Translate

Rabu, 03 Juli 2013

KARENA AKU: XI


MALAM begitu cerah hingga bintang-bintang yang berkelip terlihat sedap dipandang. Ini adalah momen-momen yang jarang kunikmati. Pertama karena aku memang jarang keluar rumah malam hari. Kedua, sekalipun keluar, jarang pula aku mendongakkan kepala ke langit.
          Aku sedang sangat melankolis malam ini. Duduk malas di beranda sambil menatap langit di mana bintang sedang berusaha mengajakku bicara. Sayang, aku tak mengerti bahasa mereka. Aku juga hendak bercerita pada mereka, tapi aku tak tahu apakah mereka paham bahasa kita.
          Jadi kupilih melamun saja.
          Sampai sebuah SMS menggetarkan ponselku.

Hei, jangan kau dekati lagi murid kelas XI IPS 1 itu lagi. Kau akan tahu akibatnya jika kau tetap melakukan itu.

          Nomor pengirimnya tidak tersimpan dalam kontakku. Tapi aku tahu siapa pengirim pesan ini. Orang yang ber”kau-kau”an seperti ini—padahal dia bukan batakhanya dia yang kukenal. Lagipula cocok, yang dimaksud pasti Sinta.
          Ada-ada saja!

ROBI tampak biasa-biasa saja saat berpapasan denganku di koridor tadi. Dia pasti tahu bahwa aku tahu dialah yang mengirim pesan menggelikan itu. Tak ada orang lain yang lebih pantas dicurigai sekalipun nomor telepon itu sudah tidak aktif saat ini. Entah apa yang ada di dalam otak guru satu itu.
          Aku ingin tahu dari mana ia tahu nomor handphone-ku.
          Aku juga ingin tahu seperti apa Robi menurut guru-guru lain.
          Orang pertama yang kutemui—tentu saja—Pak Rahmat, kutemui dia sedang duduk asyik di kursi tamu sekolah di dekat meja piket. Aku ikut duduk di sana.
          “Oh. No comment deh. Kelakuannya super ajaib. Lihat aja sikap dia waktu rapat kemarin. Sebetulnya saya agak males juga melibatkan dia dalam acara ini, tapi apa boleh buat,” Pak Rahmat menghela napas setelah mengatakan ini.
          “Kenapa, Pak?” tanyaku.
          “Saya takut dia tersinggung kalo enggak dilibatkan dalam acara ini,” Pak Rahmat agak berat hati mengatakan kalimat tadi.
          Kuulangi lagi kalimat tanya yang barusan kukatakan.
          “Kamu belum tahu ya? Dia itu keponakannya pemilik yayasan. Salah-salah saya diadukan ke om-nya kan bisa repot,” kata beliau setengah berbisik.
          Informasi ini baru aku tahu.
          “Bapak kenal Sinta XI IPS 1?” tanyaku.
          “Ya itu!”
          Pak Rahmat tidak melanjutkan perkataannya. Aku juga sudah malas mengorek pendapatnya.

TARGET kedua adalah Putri. Aku tidak tahu apa yang dia tahu tentang lelaki itu. mungkin bisa juga kuajak ia bercerita tentang SMS itu.
          Kuajak dia keluar saat istirahat makan siang.
          “Aku enggak tahu banyak, sih. Aku kan baru tiga tahun ini ngajar di sini,” kata Putri sambil menyantap baso telur.
          “Apa kesan pertama kamu waktu pertama kali ketemu dia?” tanyaku.
          Putri menyelesaikan kunyahannya dulu.
          “Gimana ya,” dikunyahnya lagi baso kecil, “pertama aku ketemu dia sih baik-baik aja. Gak ada yang aneh, gak ada yang bikin aku inget dari kelakuannya.”
          Kukunyah juga basoku.
          “Aku udah cerita bagaimana kelakuan dia saat pertama kali ketemu belum sih ke kamu?” tanyaku. Pantas Putri sampai rela bicara sambil mengunyah. Baso di sini lumayan enak juga! Aku pun melakukan hal serupa.
          Dia menggeleng menjawab pertanyaanku. Maka kuceritakan peristiwa itu.
          Putri terus senyum saat mendengar ceritaku. Kemudian ditutupnya dengan tawa saat cerita kututup.
          “Dia emang begitu! Dia sering banget dulu ngajak aku diskusi tentang karya sastra. ‘Eh, kamu udah baca novel ini belum?’ ‘Menurut kamu, pesan apa sih yang dikandung dalam novel blablabla?’” kata Putri meniru gaya bicara Si Serba Hitam itu.
          Kami menertawakan hal itu bersama.
          “Oh iya, semalam aku dapat SMS ini,” kusodorkan ponselku ke depan muka Putri. Dia membacanya sekilas, lalu mengambilnya dari tanganku. Dibacanya pelan-pelan.
          Kemudian tersenyum.

          Cukuplah kiranya dari dua orang ini aku mendapat gambaran bagaimana kelakuan keponakan pemilik yayasan itu.


SAAT pulang sekolah, Sinta dan Rama menemuiku ke ruang guru. Mereka berdua ingin main lagi ke rumahku.
          “Boleh aja. Tapi kamu Sinta,” ucapku terputus. Sinta penasaran kelanjutannya.
          “Aku kenapa, Pak?”
          “Kalau kamu mau main ke rumah saya, kamu izin dulu ya!”
          Pernyataanku membuat Sinta tampak bingung.
          “Izin? Orang tua saya enggak masalah kok, Pak,” jawabnya.
          Kutimpali dengan senyuman.
          Robi sedang di ruang guru. Ia pasti dengar dialog tadi.
          “Tapi aku ada rapat dulu, Pak. Mungkin nanti agak sorean, gak apa-apa kan, Pak?” tanya Sinta sedikit manja. Rama tampak menahan gemasnya. Entah apa yang dilakukan Robi.
          “Kamu sendiri ke sananya? Lumayan jauh loh.”
          “Kan ada Rama, Pak!” ucap Putri sambil tersenyum ke arah Rama. Yang disenyumi ikut tersenyum. Hidungnya tampak kembang kempis.
          Aku ikut tersenyum.

AKU sudah siap dengan vespa yang telah meriuhkan halaman depan sekolah saat kulihat Putri berdiri di depan gerbang. Sesekali dilihatnya ponselnya.
          “Hai! Belum pulang? Mau kuantar?” tawaku. Putri tersenyum.
          “Enggak usah deh. Aku lagi nunggu orang nih,” katanya sambil melihat ponsel lagi.
          “Nunggu siapa, Put?”
          Dia tidak menjawab pertanyaanku. Seseorang dengan motor sport modifikasi datang ke arah kami.
          “Maaf sayang, kejebak lampu merah terus,” kata orang itu sambil melepas helmnya yang terlihat kukuh. Standar motoGP kurasa.
          “Enggak apa-apa. Oh iya, ini kenalin temen kerja aku. Dia juga temen kuliah aku loh,” kata Putri memperkenalkan aku.
          Aku pun memperkenalkan diri sambil mengajaknya berjabat tangan.
          “Rangga,” katanya sambil menggoncang tanganku.
          Rangga lelaki yang cukup macho. Berambut keriting dengan mata agak sipit, membuatku teringat pada seorang tokoh dalam sebuah film dengan nama yang sama dengan namanya. Andai Putri bernama Cinta, aku akan mengaku sebagai Mamet.
          “Kita mau langsung jalan atau gimana?” tanya Rangga sambil menyerahkan helm pada Putri.
          “Langsung aja,” jawab Putri. Ia lalu naik ke jok belakang.
          “Duluan ya, Pak,” kata Putri saat kekasihnya men-starter motornya. Suaranya berdebum, menggetarkan udara di sekelilingku.
          “Mari, Mas!” pamit Rangga.
          “Dah, Pak Guru!” giliran Putri.
          Mereka pun pergi. Semakin jauh, dentuman khas motor sport itu semakin meredup. Meninggalkan aku dan mesin vespa yang enggan menyala kembali

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar