MALAM begitu cerah
hingga bintang-bintang yang berkelip terlihat sedap dipandang. Ini adalah
momen-momen yang jarang kunikmati. Pertama karena aku memang jarang keluar
rumah malam hari. Kedua, sekalipun keluar, jarang pula aku mendongakkan kepala
ke langit.
Aku sedang
sangat melankolis malam ini. Duduk malas di beranda sambil menatap langit di
mana bintang sedang berusaha mengajakku bicara. Sayang, aku tak mengerti bahasa
mereka. Aku juga hendak bercerita pada mereka, tapi aku tak tahu apakah mereka
paham bahasa kita.
Jadi kupilih
melamun saja.
Sampai sebuah
SMS menggetarkan ponselku.
Hei, jangan kau dekati lagi murid kelas
XI IPS 1 itu lagi. Kau akan tahu akibatnya jika kau tetap melakukan itu.
Nomor
pengirimnya tidak tersimpan dalam kontakku. Tapi aku tahu siapa pengirim pesan
ini. Orang yang ber”kau-kau”an seperti ini—padahal dia bukan batak—hanya dia yang kukenal. Lagipula
cocok, yang dimaksud pasti Sinta.
Ada-ada
saja!
ROBI tampak
biasa-biasa saja saat berpapasan denganku di koridor tadi. Dia pasti tahu bahwa
aku tahu dialah yang mengirim pesan menggelikan itu. Tak ada orang lain yang
lebih pantas dicurigai sekalipun nomor telepon itu sudah tidak aktif saat ini.
Entah apa yang ada di dalam otak guru satu itu.
Aku
ingin tahu dari mana ia tahu nomor handphone-ku.
Aku
juga ingin tahu seperti apa Robi menurut guru-guru lain.
Orang
pertama yang kutemui—tentu saja—Pak Rahmat, kutemui dia sedang duduk asyik di
kursi tamu sekolah di dekat meja piket. Aku ikut duduk di sana.
“Oh.
No comment deh. Kelakuannya super
ajaib. Lihat aja sikap dia waktu rapat kemarin. Sebetulnya saya agak males juga
melibatkan dia dalam acara ini, tapi apa boleh buat,” Pak Rahmat menghela napas
setelah mengatakan ini.
“Kenapa,
Pak?” tanyaku.
“Saya
takut dia tersinggung kalo enggak dilibatkan dalam acara ini,” Pak Rahmat agak
berat hati mengatakan kalimat tadi.
Kuulangi
lagi kalimat tanya yang barusan kukatakan.
“Kamu
belum tahu ya? Dia itu keponakannya pemilik yayasan. Salah-salah saya diadukan
ke om-nya kan bisa repot,” kata beliau setengah berbisik.
Informasi
ini baru aku tahu.
“Bapak
kenal Sinta XI IPS 1?” tanyaku.
“Ya
itu!”
Pak
Rahmat tidak melanjutkan perkataannya. Aku juga sudah malas mengorek pendapatnya.
TARGET kedua
adalah Putri. Aku tidak tahu apa yang dia tahu tentang lelaki itu. mungkin bisa
juga kuajak ia bercerita tentang SMS itu.
Kuajak
dia keluar saat istirahat makan siang.
“Aku
enggak tahu banyak, sih. Aku kan baru tiga tahun ini ngajar di sini,” kata
Putri sambil menyantap baso telur.
“Apa
kesan pertama kamu waktu pertama kali ketemu dia?” tanyaku.
Putri
menyelesaikan kunyahannya dulu.
“Gimana
ya,” dikunyahnya lagi baso kecil, “pertama aku ketemu dia sih baik-baik aja.
Gak ada yang aneh, gak ada yang bikin aku inget dari kelakuannya.”
Kukunyah
juga basoku.
“Aku
udah cerita bagaimana kelakuan dia saat pertama kali ketemu belum sih ke kamu?”
tanyaku. Pantas Putri sampai rela bicara sambil mengunyah. Baso di sini lumayan
enak juga! Aku pun melakukan hal serupa.
Dia
menggeleng menjawab pertanyaanku. Maka kuceritakan peristiwa itu.
Putri
terus senyum saat mendengar ceritaku. Kemudian ditutupnya dengan tawa saat
cerita kututup.
“Dia
emang begitu! Dia sering banget dulu ngajak aku diskusi tentang karya sastra.
‘Eh, kamu udah baca novel ini belum?’ ‘Menurut kamu, pesan apa sih yang
dikandung dalam novel blablabla?’” kata Putri meniru gaya bicara Si Serba Hitam
itu.
Kami
menertawakan hal itu bersama.
“Oh
iya, semalam aku dapat SMS ini,” kusodorkan ponselku ke depan muka Putri. Dia
membacanya sekilas, lalu mengambilnya dari tanganku. Dibacanya pelan-pelan.
Kemudian
tersenyum.
Cukuplah kiranya dari dua orang ini aku
mendapat gambaran bagaimana kelakuan keponakan pemilik yayasan itu.
SAAT pulang
sekolah, Sinta dan Rama menemuiku ke ruang guru. Mereka berdua ingin main lagi
ke rumahku.
“Boleh
aja. Tapi kamu Sinta,” ucapku terputus. Sinta penasaran kelanjutannya.
“Aku
kenapa, Pak?”
“Kalau kamu mau main ke rumah saya, kamu izin dulu ya!”
Pernyataanku
membuat Sinta tampak bingung.
“Izin?
Orang tua saya enggak masalah kok, Pak,” jawabnya.
Kutimpali
dengan senyuman.
Robi
sedang di ruang guru. Ia pasti dengar dialog tadi.
“Tapi
aku ada rapat dulu, Pak. Mungkin nanti agak sorean, gak apa-apa kan, Pak?”
tanya Sinta sedikit manja. Rama tampak menahan gemasnya. Entah apa yang
dilakukan Robi.
“Kamu
sendiri ke sananya? Lumayan jauh loh.”
“Kan
ada Rama, Pak!” ucap Putri sambil tersenyum ke arah Rama. Yang disenyumi ikut
tersenyum. Hidungnya tampak kembang kempis.
Aku
ikut tersenyum.
AKU sudah
siap dengan vespa yang telah meriuhkan halaman depan sekolah saat kulihat Putri
berdiri di depan gerbang. Sesekali dilihatnya ponselnya.
“Hai!
Belum pulang? Mau kuantar?” tawaku. Putri tersenyum.
“Enggak
usah deh. Aku lagi nunggu orang nih,” katanya sambil melihat ponsel lagi.
“Nunggu
siapa, Put?”
Dia
tidak menjawab pertanyaanku. Seseorang dengan motor sport modifikasi datang ke
arah kami.
“Maaf
sayang, kejebak lampu merah terus,” kata orang itu sambil melepas helmnya yang
terlihat kukuh. Standar motoGP kurasa.
“Enggak
apa-apa. Oh iya, ini kenalin temen kerja aku. Dia juga temen kuliah aku loh,”
kata Putri memperkenalkan aku.
Aku
pun memperkenalkan diri sambil mengajaknya berjabat tangan.
“Rangga,”
katanya sambil menggoncang tanganku.
Rangga
lelaki yang cukup macho. Berambut
keriting dengan mata agak sipit, membuatku teringat pada seorang tokoh dalam
sebuah film dengan nama yang sama dengan namanya. Andai Putri bernama Cinta,
aku akan mengaku sebagai Mamet.
“Kita
mau langsung jalan atau gimana?” tanya Rangga sambil menyerahkan helm pada
Putri.
“Langsung
aja,” jawab Putri. Ia lalu naik ke jok belakang.
“Duluan
ya, Pak,” kata Putri saat kekasihnya men-starter
motornya. Suaranya berdebum, menggetarkan udara di sekelilingku.
“Mari, Mas!” pamit Rangga.
“Dah,
Pak Guru!” giliran Putri.
Mereka
pun pergi. Semakin jauh, dentuman khas motor sport itu semakin meredup. Meninggalkan aku dan mesin vespa yang enggan menyala kembali
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar