Translate

Sabtu, 29 Juni 2013

KARENA AKU: IX


MALAM yang belum tinggi menggiring langkahku menuju studio Yuda. Materi untuk mengajar besok sudah kukerjakan. Masih terlalu sore juga untuk langsung tidur. Tak ada kerjaan, tak ada salahnya aku ke sana.
          Ternyata Yuda sedang melanjutkan melukis Annelis.
          “Lagi kangen lagi, nih?” tanyaku setibanya di sana.
          Dia tidak menjawab.
          Kududuk di kursi entah apa namanya itu.
          “Emang lu gak  punya kontak dia yang bisa dihubungi, Yud?”
          Yuda diam sesaat. Perlu cukup banyak waktu tampaknya bagi ia untuk menemukan jawabanku itu.
          “Beberapa hari yang lalu aku ketemu dia,” katanya datar.
          Ah! Peristiwa menyenangkan yang diucapkan dengan nada datar. Karena Yuda jelas bukan aktor yang bisa bersandiwara, jelas Annelis telah membuat lelaki ini patah hati.
          Ia mengangguk saat kutanyakan hal itu.
          Yuda pun kembali bercerita.

YUDA sedang sangat menikmati kopi yang sangat jarang dinikmatinya di sebuah pusat perbelanjaan mewah di kawasan Sudirman. Ia sedang dalam reuni teman-teman sekolahnya yang ternyata sudah sangat sukses dan hedonis. Demi keriaan berkumpul bersama, Yuda rela merogoh kantongnya sangat dalam. Agak muram Yuda saat menceritakan seberapa besar yang harus dihabiskannya demi reuni itu.
          “Gue denger lu jadi pelukis sekarang, Yud?” pertanyaan yang jelas ditujukan padanya membuat Yuda harus siap menjawabnya. Saat pertanyaan itu ditanyakan, ia sedang mengelus-elus dompetnya.
          “Iya,” kata Yuda. “Makanya jangan ngumpul di tempat kayak begini. Lu bisa bayangin kan pendapatan gue sebagai pelukis biasa?” Dialog terakhir ini hanya Yuda katakan dalam hati.
          “Laris lukisan lu, Yud?” tanya salah satu mereka.
          “Lumayan,” jawab Yuda.
          “Boleh dong Yud kamu ngelukis aku?” tanya salah satu teman perempuannya yang kontan menjadi bahan ejekan teman-temannya karena dari semua yang hadir saat itu memang hanya Yuda dan perempuan itu yang masih setia dengan kejombloannya.
          “Kalo elu gimana?” pertanyaan saling lempar itu yang kemudian membuka obrolan tentang pekerjaan masing-masing. Membuat suasana menjadi riuh oleh saling pamer keberhasilan. Yuda jadi merasa kecil karena jenis pekerjaannya tampak seperti tidak ada apa-apanya. Tapi dalam hati ia tetap bangga karena hanya dialah yang bekerja dengan “hati”. Dengan semangat dan tujuan yang tidak material semata. Ia juga satu-satunya di antara sekumpulan muda itu yang tidak memamerkan apa-apa.
          Yuda hanyut menyimak obrolan teman-temannya hingga salah satu temannya menepuk bahunya dan menuntun Yuda melihat ke suatu arah.
          “Bule itu kayaknya gue kenal, Yud?”
          Yuda membatu. Ia masih mengenal wajah bundar dengan rambut kuning keemasan itu. Sungguh suatu hal yang sama sekali tidak diduganya bahwa ia akan melihat lagi perempuan itu dalam rupa yang makin sempurna.
          “Annelis kan, Yud?” tanya temannya itu lagi.
          Yuda diam.

“DAN elu lihat Annelis jalan sama laki-laki?” tanyaku saat Yuda diam tak melanjutkan ceritanya.
          Yuda mengangguk.
          Ia mengisi paru-parunya penuh dengan oksigen, kemudian dihembuskannya jenis gas lain dengan berat.
          Ia lalu melanjutkan melukis.

KADANG cinta tak semudah mengucapkan katanya. Selalu ada tikungan yang tajam ataupun tidak tetap akan menghadang. Membuat kita perlu mengerem sejenak dan melepas tarikan gas.
          Saat itu Yuda sudah SMA. Hampir dua tahun sejak ia menyatakan cinta pada Annelis dan Annelis membalas cintanya. Kehidupan menjadi sangat membahagiakan baginya. Kapan pun, di mana pun, Yuda dan Annelis meskipun tidak bersama tapi selalu menyatu. Tak akan terlewat sedikit pun kabar Annelis yang Yuda tak tahu. Teknologi bernama telepon seluler telah memangkas jarak di antara mereka.
          “Kamu lagi apa?”
          “Udah makan belum?”
          “Kamu sehat-sehat aja, kan?”
          Ada banyak kalimat tanya yang selalu Yuda kirim untuk Annelis, membuat Ann harus memiliki banyak waktu untuk menanggapi pertanyaan kekasihnya itu.
          Awalnya Annelis senang Yuda seperhatian itu.
          Tapi manusia memang hidup untuk berubah dan terus berubah. Satu-satunya hal yang abadi selain Tuhan hanyalah perubahan itu sendiri.
          Pun demikian dengan Annelis. Semakin lama, Ann merasa terganggu dengan keposesifan kekasihnya itu. Puncaknya adalah saat Annelis bersama temannya mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. Tugas berpasangan, dan Annelis berpasangan dengan teman laki-lakinya.
          Informasi itu pun langsung diketahui oleh Yuda.
          Yuda mengenal teman laki-laki Annelis itu. Ia berteman cukup akrab dengan Annelis. Hal itu terlihat saat Annelis mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan di mana Yuda dan teman laki-laki itu diundang datang ke rumahnya.
          Yuda cemburu. Hampir tiap sepuluh menit ia mengirim SMS pada Ann.
          “AKU LAGI NGERJAIN TUGAS, YUDA!”
          Sebuah SMS dengan capslock menyala mendarat sempurna di layar handphone Yuda. Yuda tak bisa membalas pesan itu karena pesannya mengambang entah di mana. Pesannya baru terkirim malam hari.
Annelis mematikan handphonenya.

“DAN sejak saat itu hubungan kalian memburuk?” tanyaku pada Yuda setelah ia menceritakan hal tadi padaku.
          Ia menghela napas berat.
          “Katanya dia enggak suka aku terlalu posesif. Gue terlalu membatasi dia buat bergaul sama teman-teman laki-lakinya,” kata Yuda memelas.
          “Ya elu salah juga, Yud,” ucapku mencoba bijak.
          “Yang namanya cinta harusnya dilandasi rasa percaya. Kalo lu cinta sama dia dan lu tau dia cinta sama lu, harusnya lu percaya kalo dia enggak akan berpaling. Sekuat apapun cobaan, godaan, kalau emang dasarnya kalian udah saling percaya, Annelis mau kenal sama Tobey Maguire juga dia gak akan ngelupain elu.”
          “Gue takut kehilangan dia saat itu,” katanya merenung. Ia sedang mencabik-cabik sekat masa kini dan masa lalu. Membuat kejadian di masa lalu terlihat dengan jelas saat ini.
          Satu ketakutan yang justru membuat hal itu jadi nyata.

AWAN pekat bergumul di langit malam di Kuningan saat itu. Kegelapan telah sampai pada tahap sangat. Jangankan bintang, bulan yang lebih gagah pun tertelan gerombolan mendung itu.
          Rintik gerimis mulai menyapa malam di kesunyian.
          Aku telah kembali ke kamar.

(bersambung)

KARENA AKU: VIII


AKU sedang duduk di ruang guru saat Sinta datang menemuiku. Melihat dia, aku jadi teringat Rama. Teringat Rama, aku jadi ingat lelaki itu.
          Sinta datang hendak bertanya.
          “Mau nanya apa, Sin? Umar Kayam lagi?”
          Sinta terkekeh mendengar leluconku. Dia mengaku sudah mengecek di Google bahwa Para Priyayi, Jalan Menikung, Sri Sumarah, Bawuk, dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan dikarang oleh pengarang yang sama.
          “Ini, Pak. Tadi saya baca bukunya Pak Robi, di sana ada yang nyebut ada tokoh datar ada tokoh bulat. Itu maksudnya apa sih, Pak?”
          Kujelaskan apa yang dia tanyakan.
          Ngerti?” tanyaku menutup penjelasan tokoh datar tokoh bulat.
          Sinta mengangguk sambil tersenyum.
          “Kenapa kamu enggak tanya Pak Robi aja?” tanyaku.
          “Pak Robinya gak tau di mana. Yaudah tanya bapak aja. ‘Kan bapak enggak kalah pinter dari Pak Robi. Iya kan?”
          Kutanggapi dengan senyuman.
          Kami pun terlibat dalam obrolan yang panjang. Benar yang dikatakan Rama, Sinta terlalu cerewet untuk membiarkan lawan biacaranya jadi pendiam. Sepertinya dia mempunyai banyak cadangan kalimat tanya, juga kalimat seru, dan kalimat berita.
          “Bapak suka baca novel juga, Pak?”
          “Suka. Kamu juga?”
          “Banget, Pak. Aku suka baca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Sekarang aku lagi baca Rumah Kaca. Belum selesai sih. Bapak suka novel apa?”
          “Apa saja. Asal ceritanya sreg dan menarik, saya baca. Andrea Hirata, Ayu Utami, Dee, banyak lah.”
          “Wah, bapak kayaknya punya banyak buku nih. Boleh dong saya pinjem?”
          “Silakan. Mau minjem buku apa? Selama saya punya, silakan.”
          “Hmmm… Nanti deh, Pak. Saya selesain Rumah Kaca-nya dulu. Kalo udah selesai nanti aku pinjem punya bapak, ya.”
          “Iya,” jawabku tersenyum.
          Dia tampak senang. Sesenang itu sepertinya dia mendapat bacaan pinjaman. Kenapa dia tidak ke perpustakaan aja, ya? Okelah. Coba kutanya.
          “Perpustakaan sekolah? Hampir semua buku cerita yang seru di sana udah aku baca semua, Pak. Koleksi karya sastra perpus kita kan enggak banyak-banyak amat.”
          Wow! Aku sering main ke perpustakaan. Buku cerita di sana lumayan banyak dan dia sudah membaca hampir semuanya? Hhmm.. Hebat juga. 

ADA perasaan senang tersendiri saat tahu ada muridku yang memiliki hobi membaca. Entah mengapa. Melihat mereka begitu semangat membaca, mengalahkan dunia games, gadget, dan hedonisnya kehidupan gaul remaja ibukota membuatku tak urung respect pada mereka. Pernah suatu ketika aku datang ke Perpustakaan Daerah. Tempatnya tak jauh dari kosku. Di sana, aku melihat beberapa anak kecil, masih SMP sepertinya. Mereka sibuk mendiskusikan sesuatu yang ada dalam buku yang mereka baca. Suara mereka mendengung. Aku senang hal itu. Senang, karena aku muak mendengar anak sekolah itu meneriakkan “fire in the hole!”, “Double kill!”, dan sejenisnya—aku baru tahu ternyata itu adalah kata-kata game online, persetan!
          Remaja yang memiliki hobi membaca, terlebih jika dia menggilai membaca, terlihat sangat manis di mataku.
          Tak terkecuali Sinta.
          Suatu hari, sepulang sekolah, Sinta memintaku untuk mengajaknya ke rumahku. Dia ingin—katanya—melihat-lihat koleksi-koleksi bukuku. Tak bisa aku menolaknya karena tanpa menunggu persetujuanku dia sudah duduk di jok belakang vespa. Lagipula bukankah aku sudah mengizinkannya?
          Apa boleh buat.
          Mesin vespa kunyalakan. Suaranya menggelegar menggetarkan gedung sekolah. Asapnya mengudara. Orang-orang memperhatikanku. persneling kunaikan, meninggalkan gigi netral. Kabel gas kutarik. Vespaku meraung. Meninggalkan asap putih yang kemudian menghilang di udara.
          Vespa pun melaju meninggalkan sekolah. Dari spion, kulihat Robi berdiri di gerbang melepas kepergian kami.

AKU ingin membantu perjuangan Rama. Mungkin ini saatnya. Aku sudah mengabari ia perihal kedatangan Sinta ke rumahku.
          Kubiarkan gadis itu mengobrak-abrik rak bukuku, mencari-cari buku yang sekiranya menarik minatnya. Aku tidak tahu buku apa yang dia cari karena jawaban yang diberikannya saat aku menanyakan itu hanya buku yang bagus. Kutanya lagi buku yang bagus menurut dia apa, dijawabnya hanya buku yang menarik. Buku yang menarik menurut dia apa? Ah, entahlah. Biar saja dia mencari sendiri.
          Kutinggalkan dia sementara gerah memaksaku mandi.

TUBUH telah segar. Aku telah kembali tampan. Setelah berpakaian, aku kembali menemui Sinta. Ia telah memisahkan lebih dari empat buku. Enam setelah kuteliti.
          “Banyak buku bagusnya, Pak!” katanya sambil tersenyum. Salah satu alasan mengapa Rama tergila-gila padanya.
          “Mau kamu pinjem semua?”
          Jawabannya dengan anggukan berbarengan dengan suara ketukan pintu. Sang tokoh pria sudah datang.
          “Sinta?” tanyanya kaget melihat Sinta duduk di meja bacaku. Suatu hari aku akan memaksanya untuk bergabung di ekskul teater sekolah di mana aku ditodong untuk menjadi pembinanya. Akting kagetnya barusan lumayan juga.
          “Rama? Ngapain kamu ke sini?”
          “Kebetulan lewat. Kemarin Bapak ini bilang mau minjemin aku buku Sherlock Holmes yang A Study in Scarlet, tapi lupa melulu bawa ke sekolah,” katanya lancar. Aku hanya terkekeh mengiyakan.
          “Ih, bapak gimana sih!” kata Sinta memasang wajah sebal tapi menggemaskan, membuat Rama yang melihatnya tersenyum terpesona. “
          “Itu Ram, tadi aku lihat ada di sana. Sampulnya warna putih, kan?” tanya Sinta.
Rama melirikku. Aku mengangguk. Ia mengiyakan pertanyaan Sinta. Sinta dengan senang hati mencarikan Rama buku itu dan tak perlu waktu lama bagi dia melakukan hal itu. Dia pun memberikan buku bersampul putih itu pada Rama.
          “Kamu suka cerita detektif, Ram?” tanya Sinta.
          Rama mengangguk agak ragu. Dibukanya buku itu. Entah apa yang ada di pikirannya.
          “Kamu baca buku apa?” kali ini Rama yang bertanya.
          “Ini,” Sinta memperlihatkan cover buku yang dibacanya.
          “Wah, bacaan kamu berat banget ya. Pengarang luar negeri kan itu, Pak?”
          Aku mengangguk mengiyakan.
          “Udah kamu baca, Sin?” lanjut Rama.
          “Baru beberapa halaman,” jawab Sinta.
          Rama mengambil sebuah kursi plastik yang tadinya kupakai untuk meletakkan helm, memindahkan hel itu ke lantai, lalu memindahkan kursi itu ke sebelah Sinta dan duduk di sana.
          “Seru ceritanya?” tanyanya.
          “Belum tahu, kan baru mulai baca,” jawab Sinta yang membuat Rama terkekeh. Melihat Rama terkekeh Sinta jadi ikut tertawa. Melihat mereka aku jadi beringsut membiarkan mereka tertawa bersama.

RAMA menjadi makin pendiam sejak masuk SMA. Kesibukan Sinta yang aktif di OSIS membuatnya semakin jauh dari gadisnya itu. Dulu ia tidak tertarik ikut organisasi itu padahal banyak temannya yang bergabung. Suatu keputusan yang kemudian disesalinya. Andai saja ia terlibat dalam arus kesibukan OSIS, mungkin ia akan lebih sering bertemu dan berdekatan dengan Sinta.
          Padahal ia harus menunggu tiga tahun lamanya untuk kembali satu sekolah dengan Sinta.
          “Aku enggak tahu kamu suka baca juga, Ram?” tanya Sinta. Aku mendengarkan dialog itu dari dalam kamar.
          “Enggak sesuka kamu sih, Sin. Aku suka baca kalau lagi enggak ada kerjaan aja,” jawab Rama. Entah benar entah rekayasa.
          “Emang kerjaan kamu tiap hari apa, Ram?” tanya Sinta. Aku mencoba menahan tertawa.
          “Enggak sibuk apa-apa sih,” jawab Rama.
          “Gaya kamu, Ram. Tiap hari sibuk bengong aja begaya kalo enggak ada kerjaan,” sindir Sinta disusul dengan tawa ringan. Rama ikut tertawa.
          Aku juga.
          Mereka kemudian diam. Penasaran, aku keluar kamar. Ternyata mereka berdua sedang asyik membaca.
          Indahnya pemandangan itu.

(bersambung)

Jumat, 28 Juni 2013

KARENA AKU: VII


CERITA Rama mengingatkan aku pada kisah seorang mahasiswa yang cinta pada teman kuliahnya. Lelaki itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Agak klise memang, tapi begitulah kenyataannya.
          Saat itu semester awal kuliah. Sebagaimana semestinya makhluk sosial yang hidup di lingkungan yang baru, lelaki itu merasa sangat wajib untuk berkenalan dengan teman-teman barunya. Meski belum semua teman sekelasnya dikenalnya, setidaknya dia sudah mengenal wajah temannya satu persatu agar jika nanti bertemu tak lupa saling tegur sapa.
          Satu dari temannya itu menarik perhatiannya. Seorang gadis berkacamata berpenampilan sederhana. Mahasiswi biasa itu tampak luar biasa manisnya di mata lelaki itu.
          Lelaki itu, sama seperti Rama, adalah lelaki yang pendiam. Juga pemalu.
          Waktu terus berjalan. Semakin seringnya mereka belajar bersama di satu ruangan yang sama, lelaki itu pun semakin mengenal teman-temannya, terutama gadis itu. Benar-benar gadis yang menarik. Di balik kesederhanaan penampilannya—ia membandingkan gadisnya itu dengan teman-teman lainnya yang berpenampilan trendy dan apalah itu istilahnya—gadis itu menyimpan pesona yang mampu meluluhlantakkan kesadarannya. Membuat lelaki itu selalu bermimpi bersama gadisnya itu.
          Tapi hanya bermimpi, lelaki itu tak memiliki keberanian mendekati gadis itu. Entah ia terkena sindrom apa. Tiap berdekatan dengan gadisnya itu, ia merasa jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Sepertinya jantungnya memerlukan kerja ekstra untuk menyuplai darah ke pusat kesadarannya agar ia tidak terlampau jauh bermimpi. Agar ia sadar bahwa ia sedang menapakkan kaki di dunia nyata.
          Sindrom itu juga mengakibatkan pita suaranya terkunci.
          Tanpa keberanian mendekati, lelaki itu mencintai dalam diam. Diam-diam mencintai.

TAK ada keraguan sedikit pun bagi lelaki itu untuk terus diam-diam mencintai. Ia tidak punya modal utama untuk mengantarkannya jadi pemenang dalam cinta: keberanian. Ia justru berpikir mungkin itu resiko lelaki pemalu jika jatuh cinta.
          Ia senang duduk di belakang saat kuliah. Bukan karena agar jauh dari dosen. Bukan juga mengikuti teman-temannya yang lebih suka bergerombol di belakang. Itu hanya karena dengan duduk di belakang ia dengan bebas bisa melihat gadisnya itu.
          Bagi ia, bahkan hanya dengan melihat punggung dan rambut gadis itu sudah memberinya kebahagiaan.
Dan ia terus menyimpan perasaan.

MALAM ini terlalu gerah untuk aku berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa pun. Maka aku keluar, membiarkan udara malam menyapa tubuhku. Angin yang berhembus benar-benar berbeda dengan udara yang mengurungku di dalam kamar.
          Bintang-bintang menuntunku menuju warung kopi. Kupesan indomie ekstra cabai. Bau indomie di malam cerah seperti ini, disempurnakan dengan aroma pedas cabai yang menusuk menggelitik lidah dan gigiku untuk beraksi lebih cepat. Tanpa menunggu pagi, mangkok itu tandas tak bersisa. Termasuk kuah-kuahnya.
          Perut sudah terpenuhi permohonannya.
          Aku pun kembali ke kamar. Ditemani lagu gubahan Mozart, kubuka sebuah buku. Menunggu kantuk sambil membaca adalah sesuatu yang mengasyikkan. Kebetulan, aku baru meminjam sebuah novel tentang salah satu tokoh sejarah dari Putri. Cerita yang menarik. Inilah kekuatan sastra. Ia mampu menampung apa saja yang ada di kehidupan bangsa yang membesarkannya. Tak terkecuali sejarah.
          Aku sedang mengelana di zaman Majapahit saat tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Sebuah panggilan. Nama pemilik buku yang sedang kubaca tertulis di layar.
          “Hallo, Assalamualaikum.”
          “Waalaikumsalam,” jawab Putri lembut, “lagi sibuk nggak?” lanjut dia.
          “Enggak kok,” kututup bukunya. Lantas merebahkan diri mencari posisi nyaman.
          “Ada apa, Put?” tanyaku.
          “Enggak ada apa-apa sih, cuma ingin ngobrol aja. Boleh kan?”
          “Boleh banget, Put!” jawabku bersemangat, “apalagi kalo ngobrolnya sambil tiba-tiba dateng delivery donat J-co. Beuh!” kataku yang ditanggapi dengan tawanya.
          “Boleh-boleh. Nanti aku kirimin J-co, tapi nanti yah, kalo J-conya udah tutup.”
          “Put….” Suaraku datar. Dia tertawa.
          “Tadi kamu masuk XI IPS 1?” tanyanya setelah puas menertawakan candaannya sendiri.
          “Iya,” jawabku sambil pura-pura mengunyah sesuatu. Putri menanyakan aku sedang makan apa, kujawab sedang makan J-co. Dia kembali tertawa. Jelas terdengar aku sedang mengunyah angin.
          “Aku belum pernah ngajar kelas itu. Gimana kelas itu? Seru?” tanyanya.
          “Seru. Anak-anaknya gokil-gokil. Tadi kami ngomongin persiapan buat praktik pementasan drama. Kelas kamu udah mulai materi drama?”
          “Aku kan enggak megang kelas sebelas,” jawabnya.
          “Oh, iya. Lupa!” jawabku terkekeh.
          “Dasar pikun!” katanya mengejek.
          “Tadi aku minta mereka membuat sendiri naskah drama yang mau dipentaskan,” kataku menjelaskan kelasku tadi, “Mereka ngeluh susah. Yaudah, aku kasih mereka ide. Coba kalian ambil cerita dari mana aja, cerpen boleh, novel boleh, komik juga boleh. Asal jangan ngambil cerita dari naskah drama juga. Aku minta mereka membuat naskah berdasarkan cerita di sana. Mereka mau. Tadi kami ngomongin itu.”
          “Wah, pasti seru tuh! Mereka udah netapin mau ngambil cerita dari mana?”
          “Udah. Mereka aku pecah jadi empat kelompok. Kelompok satu katanya mau buat dari cerita Shinchan. Aku enggak sabar nunggu mereka mentasin naskahnya,” jawabku semangat.
          “Wah, Shinchan. Aku suka baca Shinchan,” katanya terus terang.
          “Aku juga,” timpalku.
          “Wah, kita sama,” ujarnya senang. Topik perbincangan kami pun berubah menjadi saling menertawakan adegan-adegan yang dengan jenius dibuat oleh Yoshito Usui itu.
          Seru!
          “Koleksi komik aku belum lengkap, nih. Kamu punya komik-komik Shinchan?” tanya Putri. Obrolan kami tentang Shinchan pun berlanjut.
          “Punya, tapi enggak lengkap juga. Udah pada ilang-ilangan. Kebanyakan dipinjem dan gak ketahuan nasibnya,” jawabku.
          “Boleh aku pinjem punya kamu? Lihat-lihat dulu sih yang aku enggak punya kamu punya apa enggak.”
          “Boleh. Tapi komik-komik aku masih ada di Bogor. Nanti deh aku bawa kalo aku pulang,” janjiku.
          “Bener, ya?”
          “Iya,” jawabku. Ia terdengar senang di ujung telepon sana.
          Kami membicarakan banyak hal saat itu. mulai dari sekadar nostalgia masa-masa kuliah, menertawakan tindakan konyol teman-teman kami semasa kuliah, merindukan mereka, membicarakan wisuda, mengenak saat-saat haru itu, hingga akhirnya menceritakan kegiatan kami selepas wisuda.
          “Aku ditawari ngajar di sekolah ini sejak ngerjain skripsi,” katanya memulai cerita.
          “Oh ya? Wah, enak dong udah kerja sebelum lulus,” timpalku.
          “Ada enaknya ada enggaknya juga sih,” lanjutnya.
          “Kenapa emangnya?” tanyaku.
          “Jadi susah ngebagi waktu antara ngajar sama nulis skripsi. Untung penelitian aku tentang eksperimen kelas juga, jadi sambil menyelam minum air lah,” jelasnya.
          Aku mengangguk. Suatu hal yang belakangan kusadari tak ada gunanya.
          “Kamu?” tanyanya.
          Kuceritakan apa yang sudah kuceritakan pada kalian sebelumnya.
          “Wah, enggak nyangka yah. Ternyata Pak Sulis itu paman kamu,” katanya setelah aku selesai bercerita.
          “Dan enggak nyangka juga ternyata kita satu tempat ngajar,” jawabku sambil tersenyum. Semoga Putri tahu aku mengatakan itu sambil tersenyum.
          “Iya. Siapa yang sangka kalau aku akan ketemu sama mahasiswa yang paling diem di kelas kalo lagi kuliah,” jawabnya sambil tertawa renyah. Memancing aku untuk melakukan hal serupa.
          “Iya. Siapa sangka juga aku akan ketemu sama mahasiswa paling cantik di kampus,” kukatakan itu tanpa Putri mendengarnya. Hanya aku dan Tuhan yang mendengarnya.
          “Iya, siapa yang,” tiba-tiba dia berhenti bicara, “eh, sebentar ya, nanti kita lanjut lagi ngobrolnya. Pacar aku nelpon nih,” katanya.
          “Assalamualaikum,” salamnya sambil menutup telepon. Bahkan tidak membiarkan salam balasanku terdengar olehnya.
          Hanya handphone yang mendengar salamku.  

(bersambung)