MALAM yang
belum tinggi menggiring langkahku menuju studio Yuda. Materi untuk mengajar
besok sudah kukerjakan. Masih terlalu sore juga untuk langsung tidur. Tak ada
kerjaan, tak ada salahnya aku ke sana.
Ternyata
Yuda sedang melanjutkan melukis Annelis.
“Lagi
kangen lagi, nih?” tanyaku setibanya di sana.
Dia
tidak menjawab.
Kududuk
di kursi entah apa namanya itu.
“Emang
lu gak punya kontak dia yang bisa
dihubungi, Yud?”
Yuda
diam sesaat. Perlu cukup banyak waktu tampaknya bagi ia untuk menemukan
jawabanku itu.
“Beberapa
hari yang lalu aku ketemu dia,” katanya datar.
Ah!
Peristiwa menyenangkan yang diucapkan dengan nada datar. Karena Yuda jelas
bukan aktor yang bisa bersandiwara, jelas Annelis telah membuat lelaki ini
patah hati.
Ia
mengangguk saat kutanyakan hal itu.
Yuda
pun kembali bercerita.
YUDA sedang
sangat menikmati kopi yang sangat jarang dinikmatinya di sebuah pusat
perbelanjaan mewah di kawasan Sudirman. Ia sedang dalam reuni teman-teman
sekolahnya yang ternyata sudah sangat sukses dan hedonis. Demi keriaan
berkumpul bersama, Yuda rela merogoh kantongnya sangat dalam. Agak muram Yuda
saat menceritakan seberapa besar yang harus dihabiskannya demi reuni itu.
“Gue
denger lu jadi pelukis sekarang, Yud?” pertanyaan yang jelas ditujukan padanya
membuat Yuda harus siap menjawabnya. Saat pertanyaan itu ditanyakan, ia sedang
mengelus-elus dompetnya.
“Iya,”
kata Yuda. “Makanya jangan ngumpul di tempat kayak begini. Lu bisa bayangin kan
pendapatan gue sebagai pelukis biasa?” Dialog terakhir ini hanya Yuda katakan
dalam hati.
“Laris
lukisan lu, Yud?” tanya salah satu mereka.
“Lumayan,”
jawab Yuda.
“Boleh
dong Yud kamu ngelukis aku?” tanya salah satu teman perempuannya yang kontan
menjadi bahan ejekan teman-temannya karena dari semua yang hadir saat itu
memang hanya Yuda dan perempuan itu yang masih setia dengan kejombloannya.
“Kalo
elu gimana?” pertanyaan saling lempar itu yang kemudian membuka obrolan tentang
pekerjaan masing-masing. Membuat suasana menjadi riuh oleh saling pamer
keberhasilan. Yuda jadi merasa kecil karena jenis pekerjaannya tampak seperti
tidak ada apa-apanya. Tapi dalam hati ia tetap bangga karena hanya dialah yang
bekerja dengan “hati”. Dengan semangat dan tujuan yang tidak material semata.
Ia juga satu-satunya di antara sekumpulan muda itu yang tidak memamerkan
apa-apa.
Yuda
hanyut menyimak obrolan teman-temannya hingga salah satu temannya menepuk
bahunya dan menuntun Yuda melihat ke suatu arah.
“Bule
itu kayaknya gue kenal, Yud?”
Yuda
membatu. Ia masih mengenal wajah bundar dengan rambut kuning keemasan itu.
Sungguh suatu hal yang sama sekali tidak diduganya bahwa ia akan melihat lagi
perempuan itu dalam rupa yang makin sempurna.
“Annelis
kan, Yud?” tanya temannya itu lagi.
Yuda
diam.
“DAN elu
lihat Annelis jalan sama laki-laki?” tanyaku saat Yuda diam tak melanjutkan
ceritanya.
Yuda
mengangguk.
Ia
mengisi paru-parunya penuh dengan oksigen, kemudian dihembuskannya jenis gas
lain dengan berat.
Ia
lalu melanjutkan melukis.
KADANG cinta
tak semudah mengucapkan katanya. Selalu ada tikungan yang tajam ataupun tidak
tetap akan menghadang. Membuat kita perlu mengerem sejenak dan melepas tarikan
gas.
Saat
itu Yuda sudah SMA. Hampir dua tahun sejak ia menyatakan cinta pada Annelis dan
Annelis membalas cintanya. Kehidupan menjadi sangat membahagiakan baginya.
Kapan pun, di mana pun, Yuda dan Annelis meskipun tidak bersama tapi selalu
menyatu. Tak akan terlewat sedikit pun kabar Annelis yang Yuda tak tahu. Teknologi
bernama telepon seluler telah memangkas jarak di antara mereka.
“Kamu
lagi apa?”
“Udah
makan belum?”
“Kamu
sehat-sehat aja, kan?”
Ada
banyak kalimat tanya yang selalu Yuda kirim untuk Annelis, membuat Ann harus
memiliki banyak waktu untuk menanggapi pertanyaan kekasihnya itu.
Awalnya
Annelis senang Yuda seperhatian itu.
Tapi
manusia memang hidup untuk berubah dan terus berubah. Satu-satunya hal yang
abadi selain Tuhan hanyalah perubahan itu sendiri.
Pun
demikian dengan Annelis. Semakin lama, Ann merasa terganggu dengan keposesifan
kekasihnya itu. Puncaknya adalah saat Annelis bersama temannya mengerjakan
tugas yang diberikan gurunya. Tugas berpasangan, dan Annelis berpasangan dengan
teman laki-lakinya.
Informasi
itu pun langsung diketahui oleh Yuda.
Yuda
mengenal teman laki-laki Annelis itu. Ia berteman cukup akrab dengan Annelis.
Hal itu terlihat saat Annelis mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan di
mana Yuda dan teman laki-laki itu diundang datang ke rumahnya.
Yuda
cemburu. Hampir tiap sepuluh menit ia mengirim SMS pada Ann.
“AKU
LAGI NGERJAIN TUGAS, YUDA!”
Sebuah
SMS dengan capslock menyala mendarat
sempurna di layar handphone Yuda.
Yuda tak bisa membalas pesan itu karena pesannya mengambang entah di mana.
Pesannya baru terkirim malam hari.
Annelis
mematikan handphonenya.
“DAN sejak
saat itu hubungan kalian memburuk?” tanyaku pada Yuda setelah ia menceritakan
hal tadi padaku.
Ia
menghela napas berat.
“Katanya
dia enggak suka aku terlalu posesif. Gue terlalu membatasi dia buat bergaul
sama teman-teman laki-lakinya,” kata Yuda memelas.
“Ya
elu salah juga, Yud,” ucapku mencoba bijak.
“Yang
namanya cinta harusnya dilandasi rasa percaya. Kalo lu cinta sama dia dan lu
tau dia cinta sama lu, harusnya lu percaya kalo dia enggak akan berpaling.
Sekuat apapun cobaan, godaan, kalau emang dasarnya kalian udah saling percaya,
Annelis mau kenal sama Tobey Maguire juga dia gak akan ngelupain elu.”
“Gue
takut kehilangan dia saat itu,” katanya merenung. Ia sedang mencabik-cabik
sekat masa kini dan masa lalu. Membuat kejadian di masa lalu terlihat dengan
jelas saat ini.
Satu
ketakutan yang justru membuat hal itu jadi nyata.
AWAN pekat
bergumul di langit malam di Kuningan saat itu. Kegelapan telah sampai pada
tahap sangat. Jangankan bintang, bulan yang lebih gagah pun tertelan gerombolan
mendung itu.
Rintik
gerimis mulai menyapa malam di kesunyian.
Aku
telah kembali ke kamar.(bersambung)