedang mengukus
ubi.
Yes!
LUKISAN Annelis
telah selesai dirampungkan oleh Yuda. Kini lukisan itu dipajang di kamarnya,
bukan di galeri.
“Enggak
akan lu jual, Yud?”
“Enggak
akan. Itu lukisan pertama yang gue lukis khusus buat gue,” kata Yuda sambil
memandangi lukisannya. Seorang perempuan bermata coklat. rambutnya yang
keemasan sedang dibuai oleh angin yang tak tampak. Senyuman di bibirnya
tersungging abadi, dan akan terus abadi dalam kanvas itu.
“Bagus
Yud. Buat gue aja, gimana?” tanyaku menggodanya.
“Mending
kita berantem aja, yuk!” jawabnya. Kutimpali dengan tawa. Dia juga.
Kami
bersama menuju kursi entah apa. Nenek telah meneriakkan bahwa ubi telah matang.
MELIHAT begitu
banyaknya lukisan yang telah dibuat oleh Yuda, membuatku memberi gagasan
padanya mengapa ia tidak mengadakan pameran saja? Dia tampak dingin-dingin saja
menanggapi ideku.
“Modal
dari mana, bung?” katanya.
Pertanyaan
yang membungkam kesoktahuanku.
“Siapa
tahu dengan lu buka pameran di tempat yang lebih rame daripada kampung ini
lukisan lu lebih banyak yang lihat, banyak yang tertarik. Makin banyak yang
tahu bakat lu. Siapa tahu aja, Yud,” kataku mencoba memancing tanggapannya.
Ia
tampak diam menimbang sesuatu.
“Iya
juga sih. Tapi tetep aja. Lu pikir buat pameran tunggal biayanya enggak besar?”
katanya beralasan.
Aku
selalu tak pernah bisa lepas dari masalah satu itu. di mana saja, ke mana saja,
uang selalu ada dan selalu ada. Tak heran manusia sangat ambisius mengejarnya.
Aku—entah mengapa—agak sedikit acuh dengan betapa pentingnya uang, terutama
saat kuliah dulu. Saat teman-temanku giat kuliah sambil nyambi mengajar di
berbagai bimbel, aku lebih memilih jadi mahasiswa kuliah pulang kuliah pulang.
Saat teman-temanku dengan pendapatannya sendiri telah mampu membeli gadget
keluaran terbaru, aku masih setia menggunakan teknologi tua hasil tabungan uang
jajan yang tidak seberapa.
Hingga
akhirnya aku lulus kuliah dan kemudian menyadari betapa pentingnya benda itu
bagi kehidupan. Mungkin terpenting kedua setelah oksigen.
Aku
tak bisa memberikan solusi jika itu masalah dana. Biarlah rencana pameran
tunggal itu menguap sementara ia terus melukis untuk mengembangkan karyanya.
Hingga
tiba-tiba ponselku berbunyi. Gambar surat mengedip-ngedip di layarnya.
Aku punya ide.
Bagaimana kalau aku memamerkan lukisanku di pensi nanti? Menurut kamu gimana?
Pesan
tadi dari Putri.
Sebuah
lampu muncul di kepalaku. Benda itu menyala sangat terang.
Kubalas
dulu SMS Putri.
Bagus! Ide bagus.. nanti kita ttanya ke Pak Rahmat. Kalo diizinin, aku juga mau nawarin temen aku yang pelukis buat ngisi di pameran itu. gimana?
Send.
Ponselku
bergetar lagi.
Wah, kamu punya kenalan pelukis?? Okedeh, nanti kita usulin ya. Ingetin aku..
Kubalas
lagi.
Okesip. :)
KEESOKANNYA, aku
dan Putri hadir dalam rapat acara pensi. Aku telah mengajukan usul pada Putri
untuk melibatkan juga Yuda dalam pamerannya nanti. Dia dengan senang hati
menerima usulku.
Kebetulan,
acara pastinya untuk acara itu—selain pementasan musik—memang belum resmi
ditentukan. Acara lomba pun belum diketuk palu karena belum resmi masuk
rangkaian acara.
Rapat
kali ini juga ditujukan untuk membuat kepanitiaan inti. Aku ditunjuk untuk
mendampingi ketua seksi sarana prasarana. Pekerjaan berat makin menanti. Putri
mendapat tugas yang lebih mudah: mendampingi ketua seksi kesehatan. Sementara
si Robi ditunjuk mendampingi ketua seksi dokumentasi.
Kasihan
ketua seksi dokumentasi itu.
Ada
lima guru yang ditugaskan mendampingi ketua seksi yang jumlahnya juga lima.
Selain trio guru bahasa Indonesia, ada Annisa, guru rangkap matematika-fisika
dan Nira, guru cantik pengajar biologi. Masing-masing mereka mendampingi seksi
administrasi dan seksi acara.
PAK Rahmat
telah memberikan mandatnya kepada seksi acara untuk menyusun rangkaian acara,
termasuk acara apa saja yang akan dilaksanakan dalam pentas seni nanti. Saat
kami menghadapnya untuk menyampaikan usul Putri, Pak Rahmat menyuruh kami
langsung bicara pada Nira saja.
Nira—sama
seperti kami—belum lama bergabung menjadi guru di sekolah ini. Usianya terpaut
dua tahun lebih tua dibanding usia kami. Nira adalah teman akrab Putri di
sekolah ini, jadi tanpa segan Putri langsung mengajukan idenya dan tanpa ragu Nira menerimanya. Nira tahu Putri hobi melukis dan sudah sering melihat
lukisan-lukisan karya temannya itu. Ia pun mengagumi kemampuan sahabatnya.
Putri
tidak akan memberatkan pekerjaan seksi yang didampingi Nira karena dia berniat
turun tangan sendiri mengurus segala hal dalam pameran itu. tentu akan kupaksa
juga Yuda membantu Putri. Meskipun ia belum kutanyai bersedia atau tidak ikut
berpartisipasi, kuyakin Yuda mau.
(bersambung)
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar